Selama sembilan bulan Mohammad Hatta meringkuk di Penjara Glodok. Dia menjadi pesakitan karena tulisan-tulisannya dalam majalah Daulat Ra’jat yang menyulut propaganda Indonesia merdeka. Tidak cukup di Penjara Glodok, pemerintah Hindia Belanda kemudian berniat mengasingkan Hatta ke Boven Digul, Papua.
Hatta sendiri tidak peduli di manapun raganya berada. Yang bikin Hatta gundah adalah bagaimana cara membawa buku-bukunya ikut dalam pengasingan. Karena dengan buku, Hatta merasa bebas. Pikirannya bisa tetap sehat dengan melahap berbagai buku pengetahuan. Begitulah kiranya Hatta punya kecintaan terhadap literasi. Masalahnya, buku Hatta itu banyak sekali.
“Dalam peti buku yang berukuran ¼ meter kubik satu, jumlahnya 16 buah. Jadi semuanya 4 m3. Mengepak semua buku itu akan memakan waktu paling sedikit 3 hari,” ujar Hatta dalam Memoir
Baca juga:
Beruntunglah Hatta kerena pemerintah Hindia Belanda mengizinkan Hatta membawa buku-bukunya ke Digul. Syaratnya, dia hanya diberi waktu tiga hari berturut-turut pulang balik dari Penjara Glodok kerumahnya di Jalan Sawah Besar. Dengan bantuan kemenakan-kemenakannya, semua buku Hatta berhasil dikemas ke dalam 16 peti besi.
Pada 28 Januari 1935, Hatta tiba bersama tahanan politik PNI Baru lainnya di Tanah Merah, Boven Digul. Beberapa diantara mereka seperti Sutan Sharir dan Mohammad Bondan. Setelah disambut oleh panitia penerimaan, Hatta mulai teringat lagi dengan barang-barangnya. Dia hanya membawa pakaian dalam 1 kopor sementara buku sebanyak 16 peti besi. Dari kantor pemerintah ke kampung interniran jaraknya sekira 1,5 km. Hatta putar akal karena tidak mungkin menggotongnya sendirian.
Seorang anggota panitia penerimaan mengusulkan kepada Hatta agar memakai jasa orang Kaya-Kaya, suku lokal yang mendiami Boven Digul. Orang-orang Kaya yang terdidik memang kerap bekerja membantu kaum interniran. Hatta menerima tawaran tersebut.
“Kami berunding dengan seorang Kaya-Kaya yang kira-kira menjadi pemimpin mereka. Ia meminta sebagai ongkosnya satu uang kelip untuk tiap-tiap peti,” kenang Hatta. Uang kelip waktu itu nilainya 5 sen, bentuknya bundar dan berlobang ditengahnya.
Memasuki tengah hari, sampailah Hatta di rumah yang disiapkan untuknya. Tidak ketinggalan 16 peti buku yang diusung orang Kaya-Kaya. Berkat bantuan orang Kaya-Kaya itu, Hatta bebas mengisi hari-hari pengasingannya di Boven Digul dengan membaca buku.
Baca juga:
Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku
Pada waktu pagi hingga menjelang siang, Hatta leluasa belajar di ruang bacanya. Setiap dua kali sepekan, Hatta memberi kursus kepada rekan-rekannya sesama tahanan Digul pelajaran ekonomi dan filsafat, Hatta juga dapat menambah penghasilannya dengan menulis karangan untuk surat kabar Pemandangan. Karangan itu dikirim secara berkala tiap bulan. Dalam melakoni pekerjaan intelektual tersebut, tentu saja buku-buku yang diboyong Hatta dari Jakarta itu amat besar perannya.
Hingga pada Desember 1935, pemerintah memutuskan memindahkan Hatta ke Banda Neira, Kepulauan Maluku. Lagi-lagi orang Kaya-Kaya diperbantukan untuk menggotong buku-buku Hatta. Namun kali ini, mereka meminta bayaran sebesar 10 sen untuk tiap peti.
Di Banda Neira, Hatta juga tidak lepas mengisi waktu dengan buku-bukunya. Belajar dan mengajar tetap menjadi rutinitas. Sekali waktu, buku-buku Hatta kena tumpahan air dari vas bunga oleh anak-anak angkat Sutan Sjahrir dari keluarga Baadilah yang bermain-main. Sjahrir memarahi anak-anak angkatnya itu dan Hatta pun turut meluapkan kegusarannya. Hatta menghardik mereka bahwa buku-buku itu alat pengetahuan yang harus dijaga betul. Rupanya Sjarir jadi merasa ikut bersalah.
Pada akhir bulan sesudah kejadian itu, Sjahrir minta diri untuk pindah rumah. Sjahrir ingin menjaga ketenangan Hatta dari gangguan anak-anak angkatnya beserta saudara-saudara mereka yang nakal-nakal. “Ia kuatir nanti banyak buku-bukuku tersiram air, mungkin robek. Semacam itu jangan sampai terjadi,” demikian menurut Hatta.
Baca juga:
Makanan Hatta dan Sjahrir di Pengasingan
Masa pengasingan di Banda Neira berakhir pada 1 Februari 1942. Dengan kapal terbang laut Catalina, Hatta, Sutan Sjahrir dan tiga orang anak angkatnya diangkut ke Jawa. Tidak banyak yang bisa dibawa karena kapasitas muatan dalam pesawat terbatas. Hatta pun harus rela berpisah dari buku-buku yang sudah seperti anak-anaknya sendiri.
“Yang kusayangkan ialah bahwa buku-bukuku tidak dapat dibawa serta dan ditinggalkan di Neira. Hanya satu Atlas Bos yang dapat kupindahkan ke dalam kopor pakaianku yang terbuat dari kulit,” kenang Hatta.
Perpisahan Hatta dengan buku-bukunya rupanya hanya untuk sementara. Hatta barangkali ditakdirkan untuk selalu hidup bersama dengan buku-bukunya. Semua buku-buku yang tertinggal di Banda Neira akhirnya kembali ke sisi Hatta setelah dia menjadi wakil presiden Republik Indonesia. Buku-buku itu, kini masih tersimpan rapi di rumah peninggalan Bung Hatta di Jalan Diponegoro 57, Jakarta Pusat.