DEMI bisa melihat upacara pelantikan suaminya, Kolonel AH Nasution, menjadi KSAD untuk kali kedua, di Lapangan Banteng pada 1 November 1955, Johana Sunarti terpaksa menumpang pada seorang kenalan suaminya, Kadir. Dari rumah Kadir yang berada di pinggir Lapangan Banteng itulah Johana bisa leluasa melihat upacara pelantikan itu.
“Beda dengan protokol masa Orde Baru (Orba), maka di masa liberal itu sang isteri pejabat tidak masuk protokol, jadi tidak diundang, kebiasaan dari masa perjuangan 1945-50 masih dihayati,” kata Nasution dalam otobiografinya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 3.
Upacara pelantikan itu juga berbeda dari pelantikannya sebagai KSAD saat pertamakali (1949) dan pelantikan-pelantikan para petinggi militer lain sebelumnya. “Sejak 1945 baru kali inilah pelantikan pejabat tinggi TNI dilakukan di depan pasukan. Sejak dulu pelantikan dilakukan di Istana Presiden. Prakarsa ini datang dari Kolonel Z. Lubis, yang menganggap lebih tepat di depan pasukan daripada di Istana. Saya sependapat dengan beliau,” sambung Nasution.
Kolonel Lubis yang dimaksud Nas, sapaan akrab Nasution, merupakan Zulkifli Lubis “bapak intelijen Indonesia” yang saat itu menjadi Pejabat KSAD. Dalam status keluarga, Lubis dan Nas merupakan sepupu. Sama dengan Nas, Lubis juga Muslim taat yang hidup sederhana, anti-korupsi, dan anti-Komunis.
Baca juga: Zulkifli Lubis, Bapak Intelijen Indonesia
Namun, hubungan keduanya tak akrab dan bahkan justru lebih banyak bertentangan. “Kebetulan kalau dengan saya, tidak pernah cocok. Saya termasuk yang diinteli terus,” kata Nas.
Penyebab utama pertentangan itu yakni latar belakang pendidikan, di mana Nas mantan KNIL dan Lubis mantan Peta.“Memang sejak masa Yogyakarta sementara orang mengetahui bahwa kami seringkali bertentangan dalam pembawaan diri. Rupanya ia melihat saya sebagai militer profesional ala dunia Barat. Memang pula saya merasakan pembawaannya sebagai seseorang yang punya latar belakang pendidikan intel Jepang,” kata Nas.
Pertentangan keduanya bahkan ikut mewarnai perpolitikan nasional era 1950-an. Setelah Peristiwa Oktober 1952, di mana Nas menjadi pemimpin gerakan dan Lubis berada di kubu kontra-gerakan, Nas kehilangan jabatan KSAD-nya dan Lubis diangkat menjadi wakil KSAD. Puncak konflik keduanya terjadi justru ketika keduanya berpasangan memimpin AD sejak akhir 1955.
Baca juga: Ada Nasution di Balik Dekrit Presiden
Penolakan KSAD Nas terhadap usul Wa-KSAD Lubis (Wa-KSAD) agar KSAD lebih memfokuskan urusan luar sementara Wa-KSAD mengurus internal AD, membuka puncak konflik itu. Eskalasi Konflik meningkat saat Lubis akan digeser menjadi panglima Teritorium I Sumatra Utara dalam rencana mutasi yang dibuat Nas untuk memperbaiki organisasi AD.
Berkelindan dengan gejolak politik nasional di mana sejumlah daerah menuntut keadilan kepada pemerintah pusat dan beberapa panglima daerah menuntut Nas dicopot, sebuah upaya kudeta rancangan Lubis –dinamakan Nas sebagai “Peristiwa Lubis”– yang gagal akhirnya menabuh gong perang antara Nas dan Lubis. Nas, tulis Peter Kasenda dalam Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD, “memberhentikan Lubis dari TNI AD dan membatalkan pengangkatannya menjadi Panglima Divisi Bukit Barisan.”
Lubis akhirnya buron dan kemudian bergabung bersama para panglima daerah bergejolak dan politisi anti-Komunis mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Lubis lalu dipenjara begitu PRRI dihancurkan pemerintah pusat.
Baca juga: Pesawat CIA dalam PRRI/Permesta
Keduanya baru akur ketika sudah sama-sama “menganggur” setelah Orde Baru berdiri. Nas hanya menjadi penulis dan pengisi ceramah di kampus-kampus usai MPRS yang dipimpinnya dibubarkan Presiden Soeharto. Sementara, Lubis berwiraswasta setelah dibebaskan dari tahanan pada 1966.
Keakuran keduanya di masa aktif dalam militer jadi hanya terjadi sesaat, yang dimulai saat Nas diangkat kembali menjadi KSAD. Usai dilantik di Lapangan Banteng, Nas melakukan serah terima dengan Lubis di aula Mabes AD. “Setelah kami berdua menandatangani piagam serah-terima itu, maka saya bacakanlah order harian saya,” kata Nas.
Prosesi serah-terima itu berjalan lancar dalam suasana akrab. KSAD Nas dan Wa-KSAD Lubis pun bisa tertawa bersama. Keakuran itulah yang mengundang kelakar dari Kolonel Gatot Subroto, yang di kemudian hari dipilih Nas untuk menggantikan Lubis sebagai wakilnya. “Kita aman kalau kedua saudara dari Mandailing ini tidak berkelahi,” kata Gatot, dikutip Nas.