MEMASUKI tahun 1950, APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) melakukan berbagai pembenahan. Salah satunya adalah penggantian bentuk pangkat. Pangkat mayor, letnan kolonel dan kolonel tidak lagi menggunakan simbol bintang namun simbol bunga tanjung. Simbol bintang hanya digunakan untuk tingkat mayor jenderal, letnan jenderal dan jenderal saja (saat itu pangkat brigadir jenderal belum diadakan).
Baca juga: Brigjen Terpaksa
Selain soal pangkat, perubahan nama kesatuan pun dilakukan di tiap divisi. Brigade XII Divisi Siliwangi termasuk kesatuan yang harus memberlakukan peraturan baru tersebut. Kesatuan yang bertanggungjawab atas wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur itu lantas berganti nama menjadi Brigade D/XV.
“Sebagai pimpinan Brigade D ditunjuklah Mayor Sambas Atmadinata yang kemudian pangkatnya dinaikan menjadi letnan kolonel,”demikian menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa Bag.II (1950-1965).
Seiring dengan segala pembenahan itu, aksi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan S.M. Kartosoewirjo semakin merajalela di Jawa Barat. Guna menangani situasi tersebut, nyaris tiap minggu Letkol Sambas harus mempersiapkan pasukannya dan melakukan inspeksi keliling.
Baca juga: Konflik Kawan Seiring
Suatu hari, Letkol Sambas akan menginspeksi pasukan yang berada di tiga wilayah yang menjadi wewenangnya . Merasa belum punya tanda pangkat letkol, dia kemudian menyuruh ajudannya untuk membeli di Toko Beny, yang terletak di depan Sekolah Zeni Angkatan Darat Bogor. Singkat cerita, tanda pangkat bintang dua berkilauan pun dibeli dan langsung ditempelkan oleh Sambas di leher kamejanya, bukan di pundak.
Dengan jip yang dikemudikan oleh seorang ajudan dan dikawal seorang penembak mahir, selama seminggu Sambas berkeliling ke basis-basis pasukan yang berada di Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Mereka mengecek kesiagaan dan mencocokan info lapangan dari pos ke pos. Hari terakhir inspeksi, sampailah mereka di Istana Cipanas dan langsung memeriksa kesiapan satu seksi CPM (Corps Polisi Militer).
Begitu memasuki gerbang Istana Cipanas, penjaga langsung memberi hormat. Dengan sikap percaya diri, Sambas lantas bertanya: “Apakah situasi aman?”
“Siap! Aman Let!” jawab sang penjaga dalam nada yang bersemangat.
Sambas tersenyum mendengar kata “let” dari mulut sang prajurit jaga. Dia memaafkan dan memaklumi jika prajurit itu belum mengetahui tanda pangkat APRI dalam versi terbaru. Tapi tidak demikian dengan dua pengawalnya, mereka terlihat sangat kesal atas panggilan yang sungguh tidak “etis” itu.
“Sialan!” Sambas sempat mendengar salah seorang pengawalnya mengumpat.
Memasuki halaman Istana, seluruh peleton CPM pun dibariskan. Kepada sang sersan yang mengomandani peleton itu, Sambas lagi-lagi bertanya: “Apakah situasi di Istana Cipanas terkendali?”
Eh, lagi-lagi Si Sersan menjawab persis sama dengan jawaban prajurit penjaga di pintu gerbang.
“Siap, aman Let!”
Sambas memutuskan untuk tidak marah atau menegur. Pikirnya, bisa jadi sosialisasi soal pangkat ini belum sampai secara merata ke seluruh pasukan. Jadi dia merasa bahwa itu bukan salah para prajurit di bawah.
Saat situasi tersebut, tetiba ajudannya maju ke depan dan menegur Sang Sersan.“Lihat-lihat dong! Beliau ini komandan brigade, bukan seorang letnan!” Keributan itu cepat dilerai oleh Sambas dan untuk mencegah timbulnya suasana tidak enak, mereka pun lalu beranjak melanjutkan perjalanan pulang ke Bogor.
Saat di Puncak, barulah “kesalahpahaman” itu terpecahkan. Mendapat informasi dari seorang tentara lainnya, Sambas baru mafhum bahwa para prajurit di Istana Cipanas itu sama sekali tidak salah. Mengapa? Ternyata tanda pangkat yang dibelikan ajudannya dari Toko Beny tersebut adalah tanda pangkat seorang letnan jenderal!
“Yang tidak tahu itu adalah kami. Toko Beny salah jual, ajudan saya salah beli. Mereka keliru karena baru pertama kali,” kenang Sambas dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid ke-1 yang diterbitkan oleh LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia).
Kendati demikian Sambas merasa bersyukur. Kendati tidak sengaja, dia setidaknya pernah merasakan jadi seorang letnan jenderal. Walaupun hanya tujuh hari saja.
Baca juga: Akibat Surplus Jenderal