Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Sukarno Mengecam Agresi Belanda

Melalui pidatonya itu, Sukarno mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk tidak menyerah terhadap provokasi yang dilakukan pihak Belanda.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 18 Jun 2021
Presiden Sukarno di atas podium menyampaikan pidato (Arsip Nasional RI)

Yogyakarta, 21 Juli 1947. Empat pesawat tempur Belanda mengelilingi kota Yogyakarta pagi itu. Mereka bermanuver secara rendah selama lebih kurang 15 menit. Sebuah ancaman singkat yang sukses menebar teror di langit ibukota Republik Indonesia. Ancaman tersebut juga praktis membuat rakyat ketakutan. Hampir tidak ada seorang pun yang berani untuk keluar rumah mereka.

Sekira pukul 7, pesawat tempur Belanda menjatuhkan bom di lapangan terbang Maguwo. Mereka juga menyasar lapangan-lapangan terbang lain, serta tangsi-tangsi militer Republik di sekitar Yogyakarta. Siangnya, lapangan Maguwo kembali mendapat gempuran. Kali ini mereka berhasil menjatuhkan delapan bom. Tidak cukup sampai di situ, pasukan infanteri Belanda mulai bergerak, menyasar pertahanan kaum Republik di dalam kota.

Aksi militer Belanda itu merupakan buntut dari gagalnya pihak Republik dan Belanda mencapai kesepakatan. Bagi pihak Belanda, kaum Republik telah melanggar Perjanjian Linggarjati, dan menolak nota Belanda tertanggal 27 Mei 1947 yang meminta aksi tembak-menembak dihentikan. Pihak Republik juga dinilai masih terus melakukan perusakan-penusakan terhadap aset Belanda. Menanggapi sikap tersebut, Perdana Menteri Belanda Louis Beel memberi titah kepada Gubernur Jenderal Van Mook untuk melaksanakan aksi polisionil, dengan Yogyakarta sebagai target utamanya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pidato Sukarno Menuju Memori Dunia

Malam hari, sekitar jam 7, setelah Belanda membombardir Maguwo dan kepanikan terjadi di seluruh pelosok negeri, Presiden Sukarno memberikan sebuah pidato yang ditujukan kepada seluruh bangsa Indonesia, dan dunia umumnya. Dalam pembukaannya Sukarno mengatakan:

“Pada permulaan bulan suci ini, apa yang telah lama dan selalu kita khawatirkan, sekarang sudah terjadi. Pihak Belanda, dengan perantaraan Perdana Menterinya Beel serta wakilnya di sini Dr. van Mook, rupanya telah memungkiri serta membatalkan perjanjiannya dengan Republik Indonesia atas maunya sendiri. Rupanya pula sebelum pernyataan pemungkirannya itu sampai kita, pihak Belanda telah memulai pula gerakan permusuhan terhadap kita. Republik kita, perwujudan cita-cita serta perjuangan rakyat Indonesia, sekarang diserang terang-terangan dengan senjata, dari darat dan udara,” ujar Bung Karno.

Dalam pidato, yang tertulis dalam Daerah Istimewa Yogyakarta terbitan Departemen Penerangan RI, tersebut Sukarno juga mengatakan bahwa masuknya Belanda ke Yogyakarta seolah mengulang kembali kejadian yang sedih dan keji di dalam sejarah kemanusiaan. Semua itu terjadi lantaran tindakan sewenang-wenang yang didorong oleh nafsu akan penjajahan.

Baca juga: Revolusi Amerika dalam Pidato Sukarno di KAA

Akan tetapi Sukarno yakin tidak ada satu pun pihak yang mendukung tindakan para penjajah itu. Tiap orang yang masih memiliki rasa keadilan di dalam dirinya tentu akan sadar bahwa kekerasan yang dilakukan Belanda tidak dapat dibenarkan apapun alasannya.

Sementara Belanda sendiri, sebagai sebuah negara, imbuh Sukarno, tidak memiliki rasa keadilan tersebut.  Sebab tidak mungkin negara yang adil akan berbuat onar di negara yang baru saja mengikrarkan kemerdekaannya. Secara terang-terangan mereka melakukan kurungan militer, politik, hingga ekonomi, hingga sosial tanpa memikirkan nasib rakyat yang tinggal di dalamnya.

“Mustahil! Mustahil bagi tiap orang yang masih mengandung perasaan keadilan serta kebenaran! Oleh karena itu, maka pemungkiran pihak Belanda pada perjanjiannya dengan kita adalah pemungkiran penghargaannya pada kemerdekaan, keadilan, serta kebenaran. Dan kekerasan yang dilakukan pada kita adalah perkosaan pada kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kemanusiaan,” tegas Sukarno.

Baca juga: Di Balik Pidato Presiden Sukarno

Sukarno meminta rakyat untuk tidak menyerah. Dia sadar bahwa sejak tahun-tahun sebelumnya rakyat sudah dilanda derita. Harta benda, kebebasan, perasaan, serta kehormatan, segalanya diserahkan untuk pelaksanaan kemerdekaan dan menyelamatkan Republik. Dengan kembalinya penjajahan, mereka harus menelan derita untuk kedua kalinya. Meski begitu Bung Karno meminta semuanya bertahan dan tetap berjuang. Dia dan pemerintah Republik berjanji akan mengusahakan kemerdekaan yang sempurna bagi rakyat Indonesia.

Presiden juga mengajak seluruh rakyat untuk bersama-sama berdoa agar bangsa Indonesia terhindar dari segala macam bencana, terutama ketidakadilan dari para penjajah yang sedang dan akan mereka hadapi. Terlebih ketika pidato tersebut mengudara, seluruh rakyat Indonesia sedang melaksanakan puasa di bulan suci Ramadhan. 

Baca juga: Perang Pidato Aidit-Sukarno

“Yakinlah bahwa Allah Yang Maha Kuasa, Adil, serta Benar, terlebih-lebih di dalam Bulan Suci ini, tak akan meninggalkan kita, selama kita tetap di jalan keadilan, kebenaran, serta kemanusiaan Ia yang akan menambah segala tenaga yang masih perlu kita adakan pada diri kita. Ia pula yang akan menuntun kita, melalui bencana ini, kepada keselamatan serta kemenangan kemerdekaan,” kata Bung Karno.

Pidato Sukarno malam itu ditutup dengan seruan kepada seluruh rakyat Indonesia di Sumatra, Borneo (Kalimantan), Sulawesi, Maluku, Kepulauan Sunda Kecil, hingga Papua, agar serentak menggabungkan kekuatan untuk menolak “perkosaan” Belanda terhadap kemerdekaan Republik —lambang kemerdekaan, lambang kebenaran, lambang keadilan, dan lambang kesucian.

TAG

sukarno agresi militer belanda yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Supersemar Supersamar Pemilu di Wilayah Kesultanan Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno