Pada akhir September 1964, Jenderal Abdul Haris Nasution berangkat ke Uni Soviet. Saat itu, Angkatan Perang Republik Indonesia perlu peluru kendali jarak menegah. Konflik konfrontasi dengan Malaysia semakin memanas. Sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Nasution bersiap-siap apabila pecah perang dengan Malaysia yang didukung Inggris.
Ini adalah kunjungan kesekian kalinya bagi Nasution dalam misi pembelian senjata berat. Dia didampingi oleh dua perwira staf Komando Siaga (KOGA), Laksamana Mulyadi dan Brigjen Ahmad Wiranatakusumah. Untuk memperlancar lobi-lobi, Presiden Sukarno direncanakan akan turut bergabung setelah menyelesaikan kunjungannya di Jenewa.
Pada hari kedatangan Sukarno ke Moskow, para pejabat tinggi Uni Soviet menyambut di pelabuhan udara. Mereka antara lain Perdana Menteri Nikita Khrushchev, Presiden Anastas Mikoyan, dan Sekjen Partai Komunis Leonid Brezhnev. Ketika melihat Nasution di antara rombongan dari Indonesia, Khrushchev datang menghampiri seraya mengulurkan tangan kepada sang jenderal.
Baca juga:
Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet
Dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru, Nasution menuturkan pembicaraannya dengan Khrushchev. Komunikasi antara mereka tentu saja terjalin lewat bantuan penerjemah.
“Jenderal Nas ada di Moskow, semua gudang telah saya kunci, tidak bisa anda mendapatkan senjata-senjata yang kamu ingini,” kata Khrushchev berkelakar.
“Itu bukan soal bagi saya, karena saya punya tangan-tangan di Moskow, antara lain Perdana Menteri Khrushchev,” jawab Nasution. Mendengar jawaban itu, Khrushchev malah tertawa terbahak-bahak.
Setibanya di Istana Kremlin, pihak Indonesia dan Uni Soviet duduk berhadapan. Di meja perundingan, Nasution membisikan kepada Sukarno kontrak pembelian yang diinginkan. Sukarno meneruskannya kepada pihak Uni Soviet yang kemudian ditanggapi Khrushchev.
“Bagaimana saya bisa menolong Indonesia, sudah lama tidak dibayar angsuran,” ujar Khrushchev.
Baca juga:
Jenderal Nas dan Kamerad Khruschev
Nasution mengakui angsuran tahun 1963 memang memang belum beres. Begitupun dengan cicilan pada tahun yang sedang berjalan. Namun menurutnya, tunggakan itu sudah dibayarkan sebagian. Juru hitung Uni Soviet membuat kalkulasi melalui nota kecil dan secara beranting diteruskan ke jurusan perdana menteri. Ketika nota itu tiba pada Presiden Mikoyan, dia tidak segera meneruskannya kepada Khrushchev.
“Beliau dengan agak nakal melihat kepada saya dan saya balas dengan senyuman, kami duduk persis berhadapan di meja perundingan itu,” kenang Nasution.
Rupanya juru hitung Uni Soviet dari urusan Perdagangan Luar Negeri itu menyangkal keterangan pembayaran dari Nasution. Kendati demikian, nota kecil itu tetap tertahan pada Mikoyan. Terjadilah lampu hijau untuk urusan jual-beli senjata. Nasution boleh berlega hati. Setelah kontrak pembelian ditandatangani, dua hari berturut-turut diadakan jamuan makan oleh pihak Soviet untuk tamu-tamunya dari Indonesia.
Dalam jamuan di Kremlin, Khrushchev secara terang-terangan mengkritik poros Jakarta-Peking yang diprakarsai Bung Karno. Katanya, ”Nasib poros ini akan sama nanti dengan poros Fasis-Nazi, Roma-Berlin dulu”. Khrushchev bicara blak-blakan.
Baca juga:
Ketika Fasisme Muncul di Muka Bumi
Dalam jamuan balasan keesokan hari, Khrushchev tidak bergabung karena ada agenda berlibur dengan cucu-cucunya di Laut Hitam. Hanya Presiden Mikoyan dan Sekjen Brezhnev yang menjadi tamu penting. Bung Karno duduk mendampingi Brezhnev sedangkan Nasution mendampingi Mikoyan.
Karena Indonesia sebagai tuan rumah, susunan tempat duduk sudah diatur oleh ajudan Presiden Sukarno. Kebetulan kursi di samping Nasution kosong. Seorang ajudan presiden kemudian mengantarkan seorang perempuan Soviet berparas cantik dan dipersilakan duduk di sebelah Nasution. Setelah berkenalan, Nasution mendapati bahwa wanita itu seorang bintang film.
Setelah selesai babak makan, tinggallah babak ngomong-ngomong, Sukarno mendatangi Nasution. Dalam bahasa Belanda, Bung Karno berkata, “Nas, tempat saya ini tochtig (dingin), saya tak kuat. Kamu saja duduk disini, mari tukar tempat.” Keduanya pun lantas bertukar tempat duduk.
Baca juga:
“Pihak Soviet agak ternganga melihat kami bertukar tempat. Bung Karno jadi sibuk ngomong-ngomong dengan artis tadi dan saya harus meladeni Presiden Mikoyan dan Brezhnev,” kenang Nasution.
Selama dua jam acara jamuan makan itu, terjadilah pelimpahan kekuasaan. Bung Karno menyerahkan sepenuhnya kepada Nasution urusan diplomatik dengan pemimpin Uni Soviet.