PADA April 1946, Mayjen TNI Didi Kartasasmita, komandan komandemen Jawa Barat, tiba-tiba memerintahkan Mayor Kemal Idris, Komandan Batalion Resimen Tangerang, untuk meninggalkan Tangerang dan mundur ke markas di Balaraja, lalu membuat pertahanan di Cikupa, Curug.
Baca juga: Kekecewaan Didi Kartasasmita kepada AH Nasution
Sesampainya di Balaraja terjadi pertempuran. Sekutu melakukan serangan besar-besaran. Karena kekuatan tidak seimbang, tentara Indonesia secara berangsur melarikan diri, kecuali lima orang yang ditahan oleh Kemal agar tidak meninggalkan medan pertempuran. Mereka terperangkap dalam kepungan musuh. Dalam pikiran Kemal terbayang dua pilihan ditangkap atau ditembak mati.
“Dalam keadaan terjepit itu, saya berkaul dalam hati: jika saya lolos dari kepungan ini hidup-hidup, saya akan kawin,” kata Kemal dalam biografinya, Bertarung dalam Revolusi. Mengapa kawin? Kemal berpikir jika mati dalam pertempuran tentu tidak ada yang melanjutkan keturunannya sementara dia masih jejaka.
Kemal memberikan instruksi, “mari kita serang satu titik, kita berlari sambil menembak!” Kemal dan anak buahnya berhasil lolos dan melepaskan diri dari sergapan musuh dan kemudian mencari tempat perlindungan yang aman.
“Sesuai dengan kaul saya, maka saya menemui ibu pacar saya Herwinur Bandiani Singgih yang biasa dipanggil Mami,” kata Kemal.
“Mami, saya mau kawin.”
“Iya, saya sudah tahu.”
“Dengan anak Mami.”
“Saya sudah tahu. Apakah kamu sudah memberi tahu pada yang bersangkutan?”
“Belum, Mami.”
“Tanya dulu dong sama yang bersangkutan.”
Baca juga: Asal usul batas usia minimal dalam UU Perkawinan No. 1/1974
Hari itu, Kemal tidak memperoleh jawaban dari pacarnya yang baru duduk di SMP. Setelah Tangerang jatuh, ada perintah supaya pasukan dipindahkan ke Purwakarta. Kemal berpisah dengan pacarnya. Keluarga pacarnya lewat Pelabuhan Ratu, sedangkan pasukan Kemal lewat daerah Gunung Salak. Di daerah Leuwiliang dan Jasinga ada sebuah perkebunan karet, Kemal bertemu kembali dengan pacarnya.
“Kamu mau nggak kawin dengan saya?”
Pacarnya menggeleng kepala.
Kemal mengancam, “Kalau kamu nggak mau kawin dengan saya, sudahlah. Saya mau gila-gilaan.”
Mereka berpisah, tetapi kemudian bertemu kembali di Sukabumi. Di sana, Kemal tanya lagi kesediaannya berumah tangga. Dia mengangguk setuju. Kemal menikah dengan Herwinur Bandiani Singgih pada 13 Juli 1946 di Sukabumi. Karier militer Kemal mencapai Panglima Kostrad dan Panglima Komando Antar Daerah di Indonesia Timur. Setelah itu, dia menjadi duta besar Yugoslavia dan Yunani.
Baca juga: Kemal Idris dua kali mengerahkan pasukan ke Istana