SAMUEL RATULANGI, tokoh Minahasa yang menjadi gubernur Sulawesi pertama adalah momok bagi pemerintah Belanda. Ratulangi tidak bersedia bekerja sama dengan pihak Belanda yang ingin menguasai wilayah Sulawesi. Selain itu, Ratulangi menghimpun dan melindungi semua kekuatan pro Republik yang tergabung dalam Pusat Keselamatan Rakyat. Akibatnya, pemerintah Belanda mencari cara membungkam Ratulangi.
Pada 5 April 1946, Sam Ratulangi bersama enam orang stafnya ditangkap oleh pasukan NICA. Mereka dijebloskan ke penjara Hoogepad, Makassar. Dua bulan kemudian, Ratulangi dan kawan-kawan dibawa ke tempat pengasingan yang mula-mula keberadaannya dirahasiakan.
Pada 18 Juni 1946, rombongan Ratulangi ternyata diberangkatkan ke Pulau Serui, Yapen, Papua. Disebutkan dalam buku Atlas Sejarah Indonesia: Gubernur Pertama di Indonesia, pihak Belanda di Serui memaklumatkan larangan kepada penduduk Serui untuk berbaur dengan para tahanan politik dari Makassar. Kehidupan di Serui kian dipersulit dengan perlakuan penguasa setempat yang intimidatif.
Baca juga: Omar Dani Menunggu Hari Eksekusi
Menurut Maria Tambayong, istri Sam Ratulangi, setiap hari seorang polisi kolonial dengan menyandang bedil di punggung datang mengontrol para tahanan politik. Soal makanan pun jadi masalah. Di Serui, pasar hanya dibuka dua kali dalam sepekan. Seorang mandor ditugaskan untuk berbelanja bagi keluarga Ratulangi. Untuk tiga hari, keluarga Ratulangi yang terdiri dari lima orang menerima sepotong ikan kecil dan sebuntel besar daun kates (daun pepaya) yang sangat pahit.
“Ini adalah makanan kami untuk tiga hari. Semua ini sangat menjengkelkan saya,” tutur Maria Tambayong dalam manuskrip Mengenang 50 Tahun Wafatnya Dr. G.S.S.J. Ratulangie.
Sekali waktu, Maria meminta izin suaminya menghadap kepala pemerintah daerah (HPB) Serui. Sam Ratulangi awalnya menolak karena khawatir HPB akan berlaku tidak senonoh terhadap Maria. Ratulangi mengizinkan setelah istrinya didampingi dua rekan Ratulangi yang berbadan besar dan kekar.
Dihadapan HPB, Maria mengatakan bahwa oditur militer Belanda di Makassar telah menjanjikan perlakuan yang baik kepada keluarga tahanan politik. Janji itu menyatakan para tahanan politik beserta keluarganya akan diperlakukan sesuai dengan status sosial dan kedudukan mereka sebagai pejabat Republik. Dengan dasar tersebut, Maria melayangkan protes.
“Apakah tuan mengira kami kambing yang mau makan daun kates sebanyak itu,” katanya.
Baca juga: Gambar Tikus di Miras Manado
Mendengar itu, HPB berpikir sejenak. Barangkali karena tersadar, dia mengatakan setiap keluarga tahananan politik akan diberikan jatah 50 gulden sebulan yang bebas dibelanjakan. Selain itu, para keluarga tahanan akan menerima ransum seperti seorang pegawai.
Ternyata uang yang diterima dari HPB lebih dari cukup. Setiap bulan keluarga Ratulangi dapat menjamu penduduk sekitar dan keluarga tahanan lainnya. Sukacita semakin bertambah karena polisi kolonial yang berasal dari Sulawesi Utara – seperti halnya Ratulangi – bersikap bersahabat dengan keluarga Ratulangi. Kadang-kadang pada malam hari, mereka muncul di belakang dapur dengan memegang baki yang ditutup serbet putih berisi penganan, kue-kue atau buah-buahan.
“Pertolongan orang-orang ini sangat kami hargai,” kenang Maria.
Baca juga: Darah Minahasa di Tubuh Prabowo
Selama dua tahun dua bulan lamanya keluarga Ratulangi berada di Serui. Di sela-sela masa pengasingan itu, Sam Ratulangi tetap giat berjuang dengan mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) bersama Silas Papare. Pada 23 April 1948, Sam Ratulangi dibebaskan. Pemerintah Belanda membawa Ratulangi ke Yogyakarta untuk bergabung dengan pemerintahan Presiden Sukarno. Tugas baru menanti Ratulangi sebagai penasihat pemerintah pusat dan anggota delegasi dalam perundingan dengan pemerintah Belanda.