Masuk Daftar
My Getplus

Jika Pak Gatot Bilang Monyet

Tokoh tentara Indonesia itu kerap mengekspresikan sikap akrab kepada para bawahan dengan menyebut “monyet”.

Oleh: Hendi Johari | 31 Agt 2019
Letnan Jenderal Gatot Soebroto (koleksi Rushdy Hoesein)

SUATU hari di tahun 1947. Dua perwira pertama dari Markas Besar TNI di Yogyakarta menghadap Kolonel Gatot Soebroto, Panglima Divisi II Sunan Gunung Djati. Salah satu misi mereka adalah menyerahkan sebuah surat penting dari Kolonel Tjokronegoro (Wakil Kepala Staf TNI). Alih-alih menerima surat berbahasa Belanda tersebut, Gatot malah memerintahkan salah seorang perwira itu untuk membacakannya.

“Monyet! Bahasa Belandamu bagus juga ya!” komentar Gatot usai sang perwira pertama itu membacakan surat dari Kolonel Tjokronegoro.

Adegan dalam film Kereta Api Terakhir (1981) itu bisa jadi hanya rekaan semata. Namun kata “monyet” yang keluar dari mulut Kolonel Gatot sudah dipastikan memang benar adanya. Menurut Laksamana Pertama (Purn) Iman Sardjono (91) yang sangat mengenal Gatot Soebroto, kata “monyet” yang keluar dari mulut mantan bintara KNIL itu merupakan hal positif.

Advertising
Advertising

“Jika Pak Gatot bilang monyet, itu tandanya dia merasa akrab (dengan orang yang disebut begitu) atau mood-nya lagi bagus,” ujar eks anggota Tentara Pelajar di wilayah Banyumas itu.

Baca juga: Cak Roes, Yang Bertahan di Dua Zaman

Iman sendiri mengenal Gatot sebagai murid sang ayah saat sekolah di HIS (sekolah setingkat SD di era Hindia Belanda) dan mereka berdua sudah saling mengenal baik.  Pernah suatu hari Iman terluka dalam Pertempuran 5 Hari di Semarang (15—19 Oktober 1945) dan menjadikan dia harus istirahat total selama beberapa bulan.  Tetapi sebagai tentara belia, dia merasa jenuh terus-terusan diam di rumah.

Bersama beberapa kawannya, Iman lantas menghadap Kolonel Gatot Soebroto dan langsung mendapat sambutan khas dari sang kolonel: "Ada apa, Monyet?" Iman lantas mengutarakan niatnya untuk bergabung kembali dalam perjuangan. Begitu selesai mendengar penuturan Iman, tanpa banyak acara, Kolonel Gatot lantas memanggil anak buahnya, seorang eks sersan KNIL, untuk memimpin kelompok kecil para remaja tersebut.

"Tugas kalian melakukan sabotase sepanjang Banjar Patroman hingga kawasan sekitar Gunung Slamet, menghancurkan jembatan-jembatan yang kemungkinan besar akan dilewati militer Belanda dari arah Jawa Barat serta memusnahkan pabrik-pabrik gula…" perintah Gatot.

Maret 1948. Kapten Solichin G.P. diinstruksikan oleh Gubernur Militer Wilayah II Kolonel Gatot Soebroto dan Menteri Negara Republik Indonesia Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk menculik seorang profesor, berinisial OE.

“Orang ini kata Pak Gatot dicurigai akan “mengacaukan” rapat Komisi Tiga Negara yang beberapa hari lagi akan diadakan di Kaliurang,” ujar Komandan Kompi 5 Yon Nasuhi (masuk Divisi Siliwangi) itu.

Baca juga: Perjanjian Diplomatik yang Dilupakan

Kapten Solichin lantas membentuk satu tim kecil untuk melaksanakan tugas tersebut. Mereka terdiri dari prajurit-prajurit andal dari Kompi 5, yakni Karli Akbar Yoesoef (komandan regu) Den Ucen, Ewiw, Ulo alias Surya dan Darmawan. Dengan menggunakan sebuah truk India Rice (truk yang dipakai untuk mengangkut padi bantuan pemerintah RI untuk India yang kala itu tengah dilanda bencana kelaparan), berangkatlah mereka ke Yogyakarta guna melaksanakan tugas itu.

Beberapa waktu kemudian, sampailah mereka di kediaman sang profesor dan disambut oleh pemilik rumah dan istrinya yang seorang perempuan Belanda.

“Bapak ditunggu komandan kami di staf. Karena itu dipersilakan ikut kami ke staf,” kata Karli, selaku pimpinan regu tersebut.

Alih-alih menyanggupi permintaan Karli, OE menolak untuk ikut ke Kantor Staf. Tidak mempan dengan cara halus, Karli lantas menodongkan pistol Colt 38 dan memerintahkan anak buahnya untuk menyeret OE ke atas truk.

Begitu mendapatkan Prof.OE, masalah baru muncul: mereka tidak paham di mana letak Kantor Staf tersebut. Di tengah kebingungan itu, muncul “ide gila” untuk menitipkan sementara Prof. OE ke RSUP Yogyakarta.

Maka setelah mencukur rambut sang professor dalam bentuk zigzag, dan memotong sebelah kumis serta alisnya, diserahkanlah Prof. OE kepada dokter jaga di RSUP Yogyakarta, dengan pesan: “Saya diperintahkan Pak Gatot menyerahkan prajurit yang ngamuk di asrama ini. Mungkin dia gila, dan jangan dikeluarkan sebelum ada izin dari Pak Gatot!”

Mendengar pernyataan Karli itu, tentu saja OE tidak terima dan berteriak-teriak: “Saya tidak gila! Saya tidak gila!”

Namun para dokter dan perawat tidak ada yang menggubris teriakannya itu. Mereka malah memasukan OE ke sel khusus untuk orang gila. “Urusan profesor itu beres, kami pulang dan melaporkan misi berhasil dilaksanakan kepada komandan kompi dan target kami simpan di RSUP untuk siap diambil,” ujar Karli. Lantas bagaimana respon Kolonel Gatot Soebroto sendiri selaku salah seorang pemberi perintah itu?

Sehari, dua hari tak ada respon dari Markas Daerah Militer II. Baru hari ketiga, tim khusus penculik Prof.OE itu mendapat panggilan untuk bertemu langsung dengan Gubernur Militer Wilayah II. Kali pertama mendapat kabar itu, Karli dan kawan-kawan merasa degdegan. Tetapi saat bertemu Kolonel Gatot dan dia langsung berteriak: “Baguuusss! Bagus sekali kerja kalian, Monyet-Monyet!” legalah hati mereka.

“Kami satu regu sangat gembira dipanggil “monyet” oleh Pak Gatot. Itu artinya Pak Gatot puas dengan hasil kerja kami,” kenang Karli seperti dikisahkan kepada R.H. Eddie Soekardi dalam bukunya Hari Juang Siliwangi .

Kebiasaan Gatot menyebut hewan berjenis primata itu ternyata tidak luntur sampai dia menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (1956—1962). Syahdan pada 5 Oktober 1960, diadakan resepsi peringatan Hari Angkatan Bersenjata RI yang ke-15 di bekas Gedung Harmoni. Sebagai istri Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (DISPENAL) Mayor Laut (P) Iman Sardjono, Hanny Sardjono  ikut mendampingi sang suami datang ke acara itu.

Saat beramah tamah dengan para kolega, tetiba masuklah Letnan Jenderal Gatot Soebroto ke ruangan, lengkap dengan seragam kebesarannya. Suasana pun tetiba menjadi hening, seolah tersirap oleh wibawa sang jenderal. Gatot sendiri seperti tak peduli dengan suasana itu. Alih-alih bersikap jemawa, begitu melihat Hanny Sardjono dia malah langsung berjalan ke arah Hanny dan langsung mencubit pipi istri Mayor Laut (P) Iman itu dengan kedua tangannya, tanda keakraban.

“Saya menjadi risih dan segan karena merasa tidak begitu akrab dengan Pak Gatot yang seorang perwira tinggi,” kenang Hanny yang saat ini berusia 87 tahun.

Rupanya Gatot salah orang. Dia mengira Hanny adalah Hetty (yang tak lain adalah saudara kembar Hanny) yang bersama suaminya (Letnan Kolonel Poerbo Soewondo) memang sudah sangat akrab dengan dirinya. Bersamaan dengan kejadian itu, Hetty dan Letnan Kolonel Poerbo Soewondo masuk pula ke ruangan.

“Nah lo, nah lo, nah lo…” hanya itu yang bisa diucapkan Hetty kala melihat kejadian salah cubit itu.

Sebagai orang yang sudah mengenal Gatot secara akrab, Mayor Laut (P) Iman Sardjono secara refleks maju lantas memperkenalkan istrinya kepada Gatot. “Siap Jenderal, ini adalah istri saya!”

Lantas apa jawab sang jenderal? Sambil tersenyum simpul, dia malah menggerutu: “Ah monyet lu!”

Baca juga: Soeharto di Tengah Dua Jenderal

Kata “monyet” memang menjadi salah satu ciri khas Gatot. Semua kolega dan bawahannya sangat mafhum itu dan sama sekali tidak ada masalah. Sebaliknya, dunia malah akan “kiamat” bagi para koleganya jika sang jenderal memangil mereka dengan embel-embel "Paduka yang Mulia" atau “Tuan yang Terhormat”.

“Itu tandanya dia lagi marah besar dan sedang tidak berkenan,” ungkap Rushdy Hoesein, sejarawan yang cukup dekat dengan keluarga Gatot Soebroto.

TAG

sejarah-militer Gatot-Soebroto

ARTIKEL TERKAIT

Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz “Raja Hutan” Bob Hasan Pulang ke Haribaan Tuhan Amuk Ratu Adil di Oude Hospitaalweg Panggil Pengusaha Kepercayaannya, Sukarno Kena Batunya Terpaksa Ganti Uang Negara yang Dipakai Foya-Foya Akibat Surplus Jenderal Seorang Menak di Garis Depan Sadikin, Proklamator Tentara Nasional Indonesia Shigeru Ono, Pejuang Jepang Telah Berpulang Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane