Masuk Daftar
My Getplus

Hatta yang Keras Kepala

Penderitaan di tanah terasing tidak serta merta melemahkan pendirian Hatta. Tetap kuat meski krisis menjerat

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 07 Jan 2020
Potret Mohammad Hatta tahun 1946 (nationaalarchief.nl)

HIDUP di Boven Digul pada 1935 merupakan takdir yang tidak bisa dihindari Mohammad Hatta. Ia dan beberapa tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) ditangkap pemerintah Belanda karena aktifitasnya dianggap membahayakan. Bersama Sjahrir, Hatta ditangkap di Batavia pada Februari 1934, dan baru ditempatkan di Tanah Merah setahun kemudian, tepatnya pada 28 Januari 1935.

Sebelum ditempatkan di desa, Hatta dan penghuni baru Tanah Merah dipanggil ke kediaman pejabat Belanda yang bertanggung jawab atas Digul, Kapten Van Langen. Ia menerangkan tentang pembagian kelompok masyarakat di tempatnya yang harus dipilih oleh para interniran baru itu. Diceritakan Hatta dalam Mengenang Sjahrir, di Digul masyarakatnya terbagi menjadi dua: golongan yang bekerja sama dengan pemerintah (werkwillig), dan golongan yang enggan membantu pemerintah (naturalis).

Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru

Advertising
Advertising

Orang-orang werkwillig setiap bulannya akan diberi ransum berupa beras, kacang hijau, teh, minyak kelapa, dan kebutuhan pokok lainnya. Mereka juga diberi upah 40 sen sehari. Para werkwillig ini bahkan dijanjikan kembali ke tempat asalnya, dalam kondisi tertentu. Sementara kelompok naturalis saban bulan hanya mendapat ransum saja. Mereka juga harus melakukan pekerjaan kasar, seperti mencangkul, menggali selokan, dan pekerjaan lain yang serupa. Para naturalis ini diyakini akan hidup selamanya di tanah Digul.

“Tuan pilihlah, ke dalam golongan mana tuan akan masuk,” tanya Van Langen kepada Hatta.

“Masukkan saja aku ke dalam golongan naturalis. Jikalau aku kiranya mau masuk golongan werkwillig, dahulu di Jakarta aku sudah memilihnya. Berbagai jabatan sudah ditawarkan pemerintah kepadaku. Aku tentu sudah menjadi tuan besar dan tak perlu aku datang ke Digul untuk menjadi kuli upah 40 sen sehari. Aku tetap sebagai nonkooperator,” tegas Hatta.

“Buat tuan diadakan kerja kantor. Tuan tidak akan mengerjakan pekerjaan kuli. Apabila tuan memilih golongan naturalis, tuan akan tetap tinggal di Digul ini. Tidak akan dikembalikan ke daerah asal tuan,” ucap Van Langen.

“Itu pendapat tuan. Menurut pendapatku tidak ada yang tetap di dunia ini. Semuanya dalam perubahan, apa yang tidak bisa sekarang, di kemudian hari bisa terjadi. Sebab itu aku tetap pada pendirianku,” kata Hatta.

Van Langen yang tahu betul kemampuan Hatta tidak ingin membiarkannya begitu saja. Ia ingin tokoh PNI itu ada di pemerintahannya, mengatur tempat pembuangan itu bersama. Akhirnya Van Langen mempersilahkan Hatta beristirahat. Dan memintanya kembali esok hari, berharap mendapat jawaban yang berbeda dari Hatta.

Baca juga: Supeni, Perempuan di Balik Kemenangan PNI

“Baiklah jangan tuan ambil keputusan hari ini. Pikirkanlah semalam apa yang kukatakan ini. Tuan kembali besok pagi,” ucapnya.

Setelah Hatta meninggalkan ruangan, kawan-kawan yang lain bergiliran masuk mengahadap Van Langen. Termasuk Sjahrir, para buangan itu memilih masuk golongan naturalis. Mereka tetap pada pendiriannya sebagai golongan nonkooperator.

Keesokan harinya Hatta kembali menemui Van Langen. Ia datang masih dengan pendirian yang sama: tidak bersedia membantu pemerintah. Pejabat Belanda itu menyayangkan sikap Hatta yang begitu keras kepala. Menurutnya Hatta tidak memikirkan matang-matang masa depannya di Digul karena bisa saja ia tinggal selama-lamanya di Tanah Merah itu.

“Percayalah aku tidak akan tinggal selama-lamanya, karena dunia berubah senantiasa,” kata Hatta sambil melangkah ke luar ruangan itu. Sewaktu Hatta sampai di mulut pintu, Van Langen kembali melayangkan tawarannya: “Aku harap tuan nanti mengubah pendirian tuan.” Sambil berlalu Hatta hanya memberi senyum.

Pada Juli 1935, enam bulan sejak Hatta menolak Van Lagen, tawaran untuk mengabdi kepada Belanda kembali datang. Kali ini melalui Residen Haga dari Ambon, yang kebetulan akan mengunjungi Digul dalam tugasnya meninjau seluruh daerah kekuasaannya. Waktu itu Van Lagen sudah tidak memerintah, tugasnya digantikan oleh Kapten Wiarda.

Baca juga: Makanan Hatta dan Sjahrir di Pengasingan

Ketika Residen Haga sampai di Digul, diperintahkannya kepada Wiarda supaya Hatta dan Sjahrir datang menghadapnya. Setelah sampai, Hatta dipersilahkan masuk terlebih dahulu. Di dalam ruangan sudah menunggu Residen Haga dan seorang pendampingnya. Percakapan dibuka dengan menanyakan kabar kesehatan Hatta.

“Aku mengerti tuan berusaha hidup dari karangan-karangan tuan dalam surat kabar. Berhubung dengan itu, pemerintah bersedia membantu memenuhi keperluan tuan membayar porto pos. Saban bulan juga tuan akan menerima f 7.50,” ucap Haga.

“Apa artinya tiga ringgit itu bagiku, tidak besar bedanya dengan harga makanan yang kuterima saban bulan. Kalau aku diberi bantuan di atas jumlah biasa yang diberikan di sini untuk orang interniran, kenapa aku tidak diberi bantuan sebanyak bantuan yang diberika kepada kaum intelektual yang diinternir di tempat lain seperti Dr. Tjipto dan Mr. Iwa di Banda Neira atau Ir. Sukarno di Endeh?” kata Hatta.

Residen Haga lalu menerangkan jika setiap daerah memiliki kebijakan yang berbeda terkait para interniran, terutama persoalan pendapatan yang mereka terima setiap bulan. Itulah mengapa selama masih berstatus tahanan Digul, Hatta tidak mungkin mendapat upah sebesar kawan-kawannya di tempat lain.

“Kalau begitu, biarlah aku menerima bantuan hidup menurut rezim yang berlaku di sini. Bantuan f 7.50 itu untuk ongkos pos mengirim karangan-karanganku tidak perlu tuan berikan,” tegas Hatta.

Baca juga: Hatta yang Sentimentil

Sesaat Residen Haga terdiam. Ia kemudian meminta Hatta memikirkan tawarannya itu, tidak perlu menjawab terburu-buru. “Betapapun juga baiklah tuan pikirkan semalam, besok pagi tuan datang kembali memberikan jawaban yang terakhir,” ucapnya.

“Baiklah, izinkan aku kembali ke kampung pembuangan,” kata Hatta.

Setelah berjabat tangan, Hatta pun pamit undur diri. Lalu giliran Sjahrir yang diminta masuk. Sekitar 15 menit berada di dalam, Sjahrir keluar. Sambil berjalan ke tempat tinggal, Hatta menceritakan percakapannya dengan Haga. Ternyata Sjahrir pun diberi tawaran yang sama dan ia juga diminta memberi jawaban keesokan harinya.

Esok paginya, Hatta dan Sjahrir kembali ke kantor pemerintahan menemui Residen Haga. Hatta diterima terlebih dahulu. Di dalam, Hatta menegaskan kalau dirinya tetap pada pendirian dan menyesal tidak dapat menerima bantuan pemerintah tersebut. Waktu Hatta keluar, Sjahrir diminta untuk masuk. Sekira 10 menit ia berada di dalam. Tatkala sudah keluar, Sjahrir mengatakan kepada Hatta bahwa dirinya terpaksa menerima bantuan dari pemerintah itu. Selama berada di Digul, dia tidak memiliki pendapatan sepeserpun untuk menafkahi istrinya di Belanda.

Baca juga: Bung Hatta dan Jenderal Ngaret

Hatta dapat memaklumi keputusan Sjahrir. Namun beberapa kawan di Tanah Merah mencela tindakan Sjahrir tersebut. Dia dituduh telah menyerah kepada pemerintah Belanda. Hatta tidak tinggal diam. Ia meyakinkan semua orang bahwa Sjahrir bukan meminta, tetapi hanya menerima dan memang keadaan yang memaksanya melakukan hal itu. Beberapa waktu kemudian, cela-celaan kepada Sjahrir tidak terdengar lagi.

“Di Digul aku selalu berpesan kepada kawan-kawan yang dibuang ke sana, yang lama dan yang baru, supaya menjaga kesehatan pikiran dan perasaan, jangan terganggu apa-apa, tetap menerima segalanya dengan hati yang tenang,” kata Hatta.

TAG

hatta digul sjahrir

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Belajar Membaca dari Bung Hatta Gara-gara Laskar Berulah, Bung Hatta Marah Gembong PKI Ingin Jadi Tentara Nasib Mereka yang Terbuang di Theresienstadt dan Boven Digoel Om Sjahrir dan Anak-Anak Banda Neira Kerjasama Gagal Semaun dan Hatta di Belanda Kisah Hewan Peliharaan Sukarno dan Hatta Lima Tokoh Bangsa Bibliofil Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia