Masuk Daftar
My Getplus

Hatta dan Pernikahan Adat Minang

Bagaimana suatu peristiwa pernikahan campur di Sumatra Barat menjadi perdebatan hangat di kalangan pemuda pergerakan pada awal abad ke-20.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 11 Agt 2021
Mohammad Hatta bersama Rachmi Hatta mengunjungi Sukarno (Perpustakaan Nasional RI)

Pada akhir Desember 1919, di Batavia, Jong Sumatranen Bond (JSB) mengadakan sidang tahunan untuk memilih pengurus besar yang baru. Kongres berlangsung di gedung Loge, dekat Waterlooplein (Lapangan Banteng sekarang) dan dihadiri oleh sebagian besar anggota JSB. Berdasarkan keputusan kongres tersebut, Amir Sjarifuddin ditetapkan sebagai ketua umum. Sementara jabatan sekretaris ditempati Bahder Djohan dan bendahara oleh Mohammad Hatta.

Setelah terbentuk, PB JSB baru segera mengadakan rapat untuk memutuskan program kerja selama masa kepengurusannya. Dikisahkan Bung Hatta dalam otobiografinya Memoir, tidak banyak program yang dicanangkan Amir dan JSB baru. Mereka lebih fokus melanjutkan dan memperkuat program kerja pengurus sebelumnya. Satu yang mungkin mendapat perhatian lebih dari Amir adalah menerbitkan kembali majalah Jong Sumatra sebagai media memperkuat kedudukan JSB.

Baca juga: Hatta yang Sentimentil

Advertising
Advertising

Suatu waktu, Jong Sumatra tetiba mendapat sorotan dari masyarakat. Hal itu terjadi setelah majalah tersebut memuat tulisan seorang anggota JSB asal Sumatra Barat yang mengkritik adat istiadat Minangkabau. Di dalam tulisannya, Si Pemuda JSB menyoroti sebuah peristiwa tentang perkawinan seorang gadis Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat, dengan seorang pemuda asal Jawa Tengah yang menghebohkan Tanah Minang.

“Gadis dan pemuda itu sama-sama bekerja sebagai asisten pos di Medan. Dari pergaulan mereka itu timbullah cinta dan cinta mendorong mereka untuk melaksanakan perkawinan,” tulis Hatta.

Perkawinan muda-mudi itu mendapat reaksi dari masyarakat Koto Gadang. Persoalannya, pada masa itu, adat istiadat kota tersebut melarang seorang gadis menikah dengan laki-laki dari luar Koto Gadang. Gadis Koto Gadang harus menikah dengan laki-laki tulen kota itu. Tetapi sebaliknya, adat istiadat di sana membolehkan laki-laki Koto Gadang menikah dengan gadis mana saja, tidak harus berasal dari Koto Gadang.

Baca juga: Gerakan Kaum Intelektual di Ranah Minang

Karangan pemuda JSB di majalah Jong Sumatra memandang adat istiadat Koto Gadang itu terlalu mengikat satu sisi saja: si gadis diikat, laki-laki dibebaskan. Akibat memuat karangan itu, sejumlah protes disampaikan kepada PB JSB. Aksi protes banyak disampaikan oleh pemuda yang membela adat istiadat Koto Gadang. Seorang pemuda bahkan sampai mengirimkan tulisan lain yang berisi bantahan terhadap tulisan sebelumnya.

Merasa khawatir akan timbulnya kegaduhan lebih jauh di antara pemuda Minang, tim redaksi dari PB JSB sepakat membatasi karangan yang membela tradisi perkawinan tersebut. Mereka tetap menaikkan karangan sepanjang dua halaman tersebut ke dalam majalah, akan tetapi halaman yang memuatnya sengaja direkatkan menggunakan lem. Sehingga para pembaca tidak dapat membukanya.

“Supaya hal itu jangan sampai memecah, sekurang-kurangnya jangan menimbulkan persengketaan …,” ujar Hatta.

Mengenai nasib muda-mudi yang melangsungkan perkawinan berbeda adat tersebut, Hatta mendapatkan kabar yang menyedihkan. Orangtua si gadis memutuskan hubungan dengan anaknya. Mereka bahkan sampai melakukan tindakan yang menggegerkan, yakni memasukkan pakaian dan kain milik putrinya yang tertinggal di rumah ke dalam kain kafan, seolah-olah di dalamnya berbaring mayat, kemudian mengirimkan bungkusan kain tersebut ke tempat putrinya. Orang tua si gadis menganggap putrinya sudah tiada.

Baca juga: Cinta Hatta Bersyarat Merdeka

Hatta sendiri, sebagai seorang yang terlahir di keluarga dengan adat istiadat Minang yang kuat, meyakini bahwa perubahan harus dilakukan ketika suatu kebiasaan hanya membawa kepada keburukan. Meski berjalan lambat, perubahan ke arah lebih baik harus terwujud. Itulah yang kemudian terjadi kepada adat perkawinan di Koto Gadang. Sekitar tahun 1930-an, kendati belum seutuhnya, adat perkawinan di sana mulai berubah, tidak ketat seperti sebelumnya. Menurut Hatta, perubahan tersebut terjadi salah satunya berkat dorongan dari seorang Haji Agus Salim.

“Setelah heboh-hebohan beberapa waktu lamanya tentang kawin campuran antara gadis Koto Gadang dan pemuda Jawa tadi dalam JSB tidak ada kegoncangan lagi. Semuanya rata jalannya,” kata Hatta.

TAG

mohammad hatta minangkabau

ARTIKEL TERKAIT

Dari Manggulai hingga Marandang Foto di Warung Padang Ini Dianggap Orang Sakti Kritik Adat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck Tabula Rasa yang Menggugah Selera Ketika Hatta Mulai Mengenal Tuhan Gerakan Kaum Intelektual di Ranah Minang Rasuna Said versus Pemerintah Hindia Belanda. Sukarno Menembus Hutan Bukit Barisan Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane Peliharaan Kesayangan Hitler Itu Bernama Blondi