Suatu senja di bulan September 1945. Hetty Kabir masih ingat beberapa mobil berhenti depan rumahnya di Jalan Ciwaringin No. 33 Bogor. Dari salah satu kendaraan tersebut, keluarlah Achmad Subardjo, Chaerudin Achyar, Presiden Sukarno beserta keluarganya (Fatmawati, Guntur Sukarnoputra, mertua Bung Karno:Hasan Din dan Siti Chadijah).
Sebagai tuan rumah, sang ayah Harun Kabir menyambut hangat para tamu penting itu. Tak perlu waktu lama, dari perbincangan singkat antara Bung Karno dengan ayahnya, putri kedua Harun Kabir itu langsung paham bahwa sang presiden akan menitipkan Guntur (putra mereka yang belum berusia 1 tahun), Hasan Din dan Siti Chadijah di rumahnya selama waktu yang tak bisa ditentukan.
“Mereka bertiga akan tinggal bersama kami karena saat itu situasi Jakarta sangat tidak aman,” kenang almarhum Hetty Kabir dalam suatu wawancara yang dilakukan pada 2016.
Baca juga: Perjalanan Rahasia dari Pegangsaan Timur
Cerita Hetty itu terkonfirmasi dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno Bagian I, karya Fatmawati. Istri Sukarno kelahiran Bengkulu itu membenarkan jika keluarga besar Presiden Sukarno sempat “mengungsi” ke Istana Bogor yang sudah dikuasai oleh para pemuda.
Kepindahan tersebut terjadi karena di Jakarta teror tentara NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda bentukan H.J. van Mook) mulai merajalela. Namun ketika di Istana Bogor pun, Fatmawati merasakan hal serupa. Dia tidak merasa betah dengan “situasi revolusiener” di sekitar istana yang banyak melibatkan para jago dan pemuda-pemuda setempat.
“Bung Karno dan aku pulang kembali ke Jakarta, tetapi Guntur dan nenek-kakeknya tetap tinggal di Bogor, bersama keluarga Harun Kabir …” ungkap Fatmawati. Siapakah sebenarnya sosok Harun Kabir?
Pemerintah Jawa Barat mengakui sosok Harun Kabir sebagai tokoh pejuang di era revolusi. Namanya bahkan tertabalkan di tiga kota: Bogor (Jalan Kapten Harun Kabir yang lalu berganti menjadi Jalan Taman Safari), Cianjur (Jalan Mayor Harun Kabir) dan Sukabumi (Jalan Kapten Harun Kabir).
Namun sejatinya Harun Kabir bukanlah berasal dari Bogor, Cianjur atau Sukabumi, seperti banyak diyakini oleh beberapa peneliti sejarah di Jawa Barat. Aslinya dia adalah menak Bandung dan putra tunggal dari Raden Kabir Natakusumah, keturunan langsung dari Bupati Bandung ke-5 Raden Wiranatakusumah I (1769-1794).
“Ayah saya lahir di Kapatihan pada 5 Desember 1910…” ungkap almarhum Hetty Kabir (putri ke-2 pasangan Harun Kabir-R.A. Soekrati).
Menjelang pemerintah Hindia Belanda runtuh, Harun Kabir menjabat sebagai Asisten Residen Bogor. Ketika militer Jepang berkuasa (1942—1945), dia ditempatkan sebagai pejabat di Zaimubu (Departemen Keuangan), Jakarta. Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, Harun lantas mendirikan Lasykar 33 yang memakai rumahnya sebagai markas besar.
“Saya ingat beliau sempat menjadi komandan saya di Lasykar 33,” ungkap Sukarna, veteran pejuang kemerdekaan kelahiran 1921.
Pada awal 1946, Lasykar 33 dilebur ke dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya Dinas Sejarah Kodam III, beberapa bulan kemudian, Divisi Siliwangi mendapuk Harun Kabir sebagai Kepala Staf Brigade Surjakantjana, dengan pangkat mayor. Namun kemudian karena ada pembenahan struktur dari Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta, semua pangkat perwira diturunkan menjadi satu tingkat. Harun pun turun pangkat menjadi kapten.
Baca juga: Gerilyawan Kota Bernama Karna
Sebagai kepala staf brigade yang membawahi Bogor, Cianjur dan Sukabumi, mobilitas Kapten Harun begitu tinggi. Kendati awalnya dari dunia sipil, Kapten Harun dikenal sebagai sosok perwira yang sangat disiplin dan loyal kepada Republik.
“Harun Kabir adalah perwira yang sangat cakap…” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, eks Komandan Brigade Surjakantjana Divisi Siliwangi (1946-1947).
Kesaksian soal itu terlontar pula dari mulut Hetty Kabir. Dia masih ingat bagaimana sang ayah sering jarang pulang ke rumah karena selain sibuk bertugas juga menghindari pengawasan intelijen militer Belanda.
“Ayah memang menjadi incaran tentara Belanda. Begitu kritisnya situasi itu, hingga kami harus diungsikan ke rumah kerabat di Garut ” kenang perempuan kelahiran tahun 1936 itu.
November 1947, Harun Kabir dan keluarga menyingkir ke wilayah selatan Cianjur. Mereka kemudian diamankan di sebuah bukit yang merupakan ladang huma. Bukit Cioray namanya.
Karena pengkhianatan orang terdekatnya, persembunyian Harun Kabir lantas terendus oleh pasukan khusus Belanda. Tanpa memberikan kesempatan untuk diadili. Harun Kabir beserta dua pengawalnya kemudian dihukum mati di depan istri dan ketiga putri-nya. Kisah perburuan dan penembakan Harun Kabir, sempat saya tulis dalam suatu artikel berjudul: Pekik Merdeka di Ladang Huma