MEMASUKI dekade 1960, ketegangan Perang Dingin memuncak. Kala itu, Amerika Serikat (AS) dipimpin Presiden Kennedy sedangkan Uni Soviet oleh Nikita Khrushchev. Krisis di antara Kennedy dan Khrushchev ditandai dengan perlombaan senjata dan eksplorasi luar angkasa. Ketegangan ini membagi dunia atas dua kubu Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Uni Soviet).
Di tengah persaingan AS dan Uni Soviet, Presiden Sukarno tampil membawa Indonesia sebagai negara non blok. Meski demikian, Sukarno ikut aktif menjalin persahabatan baik terhadap Kennedy maupun Khrushchev. Sukarno lebih dahulu menggaet Khrushchev dengan mengundang sang kamerad berkunjung ke Indonesia.
Gayung bersambut. Pada 18 Februari 1960, Khrushchev tiba di Jakarta. Ratusan rakyat memadati lapangan udara Kemayoran menyampaikan ucapan selamat datang. Sambutan terhadap Khrushchev berlanjut ke Istana Merdeka. Untuk memukau rombongan Khruschev, Sukarno menggelar pertunjukan kesenian selama tiga setengah jam. Khrushchev dalam memoarnya Memoirs of Nikita Khrushchev: Volume 3 mengaku sungguh terpesona atas sambutan kedatangannya di Indonesia.
Baca juga:
Namun ketika acara jamuan, terjadilah insiden. Sukarno bikin ulah. Dalam pidatonya, Khrushchev merasa “dikerjai” oleh presiden Indonesia itu.
“Tetapi saya tidak mau menyembunyikan, bahwa juga ada sedikit perselisihan antara saya dengan sahabat saya Bung Karno. Dan malahan perselisihan itu barangkali bisa tumbuh kalau saya diberikan tekanan terus,” ujar Khrushchev dalam pidatonya yang terhimpun dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), termuat di khazanah “Pidato Presiden RI Soekarno 1958—1967, No. 165”.
“Di sini banyak sekali makanan dan dipaksakan terus agar makan semua,” terang Khruschev tergelak
Ternyata tekanan yang dimaksud Khrushchev adalah suguhan makanan terus menerus. Demi tamu kehormatan, rupanya Bung Karno ingin memberikan pelayanan yang terbaik. Salah satu caranya dengan menyajikan begitu banyak makanan khas Indonesia yang tidak sanggup dihabiskan rombongan Soviet.
Baca juga:
Bantuan Alutsista dari Uni Soviet
Setahun berselang, giliran Sukarno yang diundang oleh Kennedy. Pada 13 September 1961, Sukarno mendarat di pangkalan Angkatan Udara Andrews. Kennedy menyambut langsung kedatangan Sukarno lengkap dengan defile militer. Setelah itu, Kennedy dan Sukarno menuju Gedung Putih untuk mengadakan pembicaraan informal.
Dalam acara ramah tamah, usai jamuan makan, Sukarno melihat bahwa Kennedy tidak didampingi sang istri, Jacqueline. Ibu negara yang akrab disapa Jackie itu memang dikenal anggun dan berparas manis. Sukarno tentu ingin bertemu sosok Jackie, sekedar berkenalan.
Ketika berjalan ke serambi depan Gedung Putih, Kennedy mengantarkan Sukarno menuju mobil sambil bercakap-cakap. Saat itulah Sukarno menanyakan perihal keberadaan Jackie. Di belakang mereka ada Guntur, putra sulung Bung Karno, yang menguntit dan kemudian mencatat pembicaraan kedua presiden itu dalam memoar Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku.
Baca juga:
Ketika Sukarno dan Kennedy Berdebat
“John, dari tadi aku tak melihat Jackie, ke mana dia?” tanya Sukarno.
“Oh ya, tadi aku lupa menyampaikan permintaan maafnya, karena dia berhalangan hadir dalam jamuan,” jawab Kennedy.
“Sekarang ia ada di mana?” Sukarno penasaran.
“Sedang ke luar kota untuk suatu acara, dan ini berarti bahwa di Washington malam ini ada dua orang jomblo yang berbahagia! Kau dan saya! Betul atau tidak, Mr. President?” ujar Kennedy menggoda.
Sambil tersipu, Sukarno berkata, “Ho, ho, John! Kau adalah betul-betul sahabatku yang baik.”