SUATU hari tak lama setelah Indonesia merdeka, Hasjim Ning kedatangan pamannya, Bung Hatta. “Bung Hatta memberi tahu kepadaku bahwa ia akan menikah tanggal 18 November 1945 di Megamendung di daerah Cipayung. Dimintanya aku dan ayahku yang ketika itu menetap di Bogor agar ikut menghadiri perkawinannya,” kata Hasjim dalam otobiografi berjudul Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Kabar dari Bung Hatta itu membuat Hasjim senang. Sanak-famili Bung Hatta, termasuk Hasjim, telah lama menanti-nanti pernikahan Bung Hatta. Namun, mereka tak berani mengungkit soal itu lantaran Bung Hatta sudah berpendirian tak akan menikah sebelum Indonesia merdeka.
“Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan,” kata Halida Hatta, putri bungsu Bung Hatta.
Maka ketika hari pernikahan Bung Hatta dan Rahmi Rachim –putri Abdul Rachim sahabat Bung Karno– tiba, mereka suka-cita menghadirinya. Tidak banyak memang yang hadir dalam resepsi pernikahan itu karena Bung Hatta ingin resepsi sederhana. “Tidak lebih dari 30 orang, kiraku. Selain dari keluarga kedua pengantin, tentu saja Bung Karno yang menjadi ‘mak comblang’ pernikahan itu ikut hadir bersama Bu Fatmawati,” sambung Hasjim.
Baca juga: Cinta Hatta Bersyarat Merdeka
Bung Karno merupakan orang yang amat memperhatikan Hatta dalam urusan yang satu itu. “Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: ‘Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya,” kata Bung Karno kepada R. Soeharto, dikutip dalam Saksi Sejarah. Gadis pujaan Hatta itu ternyata Rahmi Rachim, anak kawannya sendiri. Maka, Bung Karno pun mengajak R. Soeharto ke rumah Abdul Rachim guna melamar Rahmi untuk Hatta.
Entah karena jasa baik Bung Karno itu atau bukan, pernikahan Hatta digelar menggunakan adat Jawa. “Aku tidak tahu siapa yang punya gagasan agar diadakan upacara adat Jawa, yakni kedua pengantin melakukan upacara menginjak telur. Mungkin gagasan itu tumbuh karena kehadiran Bung Karno saja,” kata Hasjim.
Baca juga: Secuil Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta
Lantaran menggunakan adat Jawa itulah Hasjim ketiban sial. Tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya, Hasjim diminta mewakili Bung Hatta menemani Titi, adik Bu Rahmi, melakukan ritual injak telur. Permintaan itu jelas membuatnya kaget lantaran sebagai orang berdarah Minang-Palembang, dia tak tahu bagaimana cara melakukan ritual itu. Hasjim terpaksa menerimanya lantaran permintaan itu datang dari Bung Hatta.
“Tidak seorang pun yang memberi petunjuk bagaimana mestinya melakukannya secara khidmat, maka aku menginjaknya tak ubahnya bagai tentara Jepang yang menginjak mangsanya meski aku sudah berusaha agar seindah orang menari payung. Dengan sendirinya, upacara adat Jawa yang halus itu menjadi sebuah lelucon yang menerbitkan air mata karena tertawa yang tak tertahankan dari para hadirin,” kenang Hasjim.
Baca juga: Hatta Bikin Pengusaha Hasjim Ning Pening
Setelah resepsi pernikahan selesai, Hasjim berkesempatan ngobrol santai dengan Bung Karno. Di situlah dia mengorek bagaimana Bung Karno bisa “menaklukkan” Bung Hatta sehingga mau menikah padahal banyak sanak-familinya gagal untuk urusan satu itu.
“Aku menagih janjinya, yang akan menikah bila Indonesia merdeka. Sekarang kita sudah merdeka, apa lagi. Kalau ia masih menolak, itu namanya tidak normal. Indonesia sulit dipimpin oleh orang yang tidak normal,” kata Sukarno menjawab pertanyaan Hasjim.
Baca juga: Panggil Pengusaha Kepercayaannya, Sukarno Kena Batunya
“Kenapa dengan gadis yang berbeda jauh usianya?” Hasjim bertanya lebih jauh.
“Jangan berlagak bodoh, Hasjim. Apa jij kira aku tidak sebanding dengan Fatma?” sahut Sukarno.
“Kenapa presiden dan wakil presiden sama-sama memilih gadis muda?”
“Supaya kelihatan vitalitasnya prima,” jawab Sukarno, membuat Hasjim tertawa.