Masuk Daftar
My Getplus

Di Balik Studi Hatta ke Belanda

Ketika Hatta memutuskan studi ke Belanda, terjadi perselisihan paham antara pihak ayah dan ibu. Ketakutan akan perubahan perangai dan adat menjadi penyebabnya.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 14 Jan 2021
Mohammad Hatta bersama anggota Perhimpoenan Indonesia di Belanda (Nationaalarchief.nl)

Pada 1921, Mohammad Hatta dinyatakan lulus dari Prins Hendrik Handels School di Batavia. Segera setelah itu, Hatta memutuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Dia merasa perlu mempersiapkan diri agar bisa membawa perubahan bagi bangsanya. Pilihan pun dijatuhkan ke Handels Hogeschool di Rotterdam, Belanda, mengambil jurusan ekonomi.

Kepergian Hatta itu menimbulkan pertanyaan besar: mengapa harus ke tempat orang-orang yang menjajah negerinya? Terlebih hubungan Belanda dan Minangkabau (tempat kelahiran Hatta) bisa dikatakan tidak pernah baik. Apalagi ketika masih kecil Hatta melihat dan merasakan perlakuan yang tidak adil dari pemerintah Belanda terhadap pamannya, dan terhadap banyak orang di sekitarnya.

Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik menyebut kekhawatiran terbesar dari keputusan Hatta itu adalah kekhawatiran keluarganya andai arus sekularisasi, westernisasi, dan pengasingan terhadap budaya sendiri mempengaruhi pola pikir Hatta ketika kembali dari pengembaraannya di Belanda.

Advertising
Advertising

Baca juga: Ketika Hatta Mulai Mengenal Tuhan

Rupanya keputusan tersebut menimbulkan pertentang di dalam keluarga besar Hatta. Pihak ayah dan ibu memiliki pandangan berbeda tentang pendidikan lanjutan yang harus Hatta tempuh. Yang pertama ingin agar Hatta mendalami agama Islam. Malah sudah sejak lama mereka mempersiapkan segala kebutuhan untuk Hatta pergi ke Mekah dan Mesir. Sedangkan pihak ibu ingin agar dia melanjutkan pelajaran ke sekolah umum.

Mulanya pihak keluarga ayah mengalah, membiarkan Hatta memasuki sekolah MULO. Alasannya karena sekolah itu dekat dari rumah. Sang ibu tidak tega jika anaknya yang masih kecil harus berjalan terlalu jauh. Kemudian pihak ayah kembali mengalah ketika Hatta memutuskan pergi ke PHS di Batavia, dengan alasan dasar pengajaran MULO lebih cocok diteruskan di tingkat menengah umum, dibanding pendiddikan agama di Mekah.

“Seakan otomatis saja Hatta harus pergi ke Negeri Belanda, karena memang lanjutan studinya lebih tersedia di Rotterdam, bukan di Mekah, bukan pula di Mesir,” ungkap Deliar.

Baca juga: Ketika Hatta Merayakan Natal di Jerman

Adanya sikap mengalah dari pihak ayah itu tidak berarti keluarga Hatta menerapkan sistem matrilineal. Malah sebaliknya, lingkungan hidup Hatta tidak terlalu menegakkan sistem berdasar garis ibu tersebut. Setiap membuat keputusan untuk tiap tingkat pendidikan, keluarga ayah di Batuhampar menerima dengan baik. Mereka mengakui bahwa ilmu pengetahuan, di mana pun dan apa pun yang dipelajari tidak akan membuat seseorang meninggalkan agama, asalkan dasar berpijaknya jelas. Malah mungkin saja ilmu pengetahuan itu menambah dalam rasa agamanya.

Dari pihak ayah sebenarnya tidak semua mempersoalkan pendidikan apa yang ingin dia tempuh. Seperti pamannya, Haji Arsad bergelar Syekh Batuhampar, yang menyerahkan seluruhnya kepada minat Hatta. Dia hanya berpesan satu hal: jangan meninggalkan kewajiban agama Islam. Pamannya itu, disebutkan Bung Hatta dalam otobiografinya, Memoir, merupakan ulama terkemuka di Batuhampar, Sumatra Barat.

“Yang menjadi masalah pokok baginya ialah agar Hatta, di mana pun ia berada, dan apa pun ilmu pengetahuan yang dituntutnya, tetap berdiri atas ajaran pokok Islam. Moral agama hendaknya mendasari jalan hidupnya. Tampaknya, inilah pula yang dijanjikan oleh Hatta kepada keluarga pihak ayahnya,” ungkap Deliar.

Baca juga: Hatta yang Sentimentil

Tentang westernisasi dan pengasingan budaya yang sempat menjadi kekhawatiran keluarganya tidak sepenuhnya terjadi. Kebiasaan sehari-hari, seperti makan dengan sendok dan garpu, berpakaian rapi di meja makan, atau bersepatu di dalam rumah, memang dilakukan Hatta. Tetapi itu lebih kepada kerapian dan kebersihan yang dia biasakan. Sekalipun tetap hidup di tanah air, kebiasaan seperti itu mungkin saja dikembangkan Hatta. Lagi pula hal-hal semacam itu hanya soal teknis saja, bukan merupakan prinsip hidup.

“Bagi Hatta, pendiriannya beragama telah tidak memungkinkan ia menempatkan agama di luar kehidupan dunia. Pendiriannya ini pun telah tidak memungkinkan ia terpisah dari bangsanya yang memang sebagian besar menganut agama Islam. Maka dengan sendirinya pula ia tidak melepaskan diri dari pergolakan yang berkembang di Tanah Air,” tulis Deliar.

TAG

mohammad hatta

ARTIKEL TERKAIT

Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika Hukuman Penculik Anak Gadis Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Masa Kecil Sesepuh Potlot Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Kriminalitas Kecil-kecilan Sekitar Serangan Umum 1 Maret Dokter Soetomo Dokter Gadungan Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Umar Jatuh Cinta di Zaman PDRI