Masuk Daftar
My Getplus

Bung Karno yang Kesepian

Bercengkerama dengan rakyat menjadi kesenangan Sukarno sejak muda. Tak bisa lagi dilakukannya sejak ada Tjakrabirawa.

Oleh: M.F. Mukthi | 11 Jul 2020
Sukarno dan Ho Chi Minh di Istana Cipanas. (gdtd.com.vn).

Ketika mengikuti delegasi Suratkabar Harian Rakyat ke Vietnam pada 1964, Mendiang Amarzan Lubis, redaktur budaya harian itu, ikut menemui pemimpin Vietnam Ho Chi Minh. Delegasi bertemu Paman Ho di tempat tinggalnya, sebuah rumah kecil di kompleks Istana Kepresidenan Vietnam. Rumah itu terletak di belakang istana.

“Antara rumah itu dengan istana ada tali yang direntangkan. Paman Ho harus meloncati tali itu setiap kali ke istana. Itulah caranya melatih fisiknya, kata Amarzan kepada Historia beberapa tahun silam.

Dalam kesempatan itu, Paman Ho tak lupa menanyakan kabar Bung Karno. Namun begitu mendapat jawaban Bung Karno secara umum sehat, Paman Ho bertanya lebih jauh apakah mereka sudah lama tidak bertemu dengan presidennya alias tidak setiap saat bisa menghadapnya.

Advertising
Advertising

“Kalau di sini, Paman Ho bisa ditemui kapan pun oleh wartawan,” kata Paman Ho, dikutip Amarzan.   

Baca juga: Pelopor Jurnalisme Komik di Indonesia

Sukarno memang tak lagi leluasa bergerak menemui sembarang orang sejak dibentuknya Tjakrabirawa. Meski dirinya sempat menolak, pendirian pasukan pengawal presiden yang digagas KSAD Jenderal Nasution itu tetap dilanjutkan karena pengamanan lebih kepada presiden menjadi keniscayaan mengingat beberapa upaya percobaan pembunuhan dilakukan terhadap Sukarno.

Dengan sendirinya Sukarno harus merelakan “kemerdekaannya” sedikit dikurangi. “Biasanya dulu aku bisa keluar istana dengan diam-diam, kadang-kadang seorang diri. Semenjak berdirinya Cakrabirawa ini tak mungkin lagi kulakukan,” kata Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.  

Sejak menempati Istana pada 1950 hingga sebelum Tjakrabirawa, 1962, Sukarno kerap melakukan hobinya “turba” keliling kota hanya dengan seorang ajudan berpakaian preman yang mengawal. “Kami pergi dengan mobil kecil tanpa tanda pengenal. Kalau hari sudah malam aku menukar pakaian, pakai sandal, pantalon dan kalau hari terlalu panas aku hanya memakai kemeja. Dan dengan kacamata berbingkai tanduk rupaku lain samasekali. Aku dapat berkeliaran tanpa dikenal orang dan memang kulakukan. Ini kulakukan karena ingin melihat kehidupan ini. Aku adalah kepunyaan rakyat, aku harus melihat rakyat, aku harus mendengarkan rakyat dan bersentuhan dengan mereka,” sambungnya.

Berbeda-beda jalan dilaluinya, berbagai sudut kota didatanginya, bermacam orang ditemui Sukarno dalam “turba”-nya. Obrolan, perdebatan, guyonan, rayuan orang yang sedang bermesraan, dan semua dinamika kehidupan rakyat menjadi “santapan rohani” Sukarno dalam turba itu. Sukarno kadang mengajak komunikasi orang-orang yang ditemuinya. Namun itu jarang dilakukannya karena khawatir suaranya dikenal orang.

Suara “singa podium” memang familiar di telinga rakyat. Suara itulah yang pernah membuat “penyamarannya” ketahuan. Terbongkarnya penyamaran itu bermula dari ketika Sukarno menanyakan seorang kuli yang sedang mengangkat batu bata. Suara Sukarno itu terdengar oleh seorang perempuan yang tak jauh darinya. Karena kaget mengetahui ada presiden di tengah kampungnya, perempuan itu segera berteriak mengumumkan bahwa Bung Karno ada di situ. Orang-orang pun berduyun-duyun datang sehingga pengawal terpaksa melarikan presiden ke dalam mobil untuk kemudian meninggalkan kerumunan.

Selain meminimalisir komunikasi, untuk menghilangkan kecurigaan orang dalam penyamarannya, Sukarno melakukannya dengan meniru kebiasaan yang ada pada rakyat. Ketika lapar, dia akan langsung menuju pedagang kaki lima yang diinginkan dan makan sebagaimana pembeli lain makan.

“Ada kalanya aku membeli sate di pinggir jalan. Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang. Sungguh saat-saat yang menyenangkan,” kata Sukarno.

Baca juga: Membebaskan Tjakrabirawa di Aljazair

Saat-saat menyenangkan itu tak bisa lagi dilakukan Sukarno ketika Tjakrabirawa sudah mengelilinginya 24 jam dalam tiap harinya. Praktis “nyantai” hanya dilakukan Sukarno di lingkungan Istana entah dengan menteri-menterinya yang dia panggil ikut sarapan bareng atau dengan para pegawai Istana yang tinggal di kompleks Istana. Ketidakbisaan berada di tengah rakyat itu amat menyiksa batinnya.

“Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti pengasingan yang terpencil. Seringkali aku duduk-duduk seorang diri di beranda Istana Merdeka. Merenung. Dan memandang keluar ke taman indah yang menghilangkan kelelahan pikiran, taman yang kutanami dengan tanganku sendiri. Dan batinku merasa sangat sepi. Aku merasa terpisah dari jelata. Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku. Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku,” ujarnya.

TAG

sukarno tjakrabirawa

ARTIKEL TERKAIT

Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower Kopral Hargijono Tak Sengaja Menembak Ade Mukidjan Bukan Tjakra D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band Boengkoes, Tjakra Terakhir di Cipinang Setelah Rohayan Menembak Soeprapto