Masuk Daftar
My Getplus

Berdarah Karena Ketakutan

Pengalaman masa remaja Jaksa Agung. Lari ketakutan dari medan pertempuran.

Oleh: Hendi Jo | 29 Jul 2022
Jaksa Agung Soegih Arto dan Presiden Soeharto ketika berkunjung ke daerah. (Repro Sanul Daca).

Dua bulan setelah Proklamasi, terjadi pertempuran di Heetjansweg (sekarang Jalan Sultan Agung) Bandung antara Badan Keamanan Rakyat (BKR) melawan Kempeitai, polisi militer Angkatan Darat Jepang.

Selain orang dewasa, banyak remaja yang masih duduk di sekolah menengah terlibat dalam pertempuran. Salah satunya Soegih Arto (1923–2008) yang kelak menjadi perwira tinggi berpangkat Letnan Jenderal di lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan menjabat Jaksa Agung kedelapan (1966–1973). Dalam pertempuran itu, Soegih kebagian membawa watermantel, sejenis senjata otomatis.

Soegih menceritakan pertempuran itu dalam memoarnya, Sanul Daca (Saya Nulis Anda Baca). Kendati asrama Kempeitai dihujani tembakan gencar dari berbagai arah, Kempetai tak mau menyerah. Mereka malahan membalas tembakan jauh lebih gencar.

Advertising
Advertising

“Sedadu-serdadu Kempeitai itu menembak secara terukur dan menargetkan sasaran tepat, sedangkan kami menembak secara membabi buta sekadar untuk menghilangkan rasa takut saja,” kenang Soegih.

Baca juga: Cerita Lucu Batalion Cibatu

Saat menembak seenaknya itulah sebutir peluru mengenai dahan pohon tempat Soegih dan kedua kawannya berlindung. Menyaksikan itu nyali Soegih meleleh. Tanpa banyak cakap, dia berdiri mengangkat senapan mesin lalu mundur secara teratur.

“Ayo mundur! Keadaan gawat nih!” seru Soegih.

“Apanya yang gawat? Tembakan baru dua-tiga kali, masa sudah gawat?” tanya salah seorang kawannya.

Soegih tak mengindahkan pertanyaan kawannya. Dia tetap mengambil langkah seribu. Dalam kondisi panik dan ketakutan, kakinya tersandung batu. Soegih terjatuh. Dagunya membentur batu tajam hingga mengeluarkan darah.

“Dalam sekejap, kameja saya berlumuran darah dari dagu yang terluka,” ujar Soegih.

Baca juga: Cucian untuk Perdana Menteri Kashmir

Tak lama kemudian tembak-menembak berhenti. Sambil memikul watermantel, dengan gagah Soegih berjalan menuju Java Straat (sekarang Jalan Jawa). Dia tahu, di situ ada sebuah sekolah menengah yang memiliki banyak murid perempuan dan organisasi palang merah.

Dengan darah bercucuran, tentu saja Soegih mendapat perhatian lebih. Dia langsung ditangani gadis-gadis palang merah yang jelita. Dan itu memang maunya.

“Saya tentunya tidak menceritakan bahwa darah itu keluar karena saya lari ketakutan lalu jatuh kesandung batu,” kata Soegih.

TAG

soegih arto jepang

ARTIKEL TERKAIT

Anak-anak Tukang Emas Mendukung RI Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis)