Warga Jakarta memasuki tahun baru 2020. Tapi bertemu lagi dengan masalah klasik: banjir. Jakarta dan air ibarat musuh bebuyutan. Tak pernah sampai pada titik temu, tak pernah ada solusi. Gubernur silih berganti, tapi kota ini tetap takluk oleh air.
Banjir Jakarta telah menggenangi catatan sejarah berabad lamanya. Jauh hari sebelum dihuni manusia, Jakarta merupakan dataran rendah. Sebagian daerahnya bahkan lebih rendah daripada permukaan laut. Dengan demikian, banjir di Jakarta sebelum berpenghuni merupakan peristiwa lumrah. Tak ada yang dirugikan. Tapi begitu manusia menghuni wilayah ini, lain ceritanya.
Masa VOC bercokol di Batavia, nama lama Jakarta, banyak Gubernur Jenderal mencoba aneka cara untuk menanggulangi banjir. Jan Pieterszoon Coen (menjabat 1619—1623 dan 1627—1629) misalnya, mulai membuat sejumlah kanal untuk mengendalikan air dari sungai-sungai yang membelah Jakarta. Antara lain Sungai Ciliwung, sungai utama di Batavia.
Namun upaya tersebut tak sepenuhnya berhasil. Seiring masa, kanal-kanal yang dibuat oleh Coen tidak berfungsi dengan baik. Kanal penuh dengan sampah pabrik gula atau tebu. Laju air tersendat. Banjir pun mendera dan menenggelamkan sebagian wilayah Batavia.
Ratusan tahun kemudian wilayah Batavia meluas dengan pesat. Hutan berganti oleh hunian manusia. Tapi masalah kota ini tetap sama. Bahkan hingga masuk masa merdeka, Jakarta masih dijajah banjir. Tak jarang cakupan wilayah terdampak banjir begitu luas. Seperti banjir pada 1960-an yang melanda Grogol.
Edi Sedyawati dkk. dalam Sejarah Kota Jakarta 1950-1980 menyatakan, masalah banjir adalah masalah utama Jakarta. Penyebabnya, Jakarta tak pernah punya sistem tata kelola air yang memadai. Padahal kota ini terbelah oleh hingga sepuluh sungai. Tapi sebab terpenting adalah cara pandang dan perilaku warga kota yang tak pernah mengganggap alam sebagai sahabat. Hingga enak saja membuang sampah.
Banjir tak pernah pandang bulu mendera warga. Kawasan mewah seperti Kelapa Gading pun tak luput dari banjir. Warga perumahan elite yang biasanya berseliweran di mal-mal Kelapa Gading, awal tahun baru lalu justru sibuk menyelamatkan barang-barang berharga di rumahnya.
"Saya sudah lama tinggal di Kelapa Gading. Banjir parah tahun 2004, lalu 2007 dan kini tidak menyangka baru awal tahun 2020 kami sudah dilanda bencana. Semoga ini cepat berlalu," ujar Weni (32), warga kompleks Janur Asri, Kelapa Gading.
Baca juga: Air Mengalir Sampai Banjir
Pesatnya pembangunan di Jakarta tidak dibarengi dengan perbaikan tata kelola air. Semua membangun, tapi tidak membaik. Ditambah lagi kota ini tak siap dengan perubahan iklim akibat pemanasan global. Tapi belum terlambat untuk memperbaiki cara pandang dan perilaku semua orang di kota. Semua orang masih terus berupaya menemukan inovasi baru untuk menanggulangi banjir. Karena apabila tak ada perbaikan, bukan tidak mungkin Jakarta akan tenggelam.