Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Penakluk Angkasa Borneo

Mulai dari makan nasi dengan belerang, telur satu bagi delapan hingga berkali-kali ditembak meriam Inggris. Semua itu tidak membuatnya gentar.

Oleh: Fernando Randy | 22 Sep 2019
Pramono Adam, salah satu pilot AURI di era Dwikora. (Fernando Randy/Historia).

Lelaki itu berperawakan tinggi besar. Rambutnya sudah memutih. Usianya menginjak 82 tahun. Tapi suaranya masih jelas dan ingatannya sempurna. Pramono Adam, Kolonel Penerbang (Purn.), bercerita kepada Historia tentang pengalamannya selama menjadi pilot Angkatan Udara Republik Indonesia di Kalimantan pada masa Dwikora (Dwi Komando Rakyat) 1963—1965.

Pramono Adam saat melihat koleksi tanaman di halaman belakang rumahnya. (Fernando Randy/Historia).

Masa itu Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Musababnya Inggris berniat membentuk Federasi Malaya (nama lama Malaysia) di utara Kalimantan tanpa membicarakannya dengan Indonesia. Presiden Sukarno tersinggung, merasa dilangkahi, dan menentang rencana itu. Dia pikir rencana itu juga sebentuk kolonialisme baru. Tidak sesuai dengan semangat zaman. Maka dia berseru, “Ganyang Malaysia!”

Baca juga: Percikan Awal Sebuah Konfrontasi

Advertising
Advertising
Berbagai hiasan bertema Angkatan Udara banyak terlihat di rumah Pramono Adam di kawasan Bogor. (Fernando Randy/Historia).

Ketika Historia menemui Pramono, dia tengah asik berbincang dengan dua veteran Indonesia, Tatang Kurniadi dan M. Husni. Cerita Pram, begitu dia dipanggil, keluar begitu detail. Membuat pendengarnya seolah ikut merasakan apa yang dia rasakan dulu. Misalnya ketika dia dan kawan-kawannya kesulitan makan saat zaman Jepang menduduki Indonesia.

Baca juga: Jepang Mencengkeram Pedesaan

“Saya masih ingat betul ketika dulu harus makan telur dibagi untuk delapan orang. Biar kenyang, kami tambahkan belerang,” katanya sambil tersenyum.

Pram seringkali melihat ke jendela untuk menunggu tukang koran langganannya. (Fernando Randy/Historia).
Walau sudah berusia 82 tahun ingatan Pramono Adam akan semua pengalamannya masih sempurna. (Fernando Randy/Historia).

Kisah lainnya lebih seru. Pram menuturkan, suatu hari dia pernah mengantar Brigjen TNI Soemitro, Pangdam IX/Mulawarman, dari markasnya di Balikpapan (timur) hingga ke Long Bawang (utara). Jaraknya sekira 700 kilometer dengan topografi berbukit-bukit dan hutan lebat.

Baca juga: Pram Cerita Naik Heli Bayar Pakai Kambing

Long Bawang ketika itu adalah zona tempur utama antara Indonesia dan Malaysia. Pram dan Soemitro menggunakan helikopter. Mereka ditembaki oleh Inggris dengan meriam.

Pram bersama dengan sesama veteran pejuang Indonesia Tatang Kurniadi dan M. Husni. (Fernando Randy/Historia).

“Awalnya hanya untuk mengantar kemudian kembali ke Tarakan. Tapi malah disuruh menginap. Besoknya kami pulang. Bila terlambat sepersekian detik mungkin kami tidak selamat, karena setelah itu peluru meriam musuh dari perbatasan Malaysia menghanguskan seluruh Long Bawang,” sambungnya. 

Istri Pram, Sri Ningsih selalu setia berada di sampingnya baik saat masih bertugas dulu hingga kini saat pensiun. (Fernando Randy/Historia).
Pram menghabiskan sore harinya dengan menyiram dan memeriksa tanamannya. (Fernando Randy/Historia).

Semua peristiwa tersebut sudah berlalu. Kini Pram menjalani hari baru. “Sekarang tinggal menikmati hidup, bangun pagi baca koran, sore hari siram tanaman, lalu nonton tv sama istri. Saya tidak pernah tidur di atas jam sembilan malam. Tidur terlalu malam tidak baik untuk orang seusia saya ini,” tutur pria yang dikarunai empat orang anak tersebut. 

Berbagai hiasan dan karat di mobil Pram, menghiasi rumahnya sekarang. (Fernando Randy/Historia).

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitulah kehidupan Pram sekarang. Anak dan cucunya mengikuti jejak Pram menjadi pilot. “Mereka bukan pilot helikopter, tapi pilot maskapai penerbangan,” katanya.

Baca juga: Pram Cerita Heli Trengginas yang Diganti Heli Bekas

Pram memperlihatkan foto-fotonya dulu saat masih bertugas bagi negara. (Fernando Randy/Historia).

Cerita Pram tentang masa konfrontasi Indonesia-Malaysia masih banyak. Menanti terus untuk digali. “Kami selalu suka berbagi cerita, pintu rumah saya selalu terbuka untuk semua orang yang ingin mendengar kisah saya, terutama anak-anak muda,” tutupnya.

Baca juga: Pram Cerita Psywar Saat Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Pram dan istrinya Sri Ningsih, selalu membuka pintu rumahnya untuk anak-anak muda yang ingin mendengar kisah perjuangnya. (Fernando Randy/Historia).

 

TAG

auri tni au pramono adam

ARTIKEL TERKAIT

Pelaut Madura dalam Sejarah Indonesia Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Lika-liku Opsir Luhukay Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Koes Plus dan Mantan Perwira AURI Wardiman Menyambut Kemerdekaan Seragam Batik Tempur Misteri Pembela Omar Dani Sosok Sukarno dan Pak Dirman dalam Kadet 1947 Tragedi Pesawat Angkatan Udara di Mata Utami Suryadarma