- Hendaru Tri Hanggoro
- 12 Jun 2012
- 4 menit membaca
Diperbarui: 16 Jul
KALA menginjakan kaki di Pelabuhan Surabaya pada 1938, Liem Sioe Liong kebingungan. Petugas imigrasi pelabuhan menanyakan siapa kerabat yang bisa menjaminnya di Surabaya. Sioe Liong, yang baru datang dari Tiongkok, tak bisa menjawab lantaran kakaknya, Liem Sioe Hie, tak ada di pelabuhan. Sioe Liong tertahan di pelabuhan. Tak diizinkan keluar oleh petugas imigrasi. Empat hari kemudian barulah Sioe Hie menjemputnya. Kakak beradik itu berpelukan. Air mata mereka tak terbendung.
Mereka keluar pelabuhan mencari warung. Bertukar cerita sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Kudus. Sioe Liong terpaksa meninggalkan kampung halamannya, Futching, karena serangan tentara Jepang. Waktu itu dia baru berusia 20 tahun. Pemuda seperti dia menjadi sasaran empuk Jepang untuk direkrut paksa ke dalam tentara. Menolak berarti dibunuh, sedangkan melawan Jepang harus masuk ke hutan. Sioe Liong tak memilih keduanya. Dia lari. Hingga akhirnya sampai di Surabaya.
Ingin membaca lebih lanjut?
Langgani historia.id untuk terus membaca postingan eksklusif ini.












