Masuk Daftar
My Getplus

Sosok di Balik Alfamart

Berawal dari toko kelontong, Djoko Susanto mengembangkan usahanya hingga menjadi pengusaha ritel. Alfamart ada di mana-mana.

Oleh: Amanda Rachmadita | 17 Agt 2022
Djoko Susanto, pendiri Alfamart. (Instgram @ubmuniversity).

Video pegawai Alfamart tengah meminta maaf kepada seorang wanita yang mencuri cokelat viral di media sosial. Video itu kian menjadi sorotan karena pegawai itu diancam UU ITE dan pihak Alfamart dianggap kurang melindungi pegawainya. Akhirnya, setelah pihak Alfamart menggandeng pengacara kondang Hotman Paris, perempuan itu meminta maaf dan mengakui perbuatannya.

Alfamart merupakan salah satu perusahaan ritel terbesar di Indonesia. Gerainya tersebar di mana-mana, bahkan tak jarang ada gerai yang berdekatan.

Sosok di balik kesuksesan Alfamart adalah Djoko Susanto alias Kwok Kwie Fo. Pria yang lahir pada 9 Februari 1950 ini merupakan pemilik PT Alfa Retailindo Tbk. Ia memulai bisnis ritelnya dari sebuah gudang di Jalan Lodan No. 80, Jakarta pada 1989.

Advertising
Advertising

Sebelumnya, A Kwie sapaan Djoko Susanto, pernah bekerja di pabrik perakitan radio merek Aladin di Senen, Jakarta. Pekerjaan itu ia lakukan untuk mengisi waktu setelah putus sekolah karena sekolahnya ditutup tahun 1966. Djoko yang baru lulus SMP tahun 1965 tengah melanjutkan pendidikan di SMA Pah Tsung di Kebon Kelapa, Mangga Besar, Jakarta. Namun, pemerintah Orde Baru menutup sekolah yang didirikan setelah Indonesia merdeka pada 1945. Sekolah Pah Tsung kembali dibuka pada 2012.

Menurut Alberthiene Endah dalam biografi Djoko Susanto, Dari Warung Menuju Alfamart, Djoko bekerja di pabrik sebagai penjaga gudang dan controller. “Saya harus memastikan radio-radio yang dihasilkan berada dalam kondisi baik, dan penyimpanannya harus pula dijamin tidak merusak radio. Gampang-gampang susah karena risikonya juga tinggi,” kata Djoko.

Baca juga: Awal Mula Toko Jepang di Indonesia

 

Selain menjadi perakit radio, Djoko juga pernah mengelola toko kelontong Toko Sumber Bahagia milik orang tuanya di Petojo. Ia mengaku kepekaannya terhadap “hawa ritel” tumbuh dari sana. Di toko ini, anak ketujuh dari sebelas bersaudara ini berjualan terigu, beras, gula pasir, gula merah, minyak goreng, telur, serta berbagai bahan pangan dan aneka bumbu.

Memasuki tahun 1970-an, Djoko mencari cara agar toko kelontongnya berkembang. Ia berganti haluan dengan fokus menjual rokok, obat, susu kental manis, susu bubuk, dan minuman bersoda. Saat itu pasar rokok merupakan arena yang menggairahkan. Aneka rokok populer dan rokok-rokok yang relatif kecil serta rokok-rokok yang dipasarkan di daerah-daerah menjadi primadona di kalangan pedagang. Selain itu, perusahaan-perusahaan rokok belum memiliki armada distribusi sendiri sehingga bergantung pada agen-agen dan pedagang-pedagang besar.

Toko kelontong Djoko lambat laun menjadi toko grosir rokok yang melayani para pedagang. Nahas, kebakaran Pasar Arjuna di Petojo, Jakarta, pada 1976 turut menghancurkan tokonya. Alberthiene menyebut kerugian yang diderita Djoko ditaksir Rp500 juta yang sebagian besar utang.

Baca juga: Persaingan Toko Jepang dengan Toko Tionghoa

Djoko kembali membuka toko di lokasi baru di Jalan Petojo Barat 3. Perlahan tapi pasti, utang terlunasi. Memasuki tahun 1980-an, tokonya berkembang besar. Bahkan, ia diundang oleh pejabat tinggi dari pabrik-pabrik rokok. Pada 1987, ia memiliki 15 jaringan toko grosir dan terpilih sebagai penjual rokok Gudang Garam terbesar di Indonesia.

Kesuksesan Djoko dalam perdagangan rokok berlanjut hingga ia menjadi bagian dari manajemen grup Sampoerna. “Pertemuannya dengan Putera Sampoerna, bos PT HM Sampoerna akhir 1986 mengubah nasibnya secara total. Ia diangkat menjadi direktur penjualan PT Sampoerna yang membawa PT HM Sampoerna ke peringkat kedua terbesar setelah Gudang Garam,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.

Djoko yang dijuluki Dewa Rokok menjadi direktur PT Panamas, distributor tunggal seluruh produk PT HM Sampoerna.

Pada 1989, Djoko mendirikan Alfa Toko Gudang Rabat atau Alfa TGR. Sebuah gudang besar di Jalan Lodan No. 81, Jakarta Utara, disulap menjadi toko dengan rak-rak yang luar biasa banyak. Alfa TGR melayani pembelian dalam partai besar maupun eceran dengan penawaran harga khusus.

Baca juga: Awal Mula Ritel Skala Besar di Indonesia

Djoko menyebut konsep itu diambil berdasarkan hasil riset di lapangan terhadap pesaing. Pada masa itu, Hero Supermarket fokus pada penjualan eceran. Sementara Makro dan Goro fokus pada penjualan grosir dalam partai besar. Alfa TGR memilih bermain di tengah-tengah untuk merangkul konsumen dari supermarket dan toko grosir.

“Di bawah payung PT Alfa Retailindo, Alfa memiliki sedikitnya 30-an outlet,” tulis Sam Setyautama.

Kesuksesan Alfa TGR tak membuat Djoko berhenti mengembangkan usahanya. Ia kemudian membangun minimarket atau toko-toko kecil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat yang lokasinya mudah dijangkau.

Sebenarnya, ide minimarket bukan hal baru. Pada 1999, Indomaret telah memiliki 400 minimarket. Keberhasilan Indomaret mendorong Djoko untuk membuat minimarketnya sendiri. Ia mendirikan PT Alfa Mitramart Utama dengan merek dagang Alfa Minimart, kemudian menjadi Alfamart.

Gerai Alfamart pertama dibuka di Jalan Beringin Raya, Karawaci, Tangerang, pada 18 Oktober 1999. Gerai-gerai berikutnya dibuka di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, hingga mencapai seratus gerai pada 2001. Empat tahun kemudian mencapai 922 gerai.

Baca juga: Awal Kejayaan Pasar Swalayan

Untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas, Alfamart membuka franchise atau waralaba. Sehingga, pada 2005 Alfamart mencapai 1.300 gerai yang tersebar di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Pada 2021, jumlahnya mencapai 16.492 gerai di seluruh Indonesia. Pada 2022 ditargetkan membuka 800–1000 gerai baru.

Ekspansi Alfamart dan Indomaret dianggap dapat mematikan warung, toko, dan pasar tradisional. Djoko menanggapi bahwa Alfamart tidak mungkin menguasai semua kebutuhan hidup manusia ketika bicara tentang belanja sehari-hari. Menurutnya, pasar tradisional akan terus mendapatkan ruang karena ada hal-hal khas yang hanya mereka yang bisa menyediakan. Demikian juga toko-toko yang menjual berbagai barang spesifik yang hanya mereka yang ahli melakukannya.

“Namun, konsekuensi logis yang tidak bisa kita bendung dari perkembangan zaman adalah tumbuhnya pasar modern. Format belanja modern adalah tuntutan dari masyarakat modern,” kata Djoko.

TAG

ritel

ARTIKEL TERKAIT

Tepung Seharga Nyawa Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Cikal Bakal Bursa Saham Orang Pertama yang Menjual Saham VOC Kisah Mantan Pilot John F. Kennedy Perebutan yang Menghancurkan Timah dan Tuan Besar Asisten Rumah Tangga Jadi Pemilik Saham Pertama VOC VOC Sebagai Perusahaan Saham Gabungan Ketika Pangeran Inggris Jadi Korban Pencurian