Masuk Daftar
My Getplus

Pengelolaan Zakat Fitrah Masa Kolonial

Pemerintah kolonial enggan campur tangan dalam pengumpulan dan pengelolaan fitrah. Mendorong tumbuhnya transparansi dan akuntabilitas lembaga zakat.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 13 Mei 2021
Muhammadiyah Bagian Penoeloeng Kesengsaraan Oemoem (PKO). (Twitter @muhammadiyah).

Pada tiap pengujung bulan Ramadan, umat Islam mempunyai kewajiban menunaikan zakat fitrah. Bentuknya berupa makanan pokok dengan ukuran 2,5 kilogram atau uang dengan nilai yang sama sebesar makanan pokok tersebut.

Umat Islam di Indonesia bisa menyerahkan zakat fitrah langsung kepada delapan golongan penerimanya (mustahik) atau melalui lembaga pengelola dan penyalur zakat pemerintah dan swasta. Tapi pada masa kolonial keadaannya berbeda. Pemerintah kolonial tak ikut campur dalam pengumpulan dan pengelolaannya.

“Belanda benar-benar berusaha mencegah pejabat-pejabatnya melakukan campur tangan dalam persoalan keagamaan dan mencari keuntungan dari zakat dan fitrah,” catat Amelia Fauzia dalam Filantropi Islam Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia. Kebijakan ini mulai diuji coba pada 1858 dan berlaku resmi pada 1905.

Advertising
Advertising

Snouck Hurgronje menjadi orang yang paling menentang campur tangan pemerintah kolonial untuk urusan fitrah. “Di mana zakat dan fitrah menjadi penting, maka para bupati pun sering ikut mencampuri pengurusannya. Terkadang hal semacam itu terjadi demi kepentingan mereka,” kritik Snouck terhadap praktik campur tangan pemerintah kolonial masa sebelumnya, seperti tersua dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936 VII.

Baca juga: Jejak Filantropi Orang Indonesia

Sebagai gantinya, Snouck mengusulkan agar pemerintah kolonial campur tangan dalam urusan kas masjid. Seperti halnya fitrah, penyaluran kas masjid terindikasi salah sasaran. “Ia menyadari bahwa langkah ini merupakan campur tangan terhadap agama, tapi dinilainya justru untuk menghindarkan penyelewengan,” catat Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda.

Semasa larangan campur tangan itu diberlakukan, umat Islam biasanya mengantarkan fitrahnya kepada rohaniawan desa. Ini sebutan orang-orang Belanda bagi pegawai rendahan desa yang memimpin pembacaan doa pada penguburan, pernikahan, dan sejenisnya. Dalam bahasa setempat sering disebut modin. Sekarang namanya marbot, pengurus musala atau masjid.

Rohaniwan desa kemudian mengoper fitrah ke naib, atasan mereka. Dari naib, fitrah beralih lagi ke penghulu yang menempati posisi formal dalam struktur pegawai anak negeri. Dari penghulu naik lagi ke bupati. Tapi pengoperan fitrah itu tak selalu penuh.

Sering ada penyisihan sebagian dari fitrah itu untuk kas desa. Tak jarang pula kepala desa ikut menikmati sebagian fitrah itu. Tindakan ini tidak sesuai dengan syariat penyaluran fitrah untuk delapan golongan yang berhak menerimanya.

Baca juga: Filantropi Masa Resesi Ekonomi di Hindia Belanda

“Merupakan hal baru yang juga bertentangan, baik dengan syariat agama maupun dengan adat,” sebut Snouck. Karena itulah, Snouck bersikeras memaksa pemerintah untuk menarik keterlibatannya, termasuk para penghulu, dari urusan fitrah.

Amelia menyimpulkan, dengan gagasan itu Snouck berkeinginan “untuk melindungi kebebasan individu dari paksaan dalam pembayaran zakat dan fitrah, dan pilihan kepada siapa zakat dan fitrah akan diberikan.”

Gagasan Snouck ternyata mendapat tempat di sejumlah kelompok umat Islam. Buktinya dalam artikel di surat kabar Kaoem Moeda edisi 26 Juni 1919. Artikel ini menceritakan penolakan pembayaran fitrah melalui modin. Si penulis artikel menggunakan nama samaran Kromo. “Kromo mengkritik modin dan mengatakan tidak akan membayar zakat apapun ke modin,” terang Amelia.

Contoh lain penolakan membayar zakat fitrah melalui pemerintah tersua dalam pertemuan umum Sarekat Islam di Purworejo pada 15 September 1918. H. Fachruddin, salah satu pemimpin Sarekat Islam sekaligus Muhammadiyah, mengkritik pembayaran fitrah melalui ulama. “Yang sebagian besar untuk kepentingan ulama itu sendiri, bukan untuk orang-orang miskin,” tulis Amelia.

Baca juga: Lebaran di Mata Kolonialis

Kiai Haji Sanusi (1888–1950), ulama dari Priangan, juga menolak pembayaran fitrah ke pejabat agama di bawah bupati. Menurutnya, fitrah bukan urusan pemerintah karena itu tak ada kewajiban untuk membayarnya melalui pemerintah. Sanusi menyarankan orang untuk membayar fitrah kepada amil yang dipilih oleh masyarakat. Amil merupakan orang yang bertugas mengumpulkan fitrah dan berhak menerima fitrah.

Absennya pemerintah kolonial dari urusan fitrah membuka peluang penguatan masyarakat sipil dalam mengelola fitrahnya. Dua organisasi sipil yang dianggap punya peran penting dan besar dalam mengelola dan menyalurkan fitrah ialah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Muhammadiyah, berdiri pada 1912, membentuk sebuah sayap organisasi khusus untuk mengurusi zakat dan fitrah. Sayap itu disebut Penoeloeng Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang didirikan pada 1918. Melalui PKO, Muhammadiyah berupaya mengembalikan penyaluran fitrah kepada yang berhak sesuai syariat.

Untuk mempertanggungjawabkan penyaluran itu, PKO melaporkan hasil pengumpulan dan penyaluran fitrah lewat media massa milik Muhammadiyah. Amelia menyebut kemungkinan Muhammadiyah dan Sareket Islam sebagai organisasi Islam yang memelopori penggunaan media cetak untuk transparansi dan akuntabilitas aktivitas mereka.

Laporan penyaluran fitrah dari Muhammadiyah muncul pada Oetoesan Islam, 23 September 1918. “Pendapatan beras ada 1.101 kati terus dibagi pada fakir miskin. Orang yang minta ada 432 orang. Ini usaha sanget menyenengkan benar-benar bagi kaum sekeng (orang miskin, red.),” tulis Oetoesan Islam seperti dikutip Amelia.

Baca juga: Buya Hamka di Bawah Panji Muhammadiyah

Sejak 1940, Muhammadiyah rutin melaporkan penyaluran fitrah dalam Soeara Moehammadiyah. Dalam satu laporannya, Soeara Moehammadiyah mencatat ada 2.978,08 pikul beras terkumpul dari laporan 389 cabang dan ranting Muhammadiyah di Hindia Belanda. Beras itu disalurkan kepada 104.230 fakir miskin.

Di beberapa daerah seperti Sengkang (Sulawesi Selatan) dan Marissa (Sulawesi Utara), fitrahnya berbentuk jagung dan sagu. Ini menyesuaikan makanan pokok setempat. Di daerah lainnya semisal di Aceh, Lhoksemauwe, dan Karangdapo (Bengkulu), fitrahnya justru berbentuk uang.

Sementara itu, Nahdlatul Ulama mendelegasikan tugas pengumpulan fitrah kepada Anshor, sayap organisasi pemudanya. Laporan pengumpulan dan penyaluran fitrah dari 41 cabang Anshor termuat di Soeara Anshor, 14 Desember 1941. Laporan itu memuat pula pembayaran fitrah berbentuk uang.

“Menurut sebagian ulama NU, hal ini sebenarnya dianggap force majeure atau ‘keadaan memaksa’ yang akhirnya diperbolehkan, padahal dalam kitab-kitab fikih Syafi’i... dinyatakan fitrah harus dibayar dalam bentuk bahan makanan pokok seperti beras dan jagung,” terang Amelia.

Baca juga: Umat Islam Indonesia di Mata KH Hasyim Asy'ari

NU juga mendukung pemberantasan penyaluran fitrah yang menyimpang dari syariat. Pernyataan itu tersua dalam kongres ketiga Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) di Solo pada 7–8 Juli 1941.

“Soal zakat fitrah: menyetujui dan menguatkan usaha Hindia Belanda untuk memberantas cara pengeluaran zakat fitrah yang bertentangan pada perintah-perintah Islam dan menyerahkan hal itu kepada perhimpunan Islam masing-masing,” demikian pernyataan NU.

Pembayaran dan pengelolaan fitrah kemudian berubah setelah Indonesia merdeka. Negara kembali terlibat dalam pembayaran dan pengelolaan fitrah.

TAG

zakat fitrah filantropi muhammadiyah nahdlatul ulama lebaran idulfitri

ARTIKEL TERKAIT

Tradisi Membeli Baju Lebaran Menentukan Hari Lebaran Pada Masa Kolonial Sosok Itu Bernama Hamka Jenderal Soedirman Lebaran di Jakarta Pertemuan Rahasia di Malam Lebaran Belanda Menghalangi Salat Id di Jakarta Lebaran Pertama Setelah Zaman Perang Suasana Mudik dan Lebaran di Awal Orde Baru Awal Mula Pelesiran Lebaran ke Kebun Binatang Sejarah Mudik Lebaran