Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melanda Sumatra dan Kalimantan sejak awal September 2019. Jerebunya bergerak ke Singapura dan Malaysia. Puluhan ribu orang terkena infeksi saluran pernapasan atas. Banyak sangkaan tertuju ke pengusaha perkebunan kelapa sawit sebagai biang onar karhutla. Tapi pengusaha kelapa sawit membantahnya.
Perkebunan kelapa sawit sekarang telah menjadi sumber devisa terbesar Indonesia. Nilainya menyentuh angka 300 triliun rupiah pada 2018. Di sebalik itu, perkebunan kelapa sawit menyimpan banyak masalah. Dari kerusakan lingkungan (termasuk karhutla), perampasan keanekaragaman hayati, sampai sengketa lahan antara perkebunan dengan warga.
Mengapa perkebunan kelapa sawit menjadi serumit dan sekontroversial ini? Sampai pemerintah perlu mengkampanyekan secara berulang-ulang bahwa kelapa sawit itu baik.
Baca juga: Kabut Asap di Masa Lalu
Kerumitan kelapa sawit bermula dari kedatangan empat batang kelapa sawit ke Hindia Belanda pada 1848. Dua dari (Mauritius) dan dua lainnya dari Amsterdam (Belanda).
“Empat batang bibit kelapa sawit ini kemudian ditanam di kebun Raya Bogor,” catat Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu dalam Kelapa Sawit: Kajian Sosial-Ekonomi. Bibit itu tumbuh menjadi pohon kelapa sawit dan berbuah setelah 10 tahun.
“Akan tetapi pada waktu itu pohon tadi tidak lebih sebagai suatu perhiasan taman atau jalan,” ungkap Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.
Sawit Terbaik
Orang-orang tempatan di Hindia Belanda tidak menyandarkan hidupnya pada kelapa sawit. Berbeda dari orang-orang di Afrika Barat, tempat asal kelapa sawit, dan Afrika Tengah. Penghidupan orang di sana bergantung pada ekspor kelapa sawit.
“Pada bagian kedua abad XIX, dengan meningkatnya permintaan bahan baku untuk produksi mentega dan sabun di Eropa dan kemudian di Amerika maka berkembang pula industri ekspor minyak kelapa sawit di bagian dunia itu,” lanjut Creutzberg dan Van Laanen.
Menyadari potensi ekonomi kelapa sawit, pemerintah kolonial berhasrat turut meramaikan pasar. Mereka memulainya dengan menyebar bibit kelapa sawit di beberapa wilayah seperti Banyumas, Priangan, Pamanukan, Ciasem, Tanjung Morawa, Bekalla, Polonia, dan Deli (Sumatra Utara).
Harapan pemerintah kolonial bibit itu tumbuh baik, menghasilkan minyak, dan penduduk mengenal tanaman itu. Tapi tak semua bibit mampu tumbuh. Sebagian besar mati. Sisanya tumbuh, tapi kandungan minyaknya minim.
Penduduk cenderung abai dengan usaha pemerintah kolonial menumbuhkan kelapa sawit. “Sayang semua jerih payah itu tidak memperoleh tanggapan yang baik dari rakyat,” tulis Loekman dan Retno. Orang merasa cukup dengan pohon-pohon kelapa. Buah, tangkai, dan bunganya serba guna untuk kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Kumbang Kamerun, Mak Comblang Sawit
Selain itu, orang di Hindia Belanda juga gemar menanam pohon rumbia. Daunnya dapat menjadi atap rumah dan batangnya untuk keperluan rumah tangga. Jadi, untuk apa lagi pohon bernama kelapa sawit itu? tanya mereka.
Saat pemerintah kolonial hampir menyerah mengupayakan kelapa sawit, seorang pengusaha Belgia bernama Adrien Hallet justru tetap menanam kelapa sawit. Perkebunannya membujur di Sungai Liput (Aceh) dan Pulu Radja (Asahan, Sumatra Utara) pada 1911.
Hallet kemudian menyasar Deli, Sumatra Timur, sebagai lahan perkebunan kelapa sawit. Dia telah mempelajari dan membaca laporan kolonial tentang habitat kelapa sawit di Hindia Belanda selama bertahun-tahun. Kesimpulannya, tanah Deli adalah tanah terbaik untuk pertumbuhan kelapa sawit.
“Kelapa sawit tipe Deli merupakan kelapa sawit terbaik di antara tipe-tipe yang lain,” catat Kompas, 16 September 1979, dalam “Pohon Kelapa Sawit Tertua di Indonesia”. Pohon kelapa sawit di Deli berbuah lebih lebat. Komposisinya juga lebih superior. Kandungan minyaknya 30 persen lebih banyak ketimbang kelapa sawit di tempat lain.
Peran Modal Besar
Pengusaha Eropa lainnya mengikuti langkah Hallet menanam modalnya di perkebunan kelapa sawit. Catatan Loekman dan Retno menunjukkan kenaikan jumlah perkebunan, luas, dan produksi kelapa sawit di Sumatra Timur dari 1914 hingga 1938.
“Perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor negara Afrika waktu itu,” catat Bonnie Triyana dalam Derom Bangun: Memoar “Duta Besar” Sawit Indonesia.
Potensi kelapa sawit menarik perusahaan besar seperti Socfin, perusahaan dengan modal gabungan Prancis dan Belgia, dan HVA, bank perkebunan Belanda. Mereka membeli perusahaan kelapa sawit perorangan.
Baca juga: Pesawat Sukhoi Rasa Minyak Sawit
Pembelian itu tak terelakkan. Modal perorangan begitu terbatas, sedangkan pengolahan kelapa sawit memerlukan biaya tinggi. Biaya pengolahan kelapa sawit meliputi pembangunan pusat penelitian, penangkal hama, upah buruh, pengembangan teknologi, dan penerapan manajemen.
Investasi perusahaan besar di perkebunan kelapa sawit kian mengerek produksi kelapa sawit Hindia Belanda. Tahun 1919 menjadi tonggak pertama ekspor kelapa sawit Hindia Belanda ke pasaran dunia. Pemerintah kolonial dan negeri induk kecipratan manisnya kelapa sawit.
Loekman dan Retno mengungkap, 12 persen pendapatan nasional negeri Belanda berasal dari ekspor perkebunan Hindia Belanda, termasuk sawit. Seperlima penduduk di sana, pendapatannya juga bergantung dari penjualan hasil perkebunan Hindia Belanda.
Sengketa Karena Sawit
Tetapi semua keuntungan itu tidak menetes ke para pekerja dan penduduk sekitar perkebunan kelapa sawit. Mereka merasakan pahitnya sawit.
Kebanyakan pekerja kelapa sawit berasal dari Jawa. Sebab orang-orang tempatan enggan bekerja di perkebunan. Maka pemerintah membantu perusahaan merekrut buruh dari luar Sumatra.
Buruh-buruh itu terikat aturan Poenale Sanctie, aturan yang tidak berpihak pada buruh. “Para buruh harus hidup di perkebunan itu dengan penuh perlakuan yang sering tidak manusiawi dari pihak perkebunan,” tulis Loekman dan Retno.
Pemilik perkebunan, administratur, dan stafnya bergelimang kemewahan. Mereka penguasa di dunia kecil bernama perkebunan kelapa sawit. Mereka bergelar tuan kebun atau tuan besar. Kekuasaan mereka mutlak.
“Sementara itu baik buruh perkebunan maupun rakyat yang tinggal di sekitar perkebunan harus bergelimang dengan kehidupan yang miskin karena upah yang sangat rendah dan ketidakpedulian perusahaan perkebunan terhadap perkembangan desa sekitarnya,” lanjut Loekman dan Retno.
Baca juga: Derita Kuli di Tanah Deli
Penduduk sekitar terdesak oleh perluasan lahan perkebunan kelapa sawit. Mereka biasanya menggarap tanaman pangan. Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit mengurangi lahan tanaman pangan mereka. Pendapatan mereka dari menggarap lahan ikut menyusut. Selain itu, ancaman ketahanan pangan di wilayah tersebut pun mengemuka.
Rebutan lahan garapan menyulut ketegangan antara penduduk dan perusahaan perkebunan. Pemerintah kolonial melihat kegawatan itu. Mereka menarik sebagian lahan konsesi perkebunan kelapa sawit. Lahan itu kemudian diberikan kepada petani untuk ditanami padi.
“Keputusan ini diambil oleh pemerintah kolonial Belanda setelah melihat adanya ketergantungan yang sangat besar daerah Pantai Timur Sumatra terhadap impor beras. Disamping merupakan usaha pemerintah kolonial Belanda untuk meredam kemungkinan munculnya gejolak politik,” ungkap Loekman dan Retno.
Baca juga: Tanah untuk Rakyat
Pendudukan Jepang mengubah kehidupan di perkebunan kelapa sawit. Raja-raja kecil di perkebunan sawit tumbang dan tersingkir. Jepang mengambil-alih semua perkebunan kelapa sawit di Sumatra Timur. Hasilnya bukan untuk ekspor ke pasaran dunia, melainkan memenuhi kebutuhan perang Jepang.
Tetapi pemblokiran Sekutu terhadap kapal-kapal Jepang di Selat Malaka menghentikan pengiriman kelapa sawit ke Jepang. Gudang-gudang perkebunan pun penuh dengan hasil kelapa sawit yang tak terangkut. Akhirnya, Jepang menyudahi aktivitasnya di perkebunan kelapa sawit.
Kekalahan Jepang pada 1945 menempatkan perkebunan kelapa sawit sebagai bahan rebutan organisasi kelaskaran. Pemenang perebutan perkebunan kelapa sawit punya visi baru: menyebar keuntungan kelapa sawit untuk rakyat Indonesia. Tapi visi ini tak pernah mewujud. Sebab Sekutu datang, merebut, dan menyerahkan kembali perkebunan kepada pemilik awalnya.