Masuk Daftar
My Getplus

Kenaikan Harga BBM Masa Sukarno

Pemerintah menaikkan harga BBM di tengah krisis ekonomi. Demonstrasi mahasiswa mendorong berakhirnya kekuasaan Sukarno.

Oleh: Amanda Rachmadita | 07 Sep 2022
Sejumlah mahasiswa saat melakukan demonstrasi atas kenaikan BBM di gedung DPR/MPR Jakarta. (Historia/Fernando Randy)

Harga tiga Bahan Bakar Minyak (BBM) yakni Pertalite, Solar subsidi, dan Pertamax naik sejak Sabtu (3/9/2022) pukul 14.30 WIB. Harga Pertalite naik dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter, Solar subsidi dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter, dan Pertamax dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.

Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM mendapat penolakan. Selain karena harga minyak mentah dunia tengah turun, kenaikan harga BBM juga dapat memicu naiknya harga-harga kebutuhan pokok lainnya.

Unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM berlangsung di sejumlah titik di Jakarta pada Senin (5/9/2022), di antaranya di depan gedung DPR/MPR RI dan kawasang Patung Kuda Arjuna Wijaya, dekat Istana Merdeka. Demonstrasi mahasiswa juga terjadi di beberapa daerah.

Advertising
Advertising

Kenaikan harga BBM memang kerap memicu demonstrasi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, seperti terjadi di akhir masa Orde Lama. Pada masa Presiden Sukarno, kesulitan ekonomi karena salah manajemen mulai terasa sejak tahun 1963 yang memuncak pada 1965–1966.

Baca juga: Krisis Barang pada Zaman Jepang

Firman Lubis, seorang dokter, dalam Jakarta 1950–1970 mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia semakin memburuk menjelang peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). “Inflasi melangit dan menyebabkan nilai rupiah merosot tajam dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai gambaran, ongkos naik bis umum yang pada 1962 masih berkisar Rp1 berubah menjadi Rp1.000 pada 1965,” kata Firman.

Di tengah situasi politik yang mencekam pasca pembunuhan para jenderal TNI AD dalam peristiwa G30S, pemerintah menaikkan harga bensin yang semakin memberatkan masyarakat. Keputusan ini untuk mengendalikan hiperinflasi yang mencapai 650 persen dan meningkatkan pendapatan negara.

Dalam otobiografinya Saatnya Saya Bercerita, Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina, mengakui bahwa berdasarkan instruksi dari Wakil Perdana Menteri III merangkap Menko Kompartemen Pembangunan Chaerul Saleh, dia menandatangani sebuah perintah menaikkan harga bensin dari Rp4 menjadi Rp250 per liter pada 8 November 1965. Harga-harga produk lain pun mengikutinya.

Dengan demikian, kenaikan harga bensin itu lebih dari 60 kali lipat atau mencapai 6250 persen. Harga minyak tanah juga naik dari Rp15 menjadi Rp150.

Baca juga: Krisis Ekonomi Masa Sukarno

Setelah menaikkan harga bensin, pemerintah melakukan sanering, yaitu menetapkan mulai 13 Desember 1965 nilai uang Rp1.000 menjadi Rp1 uang baru. Kebijakan baru ini tak banyak menolong karena inflasi tetap tak terkendali.

Laju inflasi yang tinggi membuat barang-barang kebutuhan pokok langka. Antrean warga terlihat di sejumlah tempat. Firman Lubis menyaksikan orang-orang harus mengantre untuk membeli beras, minyak goreng, minyak tanah, dan gula pasir. Barang-barang itu pun hanya bisa dibeli di toko-toko tertentu yang ditunjuk pemerintah dan dibatasi jumlahnya.

“Akibatnya banyak keluarga kelas bawah yang kekurangan makan. Fasilitas umum memburuk, pasokan air PAM berhenti mengalir dan listrik sering mengalami pemadaman,” kata Firman.

Setelah melakukan sanering, pada 3 Januari 1966 pemerintah kembali menaikkan harga bensin empat kali lipat dari Rp250 menjadi Rp1.000 atau Rp1 uang baru. Keputusan ini memantik kemarahan publik. Mahasiswa pun turun ke jalan.

Baca juga: Pesan Bung Karno untuk KAMI

Seminggu setelah kenaikan harga bensin, pada 10 Januari 1966 KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan kesatuan-kesatuan aksi lainnya, melakukan demonstrasi besar-besaran. Mereka menyampaikan tiga tuntutan yang dikenal dengan Tritura, yaitu bubarkan PKI, turunkan harga, dan retul (rombak) Kabinet 100 Menteri.

Firman Lubis menyebut hampir setiap pagi mahasiswa melancarkan aksi demonstrasi. Sejumlah menteri menjadi sasaran kritik mahasiswa, seperti Soebandrio dan Chaerul Saleh. Soebandrio diejek sebagai anjing Peking, sementara Chaerul Saleh dicap sebagai menteri goblok karena keputusannya menaikkan harga bensin.

“Memang waktu itu banyak yel-yel mahasiswa yang cukup keras, seperti ‘ganyang menteri plintat plintut’, ‘menteri tukang kawin’, ‘menteri tolol’, ‘tukang ngobyek’, dan banyak lagi lainnya yang khas kreativitas mahasiswa,” kata Firman.

Baca juga: Serba-serbi Demonstrasi 1966

Tak hanya para menteri, Sukarno juga turut menjadi sasaran kritik dan protes para demonstran.

Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan menyebut pada 15 Januari 1966 Sukarno menantang siapa saja yang dapat menurunkan harga dalam waktu tiga bulan akan diangkat menjadi menteri, tetapi kalau gagal akan ditembak mati. Hadely Hasibuan adalah orang pertama yang menjawab tantangan itu.

Pengacara dan pemimpin majalah hiburan Varia itu menyusun konsep untuk menurunkan harga dalam tiga bulan. Namun, konsepnya ditolak karena dianggap bertentangan dengan perjuangan revolusi Indonesia.

Soe Hok Gie juga menyebut bahwa aksi-aksi demonstrasi mahasiswa dibarengi dengan aksi mogok kuliah dan mengirim delegasi mahasiswa untuk mendatangi para menteri. Tetapi usaha-usah ini tidak banyak hasilnya. “Hasil konkretnya hanyalah harga bensin turun dari Rp1.000 menjadi Rp500 sedangkan harga lainnya tetap bertahan,” tulis Gie.

Baca juga: Kenaikan Harga BBM Masa Orde Baru

Demonstrasi mahasiswa mendorong berakhirnya kekuasaan Sukarno. Setelah Sukarno mengeluarkan Supersemar pada 11 Maret 1966, pidato pertanggungjawabannya ditolak MPRS. Sukarno dijadikan tahanan kota kemudian tahanan rumah hingga meninggal pada 21 Juni 1970.

Jenderal TNI Soeharto mengambil alih kekuasaan sejak 1967. Selama masa kekuasaannya, pemerintah Orde Baru 21 kali menaikkan harga BBM dan mulai memberikan subsidi BBM pada 1974/75. Akhirnya, setelah berkuasa sekitar 32 tahun, Soeharto dilengserkan oleh gerakan Reformasi. Peristiwanya mirip masa akhir kekuasaan Sukarno.

Indonesia dilanda krisis ekonomi pada 1997 dan 1998. Setelah tiga tahun sejak 1994 tidak menaikkan harga BBM, pada 1997 pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM; untuk harga premium naik dari Rp700 menjadi Rp1.200. Tak lama kemudian pemerintah menurunkan harga premium menjadi Rp1.000 karena situasi politik dan demonstrasi mahasiswa.*

TAG

bbm sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band Pengawal-pengawal Terakhir Sukarno* Membidik Nyawa Presiden Sukarno Sukarno, Patung, dan Patung Sukarno