Untuk melakukan penguasaan terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, pemerintah membentuk badan-badan penampung. Dalam perjalannnya, badan-badan ini bertransformasi menjadi badan-badan usaha milik negara (BUMN).
Perkebunan
Perusahaan Belanda pertama yang dinasionalisasi adalah pertanian/perkebunan yang membentang dari Sumatra, Jawa, dan Aceh. Diawali dengan 38 perusahaan perkebunan tembakau, disusul 205 perusahaan pertanian/perkebunan meliputi perkebunan karet (yang paling banyak dinasionalisasi), teh, kopi, tebu termasuk pabrik gula, kelapa, kelapa sawit, kapok, cengkeh, dan sebagainya. Pada 1960, pemerintah kembali menasionalisasi 22 perusahaan pertanian/perkebunan Belanda; sebagian besar perkebunan pala. Semua perusahaan tersebut berada di bawah Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Baru, yang dibentuk pada Desember 1957.
PPN-Baru kemudian dilebur dengan PPN-Lama, yakni 40 perkebunan Belanda yang diambilalih pada September 1950. Fusi PPN-Baru dan PPN-Lama melahirkan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara (BPU-PPN) yang dibagi berdasarkan komoditas: karet, gula, tembakau, dan aneka tanaman. Jumlah PPN dari seluruh komoditas tersebut adalah 88 PPN.
Pada 1967, pemerintah melakukan pengelompokkan terhadap perusahaan pertanian/perkebunan menjadi perseroan terbatas (Persero) dengan nama PT Perkebunan I sampai IX. PTP dikelompokkan kembali melalui penggabungan dan pemisahaan yang kini dikenal dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN I sampai XIV).
Perdagangan
Sekitar 30 perusahaan dagang Belanda beserta cabang-cabangnya dinasionalisasi. Yang terbesar adalah apa yang disebut The Big Five: Boorsumij, Internatio, Jacobson van den Berg, Lindeteves Stokvis, dan Geowehry. Seluruh perusahaan perdagangan itu dilebur dalam PT Negara, yang dibentuk BUD.
PT Negara kemudian dinamakan dengan Bhakti, yang terdiri dari sembilan Bhakti: PT Budi Bhakti (Borsumij), Aneka Bhakti (Internatio), PT Fadjar Bhakti (Jacobson van den Berg), PT Tulus Bhakti (Lindeteves), dan PT Marga Bhakti (Geo Wehry), PT Djaja Bhakti (Usindo), PT Tri Bhakti (CTC), PT Sedjati Bhakti (Jajasan Bahan Penting), dan PT Sinar Bhakti (Java Steel Stokvis).
The Big Five dimerger menjadi tiga BUMN Niaga: PT Tjipta Niaga (Persero), PT Dharma Niaga (Persero), dan PT Pantja Niaga (Persero). Ketiga perusahaan ini kemudian dimerger lagi menjadi PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), yang juga dikenal sebagai Indonesia Trading Company (ITC). Satu-satunya BUMN trading company ini bergerak dalam perdagangan umum yang meliputi ekspor, impor, dan distribusi.
Perindustrian dan Tambang
Jumlah seluruh perusahaan industri yang diambilalih dan bernaung di bawah BAPPIT sebanyak 177 perusahaan, terdiri dari industri mesin/listrik (47), industri kimia (21), industri grafika (18), dan industri umum (91). BAPPIT memiliki cabang di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Selatan, dan luar Jawa.
Pada 1965, pemerintah memutuskan membubarkan dan melebur ke dalam perusahaan-perusahaan daerah antara lain perusahaan-perusahaan negara farmasi dan alat kesehatan “Kasa Husada” serta perusahaan industri umum antara lain industri kulit, pemintalan, pertenunan dan perajutan, makanan dan minuman, keramik, logam dan mesin, kimia, kayu bahan bangunan dan sabut, karet, nabati dan es.
Perusahaan grafika yang berada di bawah pengawasan BAPPIT selanjutnya ditempatkan di bawah Perusahaan Negara Percetakan Negara di antaranya PN Daja Upaja (NV De Unie), PN Gita Karya (G. Kolff & Co), PN Eka Grafika (Abadi), Dwi Grafika (Djakarta Press), dan PN Tri Grafika (Batanghari).
Nasionalisasi penting dilakukan terhadap perusahaan PT Percetakan Kebayoran Lama. Pada 1971, perusahaan ini dimerger dengan Arta Yasa, perusahaan negara pembuat uang logam, dan terbentuklah Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri).
Perusahaan tambang yang dinasionalisasi adalah NIAM (Nederlandsche Indische Ardolie Maatcshappij), perusahaan patungan pemerintah Indonesia dan BPM. Pada 1959, NIAM diubah menjadi PT Permindo (Pertambangan Minyak Indonesia) dan memindahkan kantor pusatnya ke Jakarta dari Den Haag Belanda. Konsesi Permindo habis pada akhir 1960. Sementara itu, pemerintah melalui Angkatan Darat mengambilalih Tambang Minyak Sumatra Utara yang mengubahnya menjadi PT Permina (Perusahaan Minyak Nasional). Selain Permina, pemerintah juga mendirikan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (Pertamin), yang menggarap ladang minyak di Jambi, Ogan (Sumatra Selatan), dan Bunyu (Kalimantan Timur). Pada 1968, Permina dan Pertamin dilebur menjadi Pertamina.
Perbankan
Hampir semua bank milik Belanda di Jakarta diambilalih oleh Serikat Buruh Bank Seluruh Indonesia (SBBSI), termasuk tiga bank besar: Nederlandse Handel Maatschappij (Factorij), Nederlandse Handelsbank (NHB), dan Escompto.
Menurut Beng To Oey dalam Sejarah Kebijaksanaan Moneter Indonesia Volume 1, untuk menghindari penguasaan oleh SBBSI, Peperpu bekerja sama dengan Bank Indonesia mengambil tindakan khusus terhadap ketiga bank itu pada 8 Desember 1957 dengan menempatkannya di bawah Badan Pengawas Bank yang diketuai Koordinator Finek/Staf Harian Penguasa Militer.
Nasionalisasi terhadap bank-bank milik Belanda harus diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kerugian terhadap cadangan devisa negara yang pada saat pengambilalihan ditahan pada bank bersangkutan.
Baca juga: Meniti Jalan Nasionalisasi
“Untuk menyelamatkan cadangan devisa tersebut dibentuk Badan Pengawas Bank-Bank yang mempertahankan dan mengawasi direksi lama bank sehingga pimpinan operasi sehari-hari tetap dalam tangan direksi lama tersebut. Hal ini berbeda dengan perusahaan-perusahaan di bidang lainnya yang dikuasai, di mana pimpinannya secara langsung diambilalih pula,” tulis Beng To Oey.
Setelah dilakukan pengawasan baru kemudian dinasionalisasi. NHB dinasionalisasi menjadi Bank Umum Negara (BUNEG) yang kemudian menjadi Bank Bumi Daya. Escompto dinasionalisasi menjadi Bank Dagang Negara. Nederlandsche Handelmaatschappij NV (Factorij) dinasionalisasi dan dilebur bersama Bank Rakyat Indonesia dan Bank Tani Nelayan menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN). Namun, pada 1968 BKTN dipecah menjadi dua bank: BRI dan Bank Exim (Bank Expor Impor Indonesia). Pada Juli 1999, Bank Exim, Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, dan Bank Pembangunan Indonesia dilebur menjadi Bank Mandiri.
Listrik dan Gas
Inisiatif nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik di Indonesia mencuat dalam resolusi Kongres IV Sarekat Buruh Djawatan Listrik dan Gas Indonesia (SBLGI) di Madiun, 6-9 April 1948. Selanjutnya, tuntutan perbaikan gaji dari SBGLI bermuara pada desakan agar negara segera menasionalisasi perusahaan listrik dan gas.
Pada 1953, pemerintah merespons dengan membentuk Panitia Nasionalisasi Listrik diketuai Ir. Putuhena dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Panitia ini bekerja dengan landasan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. U.16/7/5 tanggal 3 Oktober 1953 tentang kekuasaan melaksanakan pengoperan perusahaan-perusahaan listrik partikelir. Dasar nasionalisasi semakin kuat dengan Surat Keputusan Presiden Sukarno No. 163/1953 tentang nasionalisasi semua perusahaan listrik di seluruh Indonesia.
ANIEM (Algeemene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij), anak perusahaan NV Maintz & Co. yang menguasai 50 persen listrik di Indonesia, resmi dinasionalisasi pada 1 November 1954.
Pengambilalihan perusahaan listrik dan gas milik Belanda berlanjut pada 1957. Peperpu menyerahkan semua perusahaan listrik dan gas yang diambilalih kepada pemerintah. Sembilan perusahaan listrik dan gas dengan anak perusahaan mereka yang dinasionalisasi berada di bawah Penguasa Perusahaan Peralihan Listrik dan Gas (P3LG), sebelum dibubarkan dan digantikan Dewan Direksi Perusahaan Listrik Negara (DDPLN).
DDPLN tidak berlangsung lama. Pada Maret 1961, pemerintah mendirikan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN), di mana pengusahaan gas masuk dalam Satuan Eksploitasi XIV PLN. Empat tahun kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19/1965 tanggal 13 Mei 1965, pemerintah membubarkan BPU-PLN dan memisahkan PLN dan Perusahaan Gas Negara (PGN).
Transportasi
Indonesia tidak bisa membiarkan pelayaran dimonopoli perusahaan asing. Pemerintah mengusulkan pembentukan perusahaan pelayaran patungan dengan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda. Perundingan buntu karena pemerintah ingin pembagian sahamnya, 51:49, sedangkan KPM ingin fifty-fifty. Lantas, pemerintah mendirikan Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) pada 28 April 1952 dengan modal swasta Rp 200 juta. Hingga tahun 1954, Pelni memiliki 42 kapal, namun hampir 90 persen pelayaran antarpulau masih dikuasai KPM.
Dalam aksi pengambilalihan, kantor pusat KPM di Jakarta menjadi yang pertama dikuasai serikat buruh KBKI pada 3 Desember 1957. Buruh juga berhasil menguasai 34 kapal milik KPM. Tiga hari kemudian, menteri perhubungan menyatakan persetujuannya untuk mengambilaih KPM. Namun, KPM tidak bisa diambilalih secara keseluruhan karena staf kantor pusat KPM mengabarkan kepada seluruh kapten dan awak kapal KPM untuk menyelamatkan kapal-kapal dari pengambilalihan. Bahkan, kapal-kapal KPM yang berhasil diambilalih harus dikembalikan setelah perusahaan asuransi Lloyds di London, tempat KPM mengasuransikan kapal-kapalnya, mengancam menuntut ganti rugi pemerintah Indonesia sebesar Nf117 juta. KPM kemudian dilarang beroperasi di wilayah perairan Indonesia.
Baca juga: Strategi Unilever Menghadapi Nasionalisasi
Pemerintah juga menasionalisasi delapan perusahaan maritim milik Belanda beserta cabang-cabangnya, yaitu perusahaan galangan kapal dan dok serta kapal uap. Perusahaan tersebut antara lain NISHM (Nederland Indonesische Steenkolen Handel Maatschappij) Tanjung Priok, NISE (Nederlands Indonesische Scheepvaart Establisementen) Tanjung Priok, Droogdok Maatschappij Tandjung Priok, VPV (Vereenigde Prauwen Veeren) Jakarta, Radio Holland, Droogdok Maatschappij Surabaja, IMP (Industrieele Maatschappij Palembang), dan Dock-Works Semarang. Selain itu, dua kapal uap dan prau, SSPV (Semarangsche Stoomboot en Prauwen Veer) dan Semarang Veer digabung dengan Dock Works Semarang menjadi Perusahaan Angkutan Air dan Dok Negara Semarang.
Perusahaan keretapi yang dinasionalisasi berjumlah sebelas, kemudian ditambah satu lagi perusahaan keretapi dan telepon, yaitu NV Deli Spoorweg-Maatschappij. Perusahaan ini ditetapkan sebagai Perusahaan Negara Kereta Api. Setelah melalui perubahan status, kini bernama PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Konstruksi, Asuransi, dan Farmasi
Pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan pemborongan dan kontraktor milik Belanda dengan cabang-cabangnya. Perusahaan-perusahaan ini kemudian menjadi BUMN konstruksi seperti Adhi Karya, Waskita Karya, Wijaya Karya, Yodya Karya, Hutama Karya, dan Amarta Karya.
Sekitar sembilan perusahaan asuransi jiwa milik Belanda dinasionalisasi. Setelah mengalami penggabungan dan perubahan nama, kini perusahaan asuransi negara yang paling dikenal adalah Jasa Raharja dan Jiwasraya. Demikian pula dengan tujuh perusahaan farmasi yang dinasionalisasi. Penggabungan menghasilkan tiga perusahaan farmasi BUMN: Bio Farma, Indofarma, dan Kimia Farma.