ORANG Mesir Kuno adalah yang pertama menciptakan 24 jam per hari. Patokannya bayangan matahari dan posisi bintang di langit. Mereka juga menciptakan jam matahari, kendati bangsa lain seperti Tiongkok, Babilonia, Yunani, dan Romawi sudah menggunakan instrumen itu untuk memberi tahu mereka tentang waktu. Namun, alam mengenal musim, yang menyebabkan matahari tak selalu muncul atau memberikan waktu yang tepat.
Pemikiran soal waktu terus berkembang. Bukan hanya untuk menentukan pagi, siang, hingga malam tapi juga bagaimana mengetahui ketepatan waktu dari jam, menit, dan detik.
Jam Matahari
Mengamati perubahan bayangan matahari merupakan metode tertua untuk menandai perubahan waktu. Jam matahari, yang dilengkapi skala dan gnomon (alat penanda waktu yang memanfaatkan bayangan sinar matahari), digunakan sejak milenium ketiga sebelum masehi.
Lain bangsa lain pula bentuk jam mataharinya. Jam matahari bangsa Yunani disebut hemispherium, biasanya terbuat dari batu. Bentuknya seperti mangkuk terpotong, lengkap dengan gnomon dan ukiran yang menerangkan 12 jam dalam sehari. Yang monumental adalah jam matahari dari Mesir purba, yang menggunakan obelisk atau tiang batu.
Jam air
Jam matahari memiliki kelemahan, yakni bergantung pada cuaca dan sinar matahari. Perkembangan ilmu pneumatik (tentang tekanan udara) dan fenomema hidrolik menjadi pendorong munculnya jam air.
Clepsydrae atau jam air ini terdiri dari bejana sederhana berisi air yang menetes keluar melalui corong. Tetesan air inilah yang jadi ukuran waktu. Jam ini berkembang di India dan Tiongkok pada milenium pertama sebelum masehi.
Jam pasir
Jam pasir juga tak bergantung pada cuaca maupun matahari. Bentuknya dua tabung kaca yang terhubung tabung sempit di tengahnya. Pasir mengisi bagian atas yang akan mengalir ke bawah sebagai penanda waktu. Bangsa Yunani pada abad ketiga menggunakan jam pasir untuk menanndai waktu bicara dalam Senat. Sementara di daratan Eropa, jam pasir dikembangkan Luitprand, seorang pendeta pada katedral Chartres, Prancis.
Jam lilin
Untuk menandai waktu selama berdoa di malam hari, biara Clunny yang berada di Burgundia, sebuah kota kecil di Prancis, membakar lilin. Kebiasaan ini lazim dilakukan biara Kristen di Eropa pada Abad Pertengahan. Penggunaannya lalu meluas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya digunakan untuk menunjukkan durasi waktu lelang barang dan pemilihan pemimpin.
Foliot
Pada akhir Abad Pertengahan, orang Eropa mulai memikirkan penunjuk waktu yang lebih tepat. Para pembuat jam menggunakan roda bergerigi untuk mengatur escapement atau alat pengatur gerakan jam. Untuk menjaga interval putaran gerigi, dipasanglah semacam batang atau foliot dalam posisi mendatar. Deskripsi rinci dari mekanisme jam model ini ditulis Giovanni de Dondi, seorang profesor astronomi dari Padua, Italia, pada 1364 dengan judul Il Tractus Astarii.
Pendulum
Pada 1656, Christiaan Huygens, ahli fisika, matematika, dan astronomi asal Belanda,menciptakan mekanisasi baru untuk jam: pendulum. Pendulum ini bukan murni pemikiran Huygens, karena telah ditemukan ahli fisika dan astonomi asal Italia, Galileo Galilei. Foliot yang berat pun digantikan pendulum untuk menggerakkan mesin jam. 19 tahun berselang, Huygens menciptakan hairspring atau semacam per tipis dalam jam yang berfungsi mengontrol kecepatan putaran dan keseimbangan roda gerigi. Dari sinilah berkembang jam kecil yang dapat dimasukkan ke saku jas.
Jam elektrik
Jam mekanik dengan pendulum memiliki masalah soal sumber daya untuk terus menggerakkan pendulum. Seorang pembuat jam berkebangsaan Skotlandia, Alexander Bain, lalu membuat model jam dengan menggunakan tenaga listrik. Ia menggunakan tenaga elektromagnetik untuk menggerakkan mesin jam. Bain mematenkan jam elektriknya pada 1841.