DI masa lalu pemerintah kolonial Belanda memberlakukan aturan ketat soal pemakaian jubah atau pakaian bergaya Arab. Pakaian ini diasosiasikan dengan orang-orang yang pulang beribadah haji di Mekah, yang kerap menjadi penyebab keonaran.
Dalam berbagai pemberontakan dan peperangan besar maupun kecil di Hindia Timur, Belanda dihadapkan pada masyarakat yang memakai jubah panjang putih dengan serban di kepala. Mereka juga mempropagandakan cara hidup puritan; melarang perjudian, minuman-minuman beralkohol; mengisap opium dan tembakau; dan semacamnya.
“Dalam gelombang propaganda anti-VOC pada 1670-an di Banten, banyak orang meninggalkan pakaian Jawa dan memakai pakaian Arab,” tulis Kees van Dijk dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, yang termuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.
Salah satu lawan tangguh Belanda adalah Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825-1830). Dalam Babad Dipanegara disebutkan Pangeran Diponegoro pergi ke medan perang dengan mengenakan pakaian berupa celana, jubah, dan penutup kepala berwarna putih. Pada kesempatan-kesempatan lain, dia mengenakan pakaian hitam dalam gaya Arab dan serban hitam atau hijau, terlebih setelah dia mengundurkan diri dari kehidupan istana dan mengembara ke pedesaan. Menurut Dijk, masa itu, seiring kepopuleran Wahabi di Mekah, kalangan ulama memang kerap menggunakan busana jubah dan serban.
Baca juga:
Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro yang Belum Diketahui Banyak Orang
Melacak Keris Mistis Pangeran Diponegoro
Riwayat Keris Bertuah Milik Diponegoro
Nanang Tahqiq, dosen Fakultas Ushuluddin dan Falsafah Universitas Islam Negeri Jakarta, mengatakan pemakaian jubah sebagai pakaian perang untuk menunjukan siapa “kami” dan siapa “kamu”. Jika Pangeran Diponegoro dan pasukannya mengenakan pakaian yang sama dengan pakaian yang dipakai Belanda, berarti tak ada bedanya. Kenapa jubah? “Karena kalau sarung pasti ribet,” kata Nanang yang juga mengajar di jurusan Falsafah dan Agama Universitas Paramadina.
Selain Diponegoro, Imam Bonjol yang memimpin Perang Padri, dan pasukannya, juga mengenakan pakaian gaya Arab serbaputih. Kaum Padri, seperti juga kaum Wahhabi di Arab, menekankan pada pelaksanaan ajaran-ajaran Islam secara ketat. Dalam hal pakaian, mereka mengharuskan perempuan memakai kerudung dan laki-laki mengenakan pakaian putih bergaya Arab –dari sinilah muncul istilah “kaum putih”.
Menurut Nanang, jubah atau pakaian gaya Arab kali pertama diperkenalkan di Nusantara oleh para pedagang Arab. Selain itu, orang-orang yang pergi ke Mekah untuk berhaji dan menuntut ilmu agama kembali ke Nusantara dengan mengenakan pakaian jubah. “Jubah di sini sebagai petanda (signified) dan penanda (signifier) orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi,” kata Nanang.
Menurut Dijk, pada abad ke-19, ketika perjalanan haji ke Mekah masih merupakan perjalanan yang panjang dan berbahaya serta relatif sedikit orang Indonesia yang mampu melaksanakannya, mereka yang kembali dari pejalanan suci tersebut biasanya mengadopsi pakaian gaya Arab –kala itu disebut “kostum Muhammad dan serban”. Di Tanah Suci mereka memupuk sikap antikolonialisme.
Snouck Hurgronje seperti dikutip Martin van Bruinessen dalam Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji, mencatat bahwa orang-orang dari seluruh Nusantara membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda. Mata mereka dibuka untuk melihat penjajahan Belanda, Inggris, maupun Prancis atas bangsa-bangsa Islam. Para haji hidup dalam suasana antikolonialisme. Pemberontakan petani Banten 1888 jelas diilhami pengalaman tokoh-tokohnya ketika mereka berada di Mekah.
“Dengan demikian, perjalanan haji mulai berfungsi sebagai pemersatu Nusantara dan perangsang antikolonialisme,” tulis Martin van Bruinessen.
Karena citra itu, Belanda menganggap para pemimpin Muslim adalah penghasut dan pembuat onar. Belanda pun menerapkan sejumlah kebijakan untuk membatasi pengaruh mereka. Muncullah ketentuan tahun 1825 dan 1831 yang mewajibkan mereka yang ingin menunaikan ibadah haji dari Jawa dan Madura untuk mendapatkan paspor khusus dengan biaya yang luar biasa mahal, dan denda yang tak kalah besar bagi yang tak mengikuti aturan. Aturan itu tak berjalan efektif; jumlah jemaah haji tetap meningkat.
Pada 1859, serangkaian peraturan lebih lanjut diperkenalkan di wilayah-wilayah jajahan Belanda, dan tetap berlaku sampai akhir abad ke-19. Menurut William R. Roff dalam “Islam di Asia Tenggara dalam Abad ke-19”, yang dimuat dalam buku antologi Perspektif Islam di Asia Tenggara, alasannya tak jelas, tapi berkaitan dengan kekhawatiran atas simbol-simbol prestisius pemenuhan ibadah haji, khususnya gelar haji dan pakaian gaya Arab yang dikaitkan dengannya. Jemaah haji harus punya sarana yang mencukupi untuk menyelesaikan ibadah haji dan biaya bagi keluarga yang ditinggalkan. Dan ketika mereka kembali, mereka harus memenuhi pemeriksaan khusus untuk mengetahui apakan mereka benar-benar pergi ke Mekah atau tidak.
Jika lulus ujian, mereka akan menerima sertifikat yang mengizinkan mereka berpakaian seperti layaknya seorang haji. Jika tidak lulus, “kaum Muslim tak bisa menyebut diri mereka dengan nama haji dan mengadopsi kostumnya,” tulis Dijk.
Jubah tak hanya menjadi pakaian perang melawan penjajah Belanda, tapi juga menjadi semacam pakaian tempur dalam perlawanan terhadap lingkungan non-Muslim atau masyarakat Muslim setengah hati. Cara berpakaian Islami ini sering ditafsirkan oleh orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Timur, Eropa Baru, atau orang-orang Amerika sebagai salah satu dari ciri “kebangkitan Islam”. Pemerintah Orde Baru menafsirkannya sebagai sentimen-sentimen Islami.
Baca juga:
Pengaruh Kebudayaan Arab-Hadramaut di Nusantara
Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara
Empat Tokoh Islam di Indonesia
Peran Ulama dalam Kerajaan Islam di Nusantara
“Untuk alasan ini pemerintah Indonesia Orde Baru mencemaskan meningkatnya gejala yang mereka deskripsikan sebagai partikularistis yaitu sentimen-sentimen Islami,” tulis Dijk.
Kini, terutama setelah reformasi, jubah dapat dipakai oleh siapa saja. Bahkan oleh kelompok yang menampilkan wajah Islam yang sangar dan penuh kekerasan. Buya Syafii Maarif, mantan ketua PP Muhammadiyah, menyebut mereka “preman berjubah”.