Sebuah kapal terdampar di Singapura. Kapal itu baru saja dirompak. Salah seorang penumpangnya seorang pastor Katolik dari Sarekat Jesuit, sebuah sekte dalam agama Katolik, bernama Aegidius de Abreu, seorang Portugis. Dia dibawa orang-orang Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) ke penjara di Batavia. Di tempat ini, dia sebermula bebas mengunjungi penganut Katolik lain di penjara.
De Abreu kemudian membuat misa dan membuka pengakuan dosa di penjara untuk para penganut Katolik. Kegiatan ini ketahuan sipir VOC. Dia diinterogasi dan disiksa hingga meninggal. “Orang-orang Belanda memukulnya sampai mati, karena ia menerimakan sakramen-sakramen dan berdoa,” catat Adolf Heuken dalam Gereja-Gereja Tua di Jakarta.
Peristiwa itu terjadi pada Maret 1624. Heuken menyebut peristiwa itu sebagai sebentuk contoh bagaimana orang-orang VOC membatasi penyebaran agama. VOC sebenarnya tak pernah peduli dengan soal agama. Mereka juga enggan mendukung penyebaran agama Kristen Protestan (VOC menyebutnya gereja Reformasi) di koloninya. Padahal agama itu dipeluk oleh mayoritas pejabat VOC.
Baca juga: Riwayat di Balik Berdirinya VOC
VOC peduli dengan agama sejauh itu menopang kepentingan bisnis mereka. “Uang lebih penting daripada agama,” sebut Heuken. Karena itulah, mereka bisa bertindak di luar batas terhadap sesama penganut Kristen seperti yang dialami oleh De Abreu.
Di Batavia, markas besar VOC untuk kawasan Timur, penganut gereja Reformasi bebas beribadah di dalam tembok kota. Mereka diizinkan membangun gereja. Tapi penganut Kristen lainnya semisal Lutheran, Remonstran, dan Katolik tak boleh membangun tempat ibadah di dalam tembok. Begitu pula umat beragama lainnya seperti Islam, Hindu, dan Buddha. Mereka hanya boleh mendirikan tempat ibadah di luar tembok kota.
Meski boleh mendirikan tempat ibadah di dalam tembok kota, kehidupan beragama umat Protesan tetap dalam kuasa penuh VOC. Dewan Gereja, sebuah lembaga penaung umat Protestan, diatur ketat oleh VOC. Pemilihan, pemindahan, dan pengangkatan pendeta harus sepengetahuan VOC.
“Bahkan di dalam sidang-sidang Dewan Gereja itu pun utusan politik kompeni hadir. Juga hak diberikan kepada mereka untuk meneliti semua surat-menyurat antara pendeta-pendeta di Timur dengan rekan mereka di tanah air,” tulis Leonard Blusse dalam Persekutuan Aneh Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC.
Baca juga: Masuknya Kristen di Indonesia
Suatu kali Dewan Gereja pernah ingin melepaskan diri dari campur tangan VOC. Mereka tak memberikan laporan surat-menyurat kepada VOC. Karena sikap tersebut, VOC menuduh Dewan Gereja hendak mengambil alih wewenang VOC dalam mengatur koloni.
Blusse mengungkapkan bahwa VOC mencoba mendominasi seluruh bidang kehidupan: militer, politik, ekonomi, keluarga, pendidikan, dan agama. Dominasi itu untuk menjamin kepentingan VOC berjalan lancar. Ketika ada sikap-sikap dari Dewan Gereja yang menampakkan pembelotan, VOC segera bertindak keras kepada Dewan Gereja.
Secara umum, VOC mengupayakan sikap netral terhadap perkembangan agama. Mereka menolak setiap usaha penyebaran agama secara bebas. Jika seseorang ketahuan menyebarkan agama tanpa izin, VOC tak segan menindaknya. Penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan bisa dilakukan oleh VOC. Kebanyakan hal itu menimpa para pastor Katolik.
Permusuhan VOC terhadap penganut Katolik bukan berpangkal dari ajarannya, melainkan dari situasi politik dan ekonomi saat itu. Hampir semua penganut Katolik merupakan orang Portugis atau bekas budak Portugis. Saat bersamaan, Portugis adalah salah satu saingan dagang VOC dalam memperluas ekspansinya di Hindia Timur. Karena itulah, sentimen terhadap penganut Katolik lebih berhulu dari politik dan ekonomi.
Sepanjang umat beragama tunduk pada aturan, VOC akan membiarkan mereka menjalani hidup normal. Umat beragama lain tetap boleh tinggal di dalam tembok kota. Bahkan orang Katolik yang dimusuhi VOC pun tinggal di dalam tembok kota. Jumlahnya cukup besar. Tetapi jika mereka membuat dan menggelar misa atau pengakuan dosa di dalam tembok kota, hukuman akan menanti.
Baca juga: Gerakan-gerakan Perlawanan Orang Kristen terhadap Kolonialisme
Orang-orang Katolik menghindari tekanan VOC dengan membuat “gereja bawah tanah”. Mereka beribadah secara sembunyi-sembunyi di dalam kota. Tetapi lama-kelamaan gerakan ini tercium oleh VOC sehingga ditumpas. Pastor-pastornya dijatuhi hukuman mati.
Terhadap umat Protestan pun dukungan VOC sangat terbatas. Tak ada minat dari VOC untuk mendukung penyebaran Protestan dan memperbaiki derajat ekonomi atau kualitas hidup umat Protestan di Batavia. Beberapa bagian umat Protestan berasal dari kalangan papa, budak, dan kaum mardjikers atau budak yang dimerdekakan karena berbagai hal seperti memeluk agama Protestan.
Umat Protestan menikmati kebebasan beribadah pada hari Minggu, Paskah, dan Natal. Tetapi pengunjung gereja terus menurun. VOC tak memperhatikan kualitas guru agama dan pendeta Protestan. “Sudah lama VOC terlalu sering memindahkan pendeta dan pengunjung orang sakit tanpa memedulikan umat-umat setempat,” ungkap Heuken. Akibatnya, banyak orang Protestan jauh dari gereja dan ajaran Kristiani.
“Ibadat dan tingkah laku semakin merosot, karena orang beriman bersikap masa bodoh terhadap iman dan umat mereka,” lanjut Heuken.
Baca juga: Sepuluh Fakta Tentang VOC yang Belum Banyak Diketahui
Hidup keseharian sejumlah umat Protestan pun seringkali sulit. Karena itulah, mereka bergantung kepada lembaga amal yang didirikan oleh sesama umat Protestan seperti diakoni, armenhuis (rumah papa), dan weeshuis (rumah yatim piatu). Suasana kontras tampak dalam hidup pejabat VOC. Mereka berbusana mewah dan bergelimang harta.
Dewan Gereja menyoroti perilaku ini dan meminta VOC untuk turun tangan memperbaiki kualitas umat Protestan di dalam tembok kota. Tetapi seruan itu diabaikan. VOC tetap mempertahankan status istimewa Protestan sebagai satu-satunya umat yang boleh mendirikan tempat ibadah di tembok kota. Selain itu, tidak ada keistimewaan sama sekali bagi umat Protestan.
VOC bangkrut pada 1799. Bersama itu pula, urusan keagamaan beralih ke pemerintah Belanda. Tak ada lagi larangan mendirikan tempat ibadah umat beragama lain di dalam kota. Pemerintah juga mulai berupaya memperbaiki kualitas umat Protestan dan mendukung penyebarannya.