Dalam bab 2 bukunya yang diterbitkan The Chinese University of Hong Kong pada 2013, Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur: 1930an–1940an (Dong Tujuesitan Duli Yundong: 1930 Niandai zhi 1940 Niandai), Wang Ke menyimpulkan bubarnya Republik Islam Turkestan Timur (RITT) yang berpusat di Khotan dan Kashgar “lebih tepat bila dikatakan disebabkan oleh perseteruan elite internalnya ketimbang dibilang dipicu oleh gempuran dari pihak musuh.”
Ya, “pihak musuh” yang dimaksud guru besar Kobe University, Jepang, itu tak lain merujuk kepada pemerintah provinsi Xinjiang sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat Republik China (ROC) di Nanking. Sedangkan “elite internal” yang ditengarainya, mengacu kepada Khoja Niyās Ḥājjī dan Ṣābit Dāmullāh.
Konklusi demikian bukan tanpa alasan. Kita tahu, Khoja Niyās yang merupakan pentolan Pemberontakan Kumul di Xinjiang utara, memang lebih bersikap kompromistis terhadap pemerintah China, serta mempunyai hubungan yang cukup erat dengan rezim komunis Uni Soviet. Sementara Ṣābit, adalah ulama terkemuka di Xinjiang selatan yang tergabung dalam Komite Revolusi Nasional, organisasi progresif nan chauvinistik besutan Muḥammad Amīn Bughra (1901–65), yang terkenal anti-komunis, anti-Kristen, anti-Tungan (muslim bersuku Hui), dan anti-China secara kafah. Kelak, Amīn Bughra menjadi amir Khotan sekaligus pimpinan angkatan bersenjata RITT.
Walakin, selain karena para petingginya cekcok sendiri-sendiri seperti dinyatakan Wang Ke, gagalnya RITT memperoleh sokongan dan pengakuan dunia internasional, saya kira, juga menjadi penyebab cepat matinya negara Islam bentukan kaum Uighur di Xinjiang selatan tersebut.
Baca juga: Tatkala Uighur Mendirikan Republik Islam Turkestan Timur
Sebagaimana dicatat Andrew D.W. Forbes dalam Warlords and Muslims in Chinese Central Asia: A political history of Republican Sinkiang 1911–1949 (1986), segera setelah diproklamasikan pada 12 November 1933, otoritas RITT bermanuver mendekati pemerintah Britania (alias Inggris) melalui Konsul Jenderal Britania di Kashgar Thomson-Glover dan pengiriman utusan khusus ke pemerintahan India Britania (British Indian) di New Delhi.
Thomson-Glover yang anti-Soviet dan merupakan konjen anyar Britania di Kashgar, menyarankan pemerintahan India Britania di New Delhi untuk turut membantu perjuangan muslim Uighur mendirikan negara tersendiri guna membendung infiltrasi bahaya laten komunis Soviet di Xinjiang (atau Sinkiang jika ditransliterasikan pakai sistem Chinese postal romanization).
Namun, masukan dari Thomson-Glover ini ditolak mentah-mentah dengan alasan “Britania mengakui Nanking sebagai penguasa penuh (the sole authority) di Sinkiang, dan segala tindakan untuk melawan penetrasi Soviet di wilayah [Sinkiang] harus berdasarkan, sebagaimana biasanya, kebijakan mendukung otoritas [Republik] China di provinsi [Sinkiang].”
Utusan khusus RITT yang tiba New Delhi pada Februari 1934 pun menemui penolakan serupa. Harian The Times berbasis di London yang dikutip D.W. Forbes menulis, utusan RITT “telah datang ke alamat yang salah. Sinkiang adalah provinsi suatu negara di mana Pemerintah Britania mempunyai relasi yang baik [dengan negara dimaksud].”
Amīn Bughra dalam Turkestan Timur: Sejarah, Geografi, dan Kondisi Terkini (Doğu Türkistan: Tarihi, Coğrafi ve Şimdiki Durumu, 1952) yang dinukil D.W. Forbes, juga mengonfirmasi ketidakacuhan pemerintahan India Britania. “India, yang waktu itu di bawah kepenguasaan Britania ... lebih memilih bersikap netral terhadap revolusi kita, dan tidak mau menyediakan senjata [untuk kita],” tulisnya.
Baca juga: Ma Changqing dan Islamofobia di Cina
Tak mau patah arang sehabis ditolak Britania, otoritas RITT mencoba mendekati Turki dengan mengirim telegram berisi ucapan selamat tahun baru dari “bendera biru Turkestan Timur yang baru merdeka, kepada bendera merah Turki tercinta.”
Kita mafhum, bendera RITT –atau yang dikenal sebutan “Kök bayraq” dalam bahasa Uighur– berwarna biru dengan ditopang simbol bintang dan bulan sabit berwarna putih. Sementara bendera Turki –atau yang lumrah disebut “al bayrak” dan “al sancak”– terdiri dari bintang dan bulan sabit putih berlatar belakang merah.
Sayangnya, cinta RITT ke Turki kembali bertepuk sebelah tangan. Kendati sudah “bergombal” ria via telegram, tak ada bantuan materil yang didapatkan RRIT dari Ankara. Malahan, lewat menteri luar negerinya, Tevfik Rüştü Aras (1883–1972), pemerintah Turki mengimbau RITT untuk menjalin hubungan baik dengan Soviet yang secara geografis merupakan tetangga dekatnya. Padahal, Amīn Bughra dalam karyanya yang dicuplik D. W. Forbes di atas, tegas mengatakan “Rusia adalah musuh bebuyutan kita.”
Otoritas RITT bergegas move on. Pada Januari 1934, Amīn Bughra mengirim delegasi ke Kabul, Afghanistan, untuk meminta pengakuan resmi dan bantuan persenjataan. Mungkin karena Muḥammad Zāhir Shāh (1914–2007), yang waktu penobatannya sebagai raja Afghanistan cuma lebih awal lima hari dari proklamasi RITT, pernah menyampaikan ucapan selamat atas berdirinya RITT.
Baca juga: Kekangan Dinasti Ming terhadap Muslim
Malangnya, Amīn Bughra mengungkap dalam buah pena di muka, pemerintah Afghanistan justru menyatakan “terlalu dini untuk mengakui kemerdekaan Turkestan Timur. Mereka memutuskan untuk menyokong senjata sebagai ganti uang, dan menempatkan perwakilan politik yang mewakili Afghanistan di Turkestan Timur.”
Tetapi nasib berkata lain. RITT keburu kolaps pada 16 April 1934 dan akhirnya, pungkas D. W. Forbes, RITT tak pernah benar-benar “mendapatkan persenjataan dalam jumlah yang signifikan dari Kabul.”
Penulis adalah kontributor Historia di Tiongkok, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University.