Masuk Daftar
My Getplus

Riwayat Islam di Bali

Raja Bali tidak tertarik dengan upaya Islamisasi yang ditawarkan Demak. Dia sekuat tenaga menghalau pengaruhnya.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 05 Sep 2019
Masjid Agung Jamik Singaraja. (Wikimedia Commons).

MAJAPAHIT tidak pernah mati di Bali. Pengaruh kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara itu begitu besar di sana. Hampir semua bidang kehidupan, utamanya setelah ekspansi besar Maha Patih Gajah Mada di Bali pada 1343, terpengaruh oleh kebudayaan Jawa yang dibawa Majapahit. Begitu kentalnya pengaruh tersebut, hingga penyebaran pertama agama Islam di Pulau Dewata itu juga tidak terlepas dari campur tangan Prabu Hayam Wuruk (1350–1389), raja yang membawa Majapahit pada puncak kejayaannya.

Syahdan, di wilayah pemerintahan Majapahit,  komunitas Muslim telah mendapat tempat yang cukup kuat. Menurut arkeolog dan epigraf Hasan Djafar, dalam tulisannya “Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan pada Masa Majapahit Akhir” dimuat Pertemuan Arkeologi IV, di bawah kekuasaan Hayam Wuruk banyak penduduk Majapahit yang sudah memeluk Islam.

Sebagai bukti, para arkeolog telah berhasil menunjuk pemakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto. “Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” ungkap Hasan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Agama-Agama di Majapahit

Menetap di Bali

Masyarakat Muslim di Bali muncul berkat hubungan diplomatik yang baik antara Majapahit sebagai negara penguasa dengan Bali sebagai negara vasal (negara yang dikuasai). Ketika Hayam Wuruk memerintah, Dalem Ketut Ngelesir (1380-1460), putra raja pertama Samprangan Sri Aji Krisna Kepakisan alias Dalem Sri Kresna Kepakisan (memerintah 1352), mendapat undangan berkunjung ke Keraton Majapahit pada 1380-an.

Saat itu, Hayam Wuruk sedang mengadakan konferensi di kerajaannya. Turut diundang dalam acara tersebut negara-negara koloni Majapahit dari seluruh wilayah Nusantara. Dalem Ngalesir datang mewakili Kerajaan Gelgel, pecahan dari Kerajaan Samprangan yang dikuasai kakak tertuanya.

Dalam buku Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) Dhurorudin Mashad menceritakan bahwa ketika kembali ke Gelgel, Dalem Ngalesir mendapat pengawalan dari pemerintah Majapahit. Ia diberi 40 orang pengiring dalam perjalanan pulangnya itu. Mayoritas dari mereka berprofesi sebagai tentara, sementara sisanya berkerja sebagai juru kapal dan juru masak.

Baca juga: Bali Sebelum Dikuasai Majapahit

Yang menarik, para pengawal  tersebut seluruhnya beragama Islam. Spekulasi pun akhirnya muncul di antara para ahli. Banyak yang beranggapan Hayam Wuruk ingin mengurangi jumlah populasi Muslim yang terus berkembang di pusat pemerintahannya. Ia khawatir kaum minoritas itu akan mendominasi daerah kekuasaannya. Mengingat Majapahit adalah kerajaan Syiwa-Buddha.

“Realitas itu tentu menjadi fakta yang sangat aneh dan memerlukan kajian historis secara lebih mendalam,” tulis Dhurorudin.

Setelah sampai, 40 orang Islam itu enggan kembali ke wilayah Majapahit dan memilih untuk tinggal di Bali. Akhirnya oleh Dalem Ngalesir mereka diberi satu daerah pemukiman khusus di Gelgel. Keempat puluh orang itu pun diperintahkan mengabdi kepada Kerajaan Gelgel, tanpa syarat apapun. Artinya mereka tidak harus berpindah kepercayaan mengikuti agama yang berkembang di Gelgel. Sehingga praktis agama Islam pun memulai perjalanannya di Bali.

“Rombongan muhibah (harta yang tidak berwujud) politik kaum Muslim generasi pertama di Bali akhirnya menetap dan kawin mawin dengan wanita Bali,” tulis Dhurorudin.

Komunitas Muslim pertama Bali itu lalu membangun masjid di Gelgel, yang sekarang dikenal sebagai masjid tertua di tanah Bali. Sejak saat itu Islam mulai melakukan aktivitasnya.

Baca juga: Upaya Memajapahitkan Bali

Menghalau Pengaruh Islam

Setelah Dalem Ngalesir melepaskan takhtanya, Kerajaan Gelgel-Klungkung diperintah oleh Dalem Waturenggong (1460/1480--1550). Masa ini juga menjadi puncak kejayaan Islam di Nusantara. Sementara Hindu-Buddha, termasuk Majapahit, pengaruhnya kian surut akibat banyak kerajaan yang mulai menerima keberadaan agama Islam di wilayahnya.

Majapahit sendiri mendapat serangan dari Kesultanan Demak pada 1518. Akhirnya keruntuhan kerajaan besar itupun tidak lagi dapat dihindari. Momen kehancuran Majapahit lalu dimanfaatkan oleh Dalem Waturenggong untuk memerdekakan wilayah Bali dan memperluas wilayah kekuasaannya.

Berhasil merebut dan mengislamkan wilayah Majapahit di Jawa, Demak pun berencana melancarkan aksi serupa di Bali. Namun kali ini mereka tidak menggunakan jalan penaklukkan, tetapi melalui perdamaian.

Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana (1521-1546), Demak mengirim utusan ke Kerajaan Gelgel-Klungkung. Menurut Dhurorudin ekspedisi damai itu bertujuan menjalin hubungan baik sebagai sesama mantan vasal Kerajaan Majapahit. “Namun, intinya tujuan ekspedisi ini adalah untuk menyebarkan Islam,” tulis Dhurorudin.

Baca juga: Demak Mengislamkan Banten

Tetapi Dalem Waturenggong tidak tertarik dengan misi Islamisasi di wilayah kekuasaannya. Sang raja lalu menyusun berbagai macam rencana untuk menghalau pengaruh Islam di Bali. Sementara utusan dari Demak yang tidak diterima raja memilih bergabung dengan komunitas Muslim yang sudah ada di Gelgel guna memperkuat posisi Islam di wilayah Bali.

Menurut Dhurorudin alasan Gelgel tidak dapat menerima pengaruh Islam di Bali adalah ikatan historis emosional dengan Majapahit. Meski terbebas dari kuasa vasal Majapahit, tetapi penyerangan Demak tidak bisa begitu saja diterima.

“Mereka (para pangeran dan mantan pejabat Majapahit) yang lari ke Bali tentu menyebarkan informasi tentang nasib tragis mereka ke penduduk lokal, sehingga ikut menjadi kurang bisa menerima Islam,” tulis Dhurorudin.

Dalam Babad Dalem: Warih Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan karya Tjokorda Raka Putra disebutkan bahwa setelah menjadi negeri merdeka, Waturenggong segera memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Ia berhasil menguasai ketiga wilayah itu antara tahun 1512 sampai 1520.

Menurut I Made Sumarja, dkk. dalam Sejarah Masuknya Islam dan Perkembangan Pemukiman Islam di Desa Kecicang Kabupaten Karangasem Provinsi Bali perluasan wilayah Kerajaan Gelgel-Klungkung hingga ke Lombok merupakan usaha lain Waturenggong menghadang penyebaran ajaran Islam di negerinya.

Baca juga: Kebebasan Beragama Masa Kesultanan Islam di Nusantara

Lombok menjadi pilihan terbaik bagi Waturenggong untuk menghentikan Islam masuk ke Bali. Dengan menguasai Lombok, yang sejak 1500-an telah menerima keberadaan agama Islam, maka Gelgel-Klungkung terhindar dari pengepungan. Mereka dapat fokus kepada Islam Demak yang datang dari Jawa.

Namun selepas Dalem Waturenggong, tidak ada lagi raja yang mampu membangun Gelgel-Klungkung. Kerajaan itu pun akhirnya terpecah dan mulai menunjukkan kemunduran. Akibatnya, kekuasaan mereka di Lombok berhasil diruntuhkan.

Penguasa Klungkung selanjutnya memilih menjalin hubungan baik dengan Lombok, bukan menaklukkan dengan paksaan. Setelah itu penyebaran masyarakat Muslim dari Lombok ke Bali mulai gencar terjadi. Meski pengaruhnya di masyarakat tidak dapat menggeser dominasi Hindu, yang telah berabad-abad menjadi kepercayaan utama rakyat Bali.

“Lama-lama terjadi akulturasi komunitas Hindu-Muslim, terbangun kultur perekat yang lebih menonjolkan kesamaan serta saling menghargai dan menghormati,” tulis Dhurorudin

Baca juga: Penerapan Hukum Islam di Nusantara

TAG

Islam Bali

ARTIKEL TERKAIT

ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Pulangnya Keris Pusaka Warisan Puputan Klungkung Agung Jambe Dibunuh dan Kerisnya Dirampas Pembantaian di Puri Cakranegara Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Banjir Darah di Puri Smarapura Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965 Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip