SETELAH mendapat surat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada 3 Juli 1827, Coenrad Laurens Coolen membuka hutan Ngoro, yang berjarak sekira 60 kilometer dari Kota Surabaya. Banyak orang Jawa datang dan mendapatkan tanah. Ngoro menjadi desa makmur, yang saat kelaparan melanda Jawa Timur bisa menyediakan beras bagi ribuan orang.
Di Ngoro tak ada paksaan dalam beragama. Coolen tak melarang orang membangun masjid. Tapi, dalam memimpin desanya, dia tetap bertindak sebagai seorang Kristen. Dia mengampuni para pendatang yang melakukan kejahatan di Ngoro, bahkan berusaha menunjukkan jalan kebaikan dengan “ilmu Kristen” tentang pelepasan manusia dari dosa oleh Juru Selamat. Setiap hari Minggu, Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya. Mereka lalu menghabiskan waktu dengan bermain gamelan, wayang, dan zikir.
Budaya Jawa bukanlah hal asing bagi Coolen. Lahir di Ungaran, Jawa Tengah, pada 1775. Ayahnya seorang Belanda dan ibunya seorang Jawa, keturunan keraton. “Dari ibunya, dia mewarisi tradisi budaya Jawa sehingga dia menguasai wayang, musik, dan tari-tarian Jawa,” tulis Th. van den End dalam Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860.
Dengan pengajarannya, terbentuklah suatu jemaat Kristen. Semua berlangsung tanpa ada hubungan dengan pendeta serta jemaat Kristen di Surabaya. Dia tak melayani sakramen pembaptisan dan perjamuan, yang dianggap kultur Barat. Menurutnya, pembaptisan tak perlu dilakukan pada orang-orang Jawa karena nantinya mereka akan menganggap dirinya sejajar dengan orang-orang Belanda. Pengakuan iman saja sudah cukup untuk menjadi seorang Kristen.
Salah seorang yang tertarik dengan ajaran Coolen adalah Kasan.
Kasan lahir di Desa Kedungturi, Surabaya, tahun 1813. Orangtuanya asal Madura, pemeluk Islam. Tatkala dikhitan oleh kiai sekaligus gurunya, dia diberi nama Jariyo. Selanjutnya dia dikenal sebagai Kasan Jariyo.
Kasan kecil suka menggembala ternak, menonton wayang, dan berjudi –dia bahkan menjadi penjudi ulung. Dia abaikan pendidikan pesantren, meski pandai, dan malah tertarik ikut kesenian tledekan. Pernikahannya hanya bertahan dua bulan. Sempat sukses sebagai pedagang kapas, tapi bangkrut karena kegemarannya berjudi. Kasan jatuh miskin dan merasa Tuhan tak akan mengampuni dosa-dosanya.
Begitu mendengar ajaran Coolen soal pengampunan dosa, dia pergi ke Ngoro pada 1840 dan berguru pada Coolen. Namanya kemudian berubah menjadi Tosari; berasal dari kata tusara yang artinya embun. Dia merasa bagaikan menerima embun di padang gurun yang kering kerontang.
“Setelah berguru pada Coolen, dia pun diberi tugas memimpin kumpulan-kumpulan pada hari Minggu dan Kamis malam,” tulis van den End.
Karena Coolen tak melakukan pembaptisan, sejumlah orang Ngoro pergi ke Surabaya. Terlebih setelah mereka tahu dari orang-orang Kristen Wiung, sebuah desa tak jauh dari Surabaya (sekarang sebuah kecamatan di Kota Surabaya), yang sudah dibaptis. Tahun-tahun berikutnya menyusul ratusan orang untuk dibaptis di Surabaya, termasuk Tosari. Tosari dibaptis oleh Johannes Emde pada 12 September 1844 dengan nama baptis: Paulus.
Coolen tak tahan ketika tahu anak-anak buahnya menerima pembaptisan dan adat orang Belanda. Menurut van den End, ini sebuah ironi: orang Kristen Jawa justru menolak agama Kristen yang telah disesuaikan dengan budaya Jawa ala Coolen dan berpaling pada agama Kristen gaya Emde yang justru menolak seluruh kebiasaan Jawa. “Emde tak hanya membaptis, juga menyuruh memotong rambut, memakai pakaian Eropa, dan menjauhkan diri dari semi-sakral wayang,” tulis Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink dalam A History of Christianity in Indonesia.
Mereka mendirikan sebuah desa di kawasan hutan angker, yang diberi nama Mojowarno, enam kilometer dari Ngoro, pada 1844. Tosari menjadi guru jemaat mereka. “Selama beberapa tahun jemaat ini berjalan dengan pimpinan yang hanya terdiri dari orang-orang Jawa. Tapi dalam ketatabaktian dan hal-hal lain mereka memakai bentuk dari Barat,” tulis van den End.
Tosari diangkat menjadi Pemuka Jemaat Kristen Jawa di Mojowarno sesuai Surat Keputusan dari Majelis Jemaat Kristen Protestan di Surabaya tanggal 29 Maret 1851.
“Karena itu, jarang ditemukan kritik tentang dia dalam tulisan para misionaris, yang umumnya sangat keras terhadap orang-orang Kristen Jawa,” tulis C. Guillot dalam Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa.
Paulus Tosari tetap mengajarkan Injil ala Coolen. Dia mengabarkan Injil dengan menggunakan kultur Jawa tapi tetap mempraktikkan sakramen. Dia memakai wayang sebagai media menyebarkan ajaran Kristen. Sebab, bagi masyarakat Jawa, wayang merupakan sesuatu yang akrab dalam kehidupan mereka. Dengan wayang justru Injil terkabarkan dengan baik. Dia juga menulis tembang Kristen yang dikumpulkan dengan judul Rasa Sedjati.
“Sebanyak 23 syair panjang dalam bahasa Jawa yang sangat indah digubah Paulus Tosari dalam irama tembang Jawa, asmaradana, kinanthi, pucung, pangkur, maskumambang, mijil, gambuh, dandanggula, megatruh, hingga sinom,” tulis Dody Wisnu Pribadi, dalam “Paulus Tosari dan Persoalan Sosial”, untuk memperingati 75 tahun Gereja Kristen Jawi Wetan, yang dimuat Kompas, 13 Desember 2006.
Isi syairnya antara lain: “Rasa sajati pinangkanipun saking Gusti Allah; tanpa rasa sajati manungsa boten leres wonten ngarsanipun Pangeran. Suraosing gesang ingkang nunggil kaliyan suraosing Gusti Allah punika kaurmatan lan pangabekti; saged langgeng wonteng ing pejah saha gesang, punapa malih begja utawi cilaka. Manungsa ingkang nampi dhawuhing Gusti Allah punika ingkang kanggenan rasa sajati; gadhah kamukten salabetipun nandhang nistha, saha kabegjan salebetipun nandhang sangsara, tindaking gesangipun boten miturut raosing hawa napsu.”
Berpuluh-puluh tahun tembang karya Paulus Tosari beredar dalam bentuk salinan-salinan, dan baru pada 1925 ada pemikiran untuk mencetaknya. “Generasi tua di Jawa Timur pada pertengahan abad ini gemar melantunkan Rasa Sedjati pada malam hari di bawah terang lampu teplok, untuk memperoleh ketenangan diri sebelum tidur,” tulis Emmanuel Gerrit Singgih dalam Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III.
Selain tembang Rasa Sedjati, peninggalan berharga lainnya dari Paulus Tosari adalah Gereja Mojowarno, yang diresmikan pada 8 Maret 1881. Bersama gereja-gereja Jawa di Jawa Timur, pada 11 Desember 1931, di gedung gereja Jemaat Mojowarno diresmikan Majelis Agung yang merupakan upaya mempersatukan 29 raad pasamuwan alit (majelis jemaat) di seluruh Jawa Timur. Pemerintah Hindia Belanda secara resmi menyebut sebagai Oost Javaansche Kerk, yang akhirnya menjadi Gereja Kristen Jawi Wetan.