PADA 1740, seluruh wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat, berada di bawah kekuasaan Kerajaan Karangasem dari Bali. Raja terakhirnya adalah Anak Agung Anglurah Gede Ngurah Karangasem (1870-1894). Dia dikenal sebagai raja yang toleran dan menjaga keberagaman. Penduduknya sebagian besar dari suku Sasak yang beragama Islam, disusul orang Bali beragama Hindu, Makassar, Tionghoa, Arab, dan Eropa.
Menyadari penduduknya beragam dalam suku, budaya, dan agama, raja berusaha mengatur dan menjaganya dengan baik. Raja mengadakan pendekatan kepada tokoh-tokoh Sasak. Bahkan, dia mengambil istri dari suku Sasak, yaitu Dinda Aminah.
Menurut I Gde Parimartha, guru besar sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, lewat hubungan perkawinan, raja menerapkan sistem keseimbangan dalam masyarakatnya. Raja memandang bahwa budaya dan agama Islam perlu hidup berdampingan dengan budaya dan agama lain.
Baca juga: Kebebasan beragama masa Kesultanan Islam di Nusantara
“Meskipun raja dan keluarga menganut agama Hindu, namun raja juga mengizinkan masyarakat Sasak untuk mengembangkan agamanya. Raja juga memberikan istrinya tetap menganut agamanya (Islam) dan berhubungan dengan masyarakat asalnya (Sasak),” tulis Parimartha, “Otonomi Daerah dan Multikulturalisme (Studi Mengenai Masyarakat Nusa Tenggara Barat),” termuat dalam Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Sejarah.
Selain itu, raja mengangkat Said Abdullah, seorang keturunan Arab sebagai penasihat politik kerajaan sekaligus kepala pelabuhan Ampenan. Raja juga membantu membangun masjid di Ampenan dan memberikan bantuan kepada orang-orang Sasak yang naik haji ke Mekkah. Raja membuka perwakilan di Jedah yang dipimpin oleh Haji Majid untuk mempermudah rakyatnya menunaikan ibadah haji.
“Contoh luar biasa dari Raja Bali di Lombok, seorang beragama Hindu yang mempunyai istri Sasak Muslim, menurut kesaksian tahun 1874 pernah membangun sebuah rumah di Mekkah untuk rakyatnya yang mau naik haji,” tulis Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam tahun 1482-1890.
Baca juga: Muslim Nusantara pertama yang pergi ke Mekah
Raja mengangkat mereka yang telah kembali dari Mekkah sebagai penghulu agama dengan imbalan tanah pecatu (tanah jabatan). Salah satunya Haji Mohamad Ali yang juga berperan sebagai guru agama dari tokoh-tokoh adat (guru bangkol).
“Dengan kebijakan raja seperti itu masyarakat Lombok menjadi harmonis, saling mengerti satu sama lain. Ini menjadi cerminan masyarakat multikultural yang didasari kebijakan politik penguasa, dan kesadaran masyarakatnya tanpa memandang perbedaan suku, agama, dan kepercayaan,” tulis Parimartha.
Baca juga: Kudeta berdarah di Tanah Mekah
Pada akhir abad 19, kerajaan mengalami kemunduran, selain karena intervensi kolonial Belanda, putra raja yang memegang kebijakan kurang memperhatikan keseimbangan dalam kehidupan rakyat. Akibatnya, muncul perlawanan dari masyarakat Sasak yang menolak membayar pajak yang semakin berat.
“Pada 1891, keadaan itu dimanfaatkan oleh kelompok yang memiliki keyakinan keras dengan mengembuskan semangat menentang raja dengan semboyan perang sabil melawan raja kafir. Timbulah pemberontakan melawan Raja Mataram,” tulis Parimartha.
Raja meminta penghulu agama, Haji Mohamad Ali untuk mengatasinya, namun tidak dapat berbuat banyak. Belanda mengasingkan raja ke Batavia sampai meninggal pada 1894.