30 April 1941. Hitler mengirim surat balasan kepada Raja Farouk –raja kesepuluh dari Dinasti Muhammad Ali, yang menggantikan ayahnya, Fuad I, pada 1936– dari Mesir. Surat itu antara lain berisi pernyataan bahwa Hitler, “dengan senang hati akan mempertimbangkan satu kerjasama yang lebih erat,” sebagaimana dikutip John Roy Carlson dalam Cairo to Damascus. Hitler lalu meminta Farouk mengirim seorang agen rahasia resmi ke tempat “netral” untuk mendiskusikan kerjasama tersebut. Tempat yang disarankan Hitler: Bukares, Rumania, atau Ankara, Turki.
Saat itu Perang Dunia II sedang berlangsung. Serupa dengan masa-masa sebelumnya, persaingan antarideologi mendominasi. Ideologi pula yang melatarbelakangi kerjasama Hitler-Muslim.
Ada kesamaan pandangan antara Arab dan Nazi. Arab menganggap Inggris dan Prancis, yang menjadi penguasa di kawasan regional Arab pasca-Perjanjian Versailles, sebagai penjajah. Sedangkan Nazi membenci liberalisme yang diusung Inggris dan Prancis. Mayoritas Arab maupun Nazi anti-Yahudi. Keduanya juga mempunyai gagasan persatuan global. Klop.
Baca juga: Laskar Muslim Hitler di Afrika Utara
Mohammad Amin al-Husseini menjembatani kedua pihak. Dia berasal dari klan Al-Husayni, yang terdiri dari orang-orang kaya pemilik tanah di selatan Palestina. Tak heran jika sebagin besar anggota klan itu menjadi walikota Yerussalem dan penentang Zionisme, termasuk ayah al-Husseine: Tahir al-Husseini.
Lulus dari studi di Universitas Al Azhar, Kairo, dan Sekolah Administrasi Istanbul, Turki, pada 1920 al-Husseini mulai aktif dalam gerakan kemerdekaan Palestina dari Inggris sambil menjadi jurnalis. Dia juga pernah menjadi serdadu Ottoman Turki Usmani pada Perang Dunia I.
“Sepanjang tahun-tahun perkembangan masa mudanya, dia mulai meneguhkan pandangan fundamental Pan-Arab yang memperhatikan otonomi bukan hanya untuk Palestina tapi juga Semenanjung Arab,” tulis Allan Bogle dalam “Haj Amin al-Husseini and Nazi Racial Policies in the Arab World” yang dimuat hubpages.com.
Pada 1921, al-Husseini diangkat menjadi Mufti Agung Yerusalem oleh Komisi Tinggi Inggris Sir Herbert Samuel dan setahun kemudian menjadi ketua Dewan Tertinggi Muslim bentukan Samuel. Namanya kian diperhitungkan ketika terjadi protes dan serangan terhadap otoritas Inggris dan Yahudi Palestina.
Baca juga: Perang Teluk Hitler
Ketertarikan al-Hussein terhadap Nazi muncul ketika Hitler mulai berkuasa di Jerman pada 1933. Tapi kontak langsungnya dengan Jerman terjalin tiga tahun kemudian. Nazi mengirim utusan Francois Genoud, yang dikenal sebagai seorang bankir Swiss di tubuh Third Reich dan anggota kehormatan pasukan elit Nazi Waffen SS, ke Palestina. Setahun kemudian Hauptschanfuehrer SS Nazi Adolf Eichmann dan asistennya Oberscherfuehrer H. Hagen mengunjunginya di Palestina. Selain berbincang mengenai Yahudi, al-Husseini resmi menjadi penyandang dana dan pembantu militer dalam merangkul sumber-sumber Arab.
“Selama perang, Genoud memberi bantuan kepada al-Husseini dan pemerintah Muslim-Nazi –yang bermarkas di Berlin– di pengasingannya dan secara finansial mendukung kampanye propaganda anti-Yahudi al-Husseini,” tulis Chuck Morse dalam The Nazi Connection to Islamic Terrorism: Adolf Hitler and Haj Amin Al-Husseini.
Puncak aktivitasnya menentang Inggris danYahudi adalah kekerasan terhadap Yahudi yang menewaskan 133 Yahudi dan 116 Arab tewas. Al-Husseini pun diusir dari Palestina. Dia pindah ke Lebanon, Irak, Italia, dan akhirnya Jerman. Di wilayah yang juga di bawah protektorat Inggris, al-Husseini melakukan kudeta atas pemerintahan pro-Inggris tapi gagal. Di Italia, dia bertemu Benito Mussolini, diktator Italia.
“Segera setelah kedatangannya di Jerman Nazi, al-Husseini dipuja di depan publik dalam satu resepsi penghormatan untuknya yang diberikan oleh Institut Islam Nazi "Islamische Zentralinstitut" dan resepsi itu dihadiri oleh eksil-eksil Muslim dan para pemimpin Muslim Eropa yang menggelari al-Husseini Fuhrer of the Arab World,” tulis Chuck Morse.
Baca juga: Alkisah Berghof dan Sarang Elang Hitler
Pada 25 November 1941, al-Husseini rapat dengan Hitler, yang berjanji akan menjadikan al-Husseini Fuhrer atas seluruh dunia Arab segera setelah Nazi menyeberangi Pegunungan Kaukasus dan melebarkan Third Reich ke Timur Tengah. Hitler juga mendukung kedaulatan negara-negara Arab.
Dalam rapat itu pula keduanya sepakat: sesegera mungkin membentuk dan melatih legiun Arab-Nazi yang akan terdiri dari Muslim Eropa. Hubungan itu, menurut Gottlob Berger, kepala rekrutmen pasukan elit SS, didasarkan keterbukaan dan kejujuran. Itu menunjukkan hubungan darah dan ras Utara dan kebulatan ideologi spiritual dari Timur. Di mata Nazi, al Husseini merupakan, “figur yang setara dengan PM Negara Nazi Muslim di pembuangan,” tulis Chuck Morse.
Al-Husseini juga rapat dengan kepala SS Heinrich Himmler. Himmler menugaskan al-Husseini merekrut orang-orang Muslim ke dalam unit-unit elit militer yang bertugas di Balkan, Rusia, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Himmler yakin, perekrutan Muslim ke dalam SS akan membuat pasukan elit itu kian mantap. Himmler terinspirasi resimen-resimen Bosnia Herzegovina yang direkrut militer Astro-Hungaria dalam Perang Dunia I. Divisi Muslim ini ditempatkan langsung di bawah Nazi Wehrmacht (Angkatan Darat).
Baca juga: Barisan Pangeran di Pasukan Perang Hitler
Tentara Muslim-Nazi ini terdiri dari sekira 100 ribu Muslim Eropa dan dibagi dalam beberapa divisi. Yang terbesar adalah Brigade Hanzar, yang oleh al-Husseini dianggap sebagai serdadu yang terbaik bagi Islam. Tugas Brigade ini awalnya menghancurkan sayap militer Partisan Tito yang beroperasi di timur laut Bosnia, terutama di Srem, lalu menggantikannya dengan pemerintahan lokal. Tiap batalion memiliki imam. Meski kesatuan Muslim, terdapat serdadu Kristiani dalam Briade Hanzar. Jumlahnya bahkan melebihi kuota 10 persen yang ditetapkan Himmler. Brigade Hanzar terlibat dalam berbagai palagan. Salah satunya dalam Operasi Wegweiser pada 1944 untuk menghancurkan Partisan yang mempertahankan sebagian kawasan Syrmia.
Pada Mei 1945, Jerman kalah perang. Berakhirlah persekutuan Nazi-Muslim. Al-Husseini ditangkap pasukan Prancis. Tapi nasib berpihak padanya. Dia tak diadili di Nuremberg seperti para pemimpin Nazi lainnya dengan dakwaan terlibat pembantaian orang-orang Yahudi di Eropa maupun menjadi otak perekrutan kaum Muslim dalam Tentara Hitler. Prancis maupun Inggris tak mau bikin masalah dengan kaum Muslim di wilayah jajahan mereka, sehingga membiarkan al-Husseini meloloskan diri ke Timur Tengah.
Al-Husseini memimpin kembali perjuangan orang Arab Palestina atas pembentukan negara Israel. Dia mendorong militer Mesir terlibat dalam Perang Arab-Israel pada 1948. Cap kolaborator Nazi dan tuduhan keterlibatannya dalam pembunuhan Raja Abdullah dari Yordania menurunkan pamornya. Perlahan dia tersingkir dari panggung politik. Al-Husseini kemudian mengasingkan diri ke Lebanon dan meninggal di Beirut pada 1974.*