KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan Alquran di Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama. Diakui Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam yang dulu dipimpinnya juga melakukan pengadaan Alquran, tapi dia tidak mengurusinya. Pengadaan Alquran tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan dua juta mushaf setiap tahun untuk dibagikan ke Kantor Urusan Agama di seluruh Indonesia. “Nilai pengadaan saat itu ditaksir Rp5,6 miliar yang dikucurkan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama,” kata Nasaruddin Umar, seperti dikutip republika.co.id (21/6).
Pengadaan Alquran dalam jumlah besar kali pertama pada masa pendudukan Jepang. Pada 11 Juni 1945, pemuka-pemuka Shumubu (Kantor Urusan Agama) dan Masyumi, menghadiri percetakan 100 ribu Alquran di Cirebon. Pada 1960-an Departemen Agama mendapatkan alokasi dana pampasan perang dari Jepang untuk pengadaan Alquran, yang menimbulkan kontroversi. Karena Menteri Agama KH Muhammad Wahib Wahab menunjuk Jepang sebagai tempat pelaksanaan proyek itu. Alquran yang dicetak sebanyak 5 juta eksemplar –6 juta eksemplar menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama– dengan biaya US$1.800.
Baca juga: Alquran Cetakan Jepang
Menurut Moch Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci, dan Politik,” dimuat dalam Sadur karya Henri Chambert-Loir, Alquran dan Terjemahnya adalah satu-satunya Alquran resmi yang diterbitkan pemerintah –meskipun kemudian swasta diberi hak menerbitkannya. Alquran dan Terjemahnya dikerjakan oleh Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Alquran dibentuk Departemen Agama pada 1962, kemudian berubah jadi yayasan pada 1967.
Alquran dan Terjemahnya, tulis Ichwan, terdiri dari tiga edisi. Edisi pertama (edisi asli), terbit dalam tiga volume pada 1965, 1967, dan 1969; disebut Edisi Yamunu karena diterbitkan oleh Yamunu (Yayasan Mu’awanah Nahdlatul Ulama). Edisi kedua (edisi revisi pertama), terbit pada 1974; disebut Edisi Mukti Ali –merujuk nama Menteri Agama saat itu. Edisi ketiga (edisi revisi kedua) terbit pada 1990; disebut Edisi Saudi, karena diterbitkan atas kerjasama Departemen Agama dan Pemerintah Arab Saudi dan dicetak oleh percetakan resmi pemerintah Arab Saudi di Madinah.
Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan Alquran terus meningkat dari tahun ke tahun. “Pemerintah memfasilitasi kebutuhan umat tersebut melalui proyek pengadaan kitab suci Alquran hampir setiap tahun,” kata mantan Menteri Agama Muhammad M. Basyuni, saat meresmikan gedung Lembaga Percetakan Alquran di Ciawi, Bogor, 15 November 2008. Percetakan ini kapasitas 1,5 juta eksemplar per tahun.
Menurut Lex Rieffel dan Karaniya Dharmasaputra dalam Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah, dalam laporan keuangan Yayasan Pembangunan Islam (YPI) tentang Proyek Pembangunan Percetakan Alquran per 31 Desember 2007 tertera sumbangan dari Departemen Agama sebesar Rp28 milyar sebagai pendapatan YPI.
“Patut dicatat, pendapatan YPI lainnya hanya berasal dari jasa giro senilai Rp825 juta lebih,” tulis Lex dan Karaniya. YPI adalah yayasan di lingkungan Departemen Agama yang didirikan pada 27 Mei 1966. Tujuannya membantu pembangunan masjid, surau, madrasah, atau tempat ibadah lainnya, termasuk bergerak di bidang percetakan dan penerbitan buku, kitab, majalah keagamaan dan menyalurkan bantuan kepada misi-misi Islam.
Kita masih harus menunggu perkembangan penyidikan dugaan korupsi pengadaan Alquran. Tapi, yang jelas korupsi di Kementerian Agama bukan hal baru. Menteri Agama Said Agil Husen Al-Munawar, divonis lima tahun penjara karena kasus korupsi Dana Abadi Umat, juga bukan yang pertama. Pada masa “negara dalam keadaan bahaya” (SOB) tahun 1957, mantan Menteri Agama dan anggota DPR KH Masykur ditahan di Hotel Talagasari Bandung, atas perintah KSAD sekaligus Penguasa Perang Pusat (Peperpu) Jenderal AH Nasution.
Di Hotel Talagasari, terdapat lima mantan menteri, anggota konstituante, anggota parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa, pengusaha, dan lain-lain. Ditaksir, jumlah orang yang diperiksa berjumlah 60 orang. (Baca: Hotel “Prodeo” Talagasari di Majalah Historia nomor 2).
Dalam memoarnya, Dari Gontor ke Pulau Buru, H. Achmadi Moestahal menyebut penangkapan para pemimpin partai politik terutama para anggota DPR sebagai bentuk “pembalasan” terhadap ulah mereka ketika terjadi peristiwa 17 Oktober 1952.
“Tuduhan yang dilontarkan kepada KH Masykur,” kata Achmadi, “adalah penyalahgunaan dana nonbudgeter Kas Masjid, yaitu pengepoolan hasil retribusi biaya nikah, talak dan rujuk oleh para pegawai pencatat nikah (Depag) dan ketidakberesan pengelolaan keuangan dari penyaluran tekstil kain kafan yang merupakan bagian dari rampasan perang dari Jepang ke Indonesia.”
“Setelah pemeriksaan permulaan dianggap selesai, beberapa tahanan dilepaskan yaitu KH Masykur, AK Gani, KH Ahmad Dahlan, Zainul Arifin, dan seorang komisaris polisi,” kata Jusuf Wibisono, yang juga ditahan di Hotel Talagasari, dalam biografinya, Karang di Tengah Gelombang karya Soebaginjo IN.
Mantan Menteri Agama lain yang didakwa korupsi adalah KH Muhammad Wahib Wahab. Pada 30 Oktober 1962, jaksa menuntut Wahib sepuluh tahun penjara dan membayar denda Rp15 juta. Menurut jaksa, tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI, terdakwa terbukti melakukan transaksi gelap Rp2,9 juta dan ditukar dengan dolar Malaya 11.600 dengan kurs gelap 1.250.
Di Singapura terdakwa juga mempunyai: 3 buah mobil sedan Prince, 1 sedan Pontiac, 1 sedan Mercedez Benz, dan sebuah skuter; 1 buah sedan Mazda dihadiahkan kepada kenalannya Miss Melly Kho. Ada rumah sewa sebagai tempat penginapan jika terdakwa bepergian ke Singapura. Selain itu, terdakwa juga akan membangun dua buah bangunan di Opera Estate Singapura untuk cabang perusahaan batik Ponorogo dengan biaya 39.000 dolar Malaya.
Wahib menyanggah tuduhan itu. Dia menyatakan, ketika mengurus semua hal terkait pembukaan cabang perusahaan, kedudukannya bukan sebagai Menteri, melainkan dalam cuti 40 hari di Singapura.
Menurut Abdul Azis, penulis profil Wahib Wahab dalam Menteri-Menteri Agama RI, H. Machdan menceritakan bahwa kekayaan Wahib di Singapura bukan miliknya, tapi punya seorang Tionghoa bernama Maliko, anak advokat di Mojokerto, yang telah lama tinggal di Singapura dan memiliki perusahaan biro perjalanan. “Maliko kenal baik dengan KH Wahib sejak kecil dan Maliko inilah yang memberi uang Wahib untuk modal berdagang,” kata Machdan.
Hakim menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Wahib. “Terdakwa menerima keputusan hakim dan akan memajukan grasi kepada Presiden,” tulis Rosihan.
Presiden Sukarno memberikan grasi. Wahib hanya menjalani tahanan kurang dari sebulan di Salemba. H. Shobih Ubaid, kerabat dekat Wahib yang menangani pembayaran denda sampai lunas, menduga kebencian Wahib terhadap manuver Partai Komunis Indonesia (PKI) mengakibatkan Sukarno merasa risih dan tidak suka. “Sehingga, orang-orang PKI berusaha mencari celah untuk menjatuhkan KH Wahib karena khawatir posisinya sebagai Menteri Agama akan mudah menggalang opini publik yang dapat mengancam kelangsungan hidup PKI,” kata Shobih.
“Oleh karena itu, kasus di atas diyakini Shobih sebagai hasil rekayasa PKI disertai dukungan politis secara tidak langsung dari Presiden,” tulis Abdul Azis.
Selanjutnya, laporan utama pemberantasan korupsi di era rezim Sukarno dimuat Majalah Historia nomor 2.