Masuk Daftar
My Getplus

Menelaah Bocoran Dokumen Rahasia "Penahanan" Uighur

Bagaimana sebenarnya isi dokumen rahasia tentang Uighur yang disebut media Barat sebagai China Cables?

Oleh: Novi Basuki | 15 Des 2019
Kamp konsentrasi atau yang disebut dalam dokumen rahasia sebagai "pusat pelatihan pendidikan vokasi" Uighur di Xinjiang, China. (Wikipedia).

Sehabis membaca keseluruhan dokumen rahasia soal "kamp konsentrasi" Uighur di Xinjiang yang pada 23 November 2019 dibocorkan Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) yang bekerja sama dengan 17 media dari 14 negara, barangkali bisa dimaklumi jika juru bicara pemerintah Xinjiang, dalam wawancara eksklusifnya dengan surat kabar Tempo Global (Huanqiu Shibao, 3/12/2019), dongkol menyebut pemberitaan tentang itu tidak hanya "memutarbalikkan hitam dan putih" (dian dao hei bai) tetapi juga "ngawur tidak memedulikan fakta yang ada" (xin kou ci huang).

Kalau pun kegeramannya itu tak bisa diterima, tetaplah sulit disangkal bahwa pemberitaan kebanyakan media-media arus utama dunia yang artikelnya disadur mentah-mentah oleh tak sedikit media kita, tampaknya memang sengaja mengutip setengah-setengah isi dokumen berbahasa Mandarin tersebut demi menonjolkan perlakuan pemerintah China terhadap orang-orang Uighur yang dimasukkan ke "kamp konsentrasi" (atau yang dokumen itu sebut "pusat pelatihan pendidikan vokasi") telah melanggar hak asasi manusia dan karenanya China harus disanksi kalau bersikeras tidak mau menutupnya.

Padahal, bila mau mengikuti apa yang diingatkan Zheng Yongnian dalam kata pengantar bukunya, China Model: Pengalaman dan Tantangan (Zhongguo Moshi: Jingyan yu Tiaozhan, 2016), kelewat menggiring diskusi terkait China ke ranah politis atau bahkan moralis, justru akan berujung pada mispersepsi –kalau bukan halusinasi.

Advertising
Advertising

Dan, peringatan profesor-cum-direktur East Asian Institute pada National University of Singapore itu agaknya kian berlaku jika yang dibahas adalah perihal kebijakan keagamaan negara yang sejak 1949 dipimpin partai tunggal bernama Partai Komunis China (PKC) besutan Maring alias Henk Sneevliet ini. Terlebih di tengah kondisi pola pikir tak sedikit masyarakat kita yang masih terkungkung dalam apa yang Presiden China Xi Jinping namai "mentalitas Perang Dingin" (leng zhan siwei). Dengan pandangan mandek macam itu, negara yang menjadikan komunisme sebagai ideologinya, walau bagaimana pun akan dipersepsikan selamanya anti dan ujung-ujungnya membumihanguskan segala agama.

Yang Diberitakan Media

Adapun pemerintah komunis China yang dicitrakan menggencet agama, bisa kita baca ketika media-media kita menuliskan berita soal dokumen-dokumen rahasia yang disinggung di muka.

Sebagai amsal, dalam berita berjudul “Dokumen Rahasia Ungkap Cara China ‘Mencuci Otak’ Muslim Uighur”, vivanews.com (25/11/2019) menulis, dokumen rahasia yang salah satunya berupa telegram 9 halaman dari Zhu Hailun "jelas mengatakan bahwa kamp-kamp harus dijalankan sebagai penjara dengan keamanan tinggi, dengan disiplin ketat, hukuman, dan tidak ada yang boleh keluar."

Zhu Hailun yang saat itu menjabat sebagai sekjen Komite Politik dan Hukum PKC (zhengfawei) di Xinjiang lanjut menegaskan, "para tahanan baru [boleh] dilepaskan jika [telah] menunjukkan perubahan dalam perilaku, bahasa, hingga kepercayaan," tulis kompas.com (25/11/2019).

Baca juga: Muslim Uighur dalam Pandangan NU

Intinya, "Dokumen yang [oleh ICIJ] disebut 'China Cables' ini," pungkas detik.com (25/11/2019), "menggambarkan tindakan yang dilakukan pemerintah [China] di Xinjiang dalam mengawasi, menahan, melakukan pendidikan ulang, dan kerja paksa terhadap warga muslim."

Bila benar demikian, kiranya tak berlebihan jika Xinjiang disebut sebagai gambaran nyata distopia rekaan George Orwell dalam novel 1984 yang masyhur itu.

Namun, benarkah dokumen-dokumen rahasia yang bocor itu memerintahkan dijadikannya pusat studi pendidikan vokasi tak ubahnya penjara –sebagaimana diberitakan media? Benarkah prasyarat untuk bisa bebas dari sana adalah adanya perubahan bahasa dan kepercayaan –dalam artian, khusus Uighur, mereka harus meninggalkan Uyghurche dan Islam? Lalu, benarkah Uighur dipaksa kerja rodi di situ?

Yang Tidak Diberitakan Media

Pertanyaan-pertanyaan begitu sebenarnya akan menjadi pertanyaan retoris belaka jika dokumen-dokumen rahasia yang berbahasa asli Mandarin itu dibaca semua dengan teliti sekaligus zonder (tanpa) tendensi.

Benar bahwa di awal baris ketiga pada poin 1 di halaman 2 telegram kiriman Zhu Hailun terdapat kalimat "jangan sampai terjadi aksi kabur" (jue bu yunxu fasheng taopao shijian) murid-murid pusat pelatihan pendidikan vokasi. Dan, sepertinya, kalimat itu (beserta detail tentang perlunya pemasangan kamera cctv, pos penjaga, pintu berkunci ganda, dilarangnya membawa telepon genggam yang ada pada poin 2 dan 3 di halaman yang sama), yang dijadikan sandaran media menuding Zhu Hailun yang notabene representasi PKC di Xinjiang telah menitahkan dikelolanya pusat pelatihan pendidikan vokasi laiknya penjara.

Poin 1 telegram Zhu Hailun yang tidak dikutip media. Coratan oleh penulis. (Novi Basuki)

Akan tetapi, media agaknya lupa menukil kalimat-kalimat lain di depan dan belakang kalimat di atas. Yakni, "polisi bersenjata dilarang keras memasuki area pelajar" dan "jangan sampai terjadi peristiwa onar, jangan sampai terjadi peristiwa penyerangan pengelola, jangan sampai terjadi peristiwa kematian secara tidak wajar, jangan sampai terjadi insiden keamanan pangan dan wabah endemik, pastikan pusat pelatihan aman secara mutlak tanpa kesalahan sedikit pun."

Di samping itu, pada poin 4, 5, dan 6 di halaman 3, masih terdapat arahan Zhu Hailun yang mengharuskan pembangunan gedung pusat pelatihan pendidikan vokasi haruslah tahan gempa dan dilengkapi dengan beragam alat pemadam api. Baik murid maupun pengelolanya, sama-sama diharuskan untuk diajari pendidikan mitigasi bencana gempa bumi dan kebakaran. Di dalam gedung juga diwajibkan menyediakan klinik kesehatan dengan tenaga medis dan obat-obatan yang memadai. Makanan yang diberikan sehari-hari pun harus terjamin kehigienisannya mulai dari saat pembelian, pemasakan, penyimpanan, hingga pendistribusian.

Poin 4, 5, 6 telegram Zhu Hailun. (Novi Basuki).

Zhu Hailun masih mengharuskan pemenuhan kebutuhan psikologis murid-murid pusat pelatihan pendidikan vokasi. Caranya, seperti termaktub dalam poin 13 di halaman 5, "jamin murid-murid [bisa] bertelepon dengan keluarganya minimal satu kali tiap minggunya, [dan bisa] melakukan video call satu kali tiap bulannya." Mereka juga dibolehkan dijenguk (tanshi), melakukan pertemuan (huijian), dan makan bareng (gong can) bersama keluarga.

Baca juga: Bagaimana Islam Menyebar di Xinjiang?

Barangkali, di tengah tidak dibolehkannya mereka mengikuti kegiatan dan berkomunikasi dengan dunia luar selain pada waktu-waktu tertentu sebagaimana diatur dalam poin 3 di halaman 2, bercengkerama dengan keluarga –meski juga dalam tempo yang sangat terbatas– diizinkan pemerintah China sebagai kompensasi setelah murid-murid digembleng dengan rutinitas militeristik "belajar tiga" (san xue) saban harinya. Apa itu "belajar tiga"? "Belajar bahasa nasional (Mandarin), pengetahuan hukum, dan pendidikan vokasional." Demikian dijelaskan poin 8 di halaman 3 dan 4. Terlebih, pelajaran bahasa Mandarin dijadikan sebagai "pelajaran utama" (zhu xiu) sekaligus bahasa pengantar dua pelajaran lainnya.

Poin 13 telegram Zhu Hailun. (Novi Basuki).

Sebenarnya, meski secara tak langsung, dari situ bisa kita tengok logika pemerintah China dalam menangani permasalahan Uighur. Pemerintah China berulang kali menegaskan pendirian pusat pelatihan dan pendidikan vokasi adalah untuk tujuan deradikalisasi. Mereka beranggapan, radikalisme dan pelbagai laku melanggar hukum yang disebabkannya, lebih mudah dicekokkan terhadap orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan karenanya tidak mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi harian. Pendekatan yang terkesan messiah complex, memang. Tapi boleh jadi, pandangan demikian terinspirasi dari petunjuk cendekiawan Dinasti Ming Lu Shaoheng dalam kitab Catatan Terselip di Balik Jendela (Xiao Chuang You Ji): "wu shi ren hao sheng shi" (pengangguran akan gampang membikin keonaran).

Tak ayal, pengajaran bahasa Mandarin dipilih sebagai salah satu jalan keluar lantaran "Uighur berada dalam kondisi tidak diuntungkan (disadvantaged) dalam pasar dunia kerja utamanya karena kurangnya kemampuan bahasa Mandarin mereka." Wei Shan dalam risetnya, "Explaining Unemployment among Uighurs in China" yang dipublikasikan jurnal East Asian Policy Volume 09, Issue 03 (Juli & September 2017), menyatakan begitu.

Baca juga: Tatkala Uighur Mendirikan Republik Islam Turkestan Timur

Dengan kerangka berpikir seperti itu, masuk akal belaka jika pada poin 10 di halaman 4 telegramnya, Zhu Hailun memerintahkan dijadikannya nilai ujian tulis dan lisan bahasa Mandarin sebagai salah satu tolok ukur penting kelulusan Uighur dari pusat pelatihan dan pendidikan vokasi agar sekeluarnya dari sana bisa langsung bersaing dalam sengitnya kompetisi dunia kerja dengan masyarakat China kebanyakan. Rumitnya, ini diinterpretasikan media menjadi "Uighur harus mengubah bahasa ibu mereka dari Uyghurche ke Mandarin dulu baru bisa lolos dari kamp konsentrasi."

Runyamnya lagi, media juga kurang tepat mengalihbahasakan "sixiang zhuanhua" pada poin 16 di halaman 6 –yang juga dijadikan patokan kelulusan selain nilai bahasa Mandarin– sebagai "perubahan kepercayaan" alih-alih "perubahan pemikiran". Dengan mengartikannya sebagai "perubahan kepercayaan", orang-orang bisa saja terkecoh memahami itu sebagai murtadnya Uighur dari Islam ke agama atau kepercayaan lainnya. Padahal, yang dimaksud telegram Zhu Hailun adalah transformasi pemikiran keagamaan dari yang radikal ke yang moderat.

Terlepas dari apa motif media, dilihat dari segi historis, memainkan sentimen keagamaan memang telah lama dipakai untuk menyedot simpati umat Islam seluas-luasnya dalam persoalan Uighur vs pemerintah China yang sejatinya sudah berlangsung sejak era kedinastian itu. Alias jauh sebelum Partai Nasionalis (Kuomintang) yang menumbangkan Dinasti Qing dalam Revolusi Xinhai 1911 didepak PKC ke pulau bernama Taiwan di seberang Selat Formosa.

Baca juga: Turki Tidak Mengakui Negara Islam Bentukan Uighur

Guru Besar Kobe University Wang Ke dalam Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur: 1930-an–1940-an (Dong Tujuesitan Duli Yundong: 1930 Niandai zhi 1940 Niandai) menyimpulkan, isu keagamaan sengaja digaungkan kaum Uighur –yang pada 12 November 1933 akhirnya berhasil mendirikan Republik Islam Turkestan Timur setelah memberontak terhadap pemerintah Republik China yang kala itu masih dipimpin Kuomintang– guna menarik simpati etnis lain yang seiman dengan mereka di Xinjiang. Strategi demikian sengaja dipilih sebab, andai yang dipakai adalah isu kesukuan alih-alih keagamaan, muslim bersuku Kazakhs yang populasinya juga tak sedikit di Xinjiang niscaya akan sulit bersimpati pada gerakan elite-elite Uighur yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pemerintah China itu.

Kelak setelah sedikitnya setahun lebih, murid-murid yang nilai bahasa Mandarinnya bagus dan pemahaman keagamaannya tidak lagi radikal ingin, misalnya, memisahkan Xinjiang dari China itulah yang bisa lulus dari "kamp konsentrasi".

Poin 20 telegram Zhu Hailun. (Novi Basuki).

Selepas dari situ, telegram Zhu Hailun memerintahkan dalam poin 20 di halaman 7, pemerintah daerah "harus ... menyusun rencana penempatan kerja dan bantuan [kepada yang sudah lulus] ... jamin [murid] yang mempunyai keinginan untuk bekerja dapat bekerja dengan lancar. Terhadap [murid] yang tidak mempunyai kemampuan untuk bekerja [dan] hidupnya kesulitan, organisasi kepartaian di tingkat daerah (jiceng zuzhi) harus menggelar program bantuan dan pertolongan, sungguh-sungguh membantu menyelesaikan kesulitan nyata [yang dihadapi mereka]." Boleh jadi ini yang dimaksud media sebagai kerja paksa.

Akhirulkalam, meminjam kata-kata dalam novel Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer secara anekdotal, dokumen-dokumen rahasia itu sejatinya "sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya."

Penulis adalah kontributor Historia di Tiongkok, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University.

TAG

islam uighur china

ARTIKEL TERKAIT

Enam Gempa Paling Mematikan di Negeri Tirai Bambu Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965 Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip Soerjopranoto Si Raja Mogok Dakwah Walisongo Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker Pencarian Islam Muhammad Ali Kala Aktivis Malaysia Diciduk dan Kedutaan China Digeruduk