Masuk Daftar
My Getplus

Mata Air Zubaidah

Air Zubaidah meredakan dahaga para tamu Allah.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 02 Jul 2014
Sumur "Air Zubaidah" yang dibuat abad ke-8 dengan latarbelakang perkemahan jemaah haji. Foto sumur: outbackandbeyond.com.

DALAM ramah-tamah dengan Korps Wanita Angkatan Bersenjata di Istana Negara Jakarta, 28 Desember 1965, Presiden Sukarno mengatakan bahwa perempuan selalu ikut dalam setiap revolusi besar dalam sejarah manusia. Sukarno menyebut Zubaidah yang membangun aliran air ke Mekah yang dinamakan “air Zubaidah.” “Revolusi yang diadakan Nabi Muhammad saw. misalnya, mengenal nama Zubaidah,” kata Sukarno.

Zubaidah (wafat tahun 831) adalah istri paling dicintai Harun al-Rasyid (memerintah 786-803). Harun salah satu khalifah Dinasti Abbasiyah yang kerap melaksanakan haji. Dia bersama istri, anak-anak, dan para fukaha telah sembilan kali naik haji. Jika tidak pergi haji, dia memberangkatkan 300 orang berhaji dengan dibekali biaya besar dan pakaian mewah. 

Baca juga: 

Advertising
Advertising

Kisah Harun Dari Negeri Seribusatu Malam

Menurut Michael Wolfe dalam Haji, karena ingin mempermudah para jemaah haji di abad-abad mendatang, Zubaidah membiayai penggalian seratus sumur di sepanjang jalur al-Kufa di Irak selatan sampai ke Mina di Mekah. Air merupakan kebutuhan mendasar bagi para jemaah haji di daerah yang gersang itu.

Baca juga: 

Haji Singapura

Saluran itu, tulis Wolfe, “abu-abu yang kelihatan usang dan terbuat dari batu serta bata melalui proses peleburan. Ini adalah saluran air yang cukup besar yang berasal dari abad ke-8.”

Pembuatan saluran dan sumur-sumur itu menelan biaya sebesar 1.500.000 dinar. “Zubaidah merupakan sosiawan yang jarang tandingannya. Sampai sekarang saluran air itu terkenal dengan Air Zubaidah (mata air Zubaidah),” tulis Huzaemah T., “Konsep Wanita Menurut Quran, Sunah, dan Fikih,” termuat dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual.

Selain itu, menurut Huzaemah, Zubaidah membuat banyak masjid, waduk untuk irigasi, dan jembatan di wilayah Hijaz, Syam, dan Bagdad. Bahkan, dia bersama suaminya berjasa dalam rekonstruksi dan rehabilitasi Mekah.

Menurut Christiaan Snouck Hurgronje dalam Tulisan-tulisan Tentang Islam di Hindia Belanda, di waktu biasa sumber-sumber air tersebut memasok air lebih dari cukup ke kota Mekah untuk keperluan rumahtangga, mencuci pakaian, dan mandi. Persediaan air di sumur-sumur itu tidak berkurang walau lama tak turun hujan.

Terkait sumber air tersebut, Dr Dickson, wakil Inggris di Dewan Kesehatan Internasional, melaporkan mengenai ibadah haji pada 1885: “Tempat-tempat penampungan air di Arafah diisi dengan air jernih dari pipa air Zubaidah dan setiap orang dengan sesuka hati boleh mengambil air dari situ dengan cuma-cuma; tetapi oleh karena orang tidak mengambil tindakan untuk melarang mandi di tempat itu, maka airnya lalu tidak layak (untuk diminum).”

Seorang ulama takjub dengan amal saleh Zubaidah. Dalam mimpinya, ulama itu bertanya kepada Zubaidah: “Pahala apa yang engkau terima dari Allah sebagai balasan atas amalmu membangun oase ini?”

Zubaidah menjawab: “Pahalanya sudah diberikan Allah kepada rakyat yang memberikan keringat dan tenaganya untuk membangun sungai ini.”

“Zubaidah hanyalah istri khalifah,” tulis Jalaluddin Rakhmat dalam The Road to Muhammad. “Artinya, dia sekadar memberi perintah saja; sebenarnya, yang membangun adalah rakyat.”

Lebih lengkap mengenai sejarah haji Nusantara baca di Historia Nomor 6 Tahun I "Memenuhi Panggilan Suci"

TAG

zubaidah sumur zubaidah 1885

ARTIKEL TERKAIT

Cerita Tentang Hamka Alkisah Gereja Tertua di Gaza Saul, Raja Israel yang Berakhir di Tangan Bangsa Filistin Di Balik Kemenangan Daud atas Goliat Goliat yang Gagah dari Filistin Mendedah Sejarah Syiah Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip Ujian Haji Masa Kolonial Belanda Memenuhi Panggilan Suci Dua Sisi Snouck Hurgronje