Masuk Daftar
My Getplus

Ledakan Mercon Blanggur saat Ramadan dan Lebaran

Orang Indonesia dulu menunggu ledakan mercon blanggur. Pertanda waktu buka puasa dan akhir puasa.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 14 Jun 2018
Salat Idulfitri. Foto: Tropenmuseum.

SAAT ini, kita dapat dengan mudah mengetahui waktu berbuka. Petujuk waktu seperti jam maupun pemberitahuan waktu berbuka datang dari berbagai saluran, dari media massa sampai masjid-masjid terdekat. Namun, orang Indonesia zaman dulu sangat menanti suara ledakan sebagai tanda berbuka puasa. Ledakan itu dari mecon besar di masjid-masjid.

R.D. Sadulah dalam roman Zuster Hayati menulis bahwa mengambil hasil kebudayaan bangsa lain yang berguna bagi kita diperbolehkan, “seperti mengambil hikmat dari kebudayaan mesiu Cina dalam bentuk mercon blanggur, itu boleh kita manfaatkan. Mercon blanggur sangat berguna bagi orang yang berbuka puasa di bulan Ramadan, sebagai tanda berbuka puasa. Tidak semua orang mempunyai jam atau alat pengukur waktu yang lain.”

Tampaknya ledakan mercon blanggur sebagai tanda berbuka puasa sudah sejak zaman kolonial Belanda. Mohammad Saleh Hadjeli yang hidup di zaman kolonial, menuturkan “dua tempat di Jakarta yang sejak dulu menjadi pedoman masyarakat, yang pertama Masjid Kwitang, dan yang kedua Masjid Tanah Abang, Baitul Rahman. Pada setiap masuk waktu magrib di bulan Ramadan, termasuk juga pada waktu jaman Jepang, selalu diledakkan mercon besar untuk tanda berbuka puasa. Suara ledakan tersebut terdengar sampai ke daerah Senen, Kwitang, Kramat dan tempat-tempat lainnya. Kami selalu salat Jumat dan Tarawih di mesjid itu,” kata Hadjeli, dikutip dari Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Orang yang Mengalaminya.

Advertising
Advertising

Di Solo, menjelang magrib, warganya pada masa lalu duduk-duduk di halaman rumah menunggu suara gelegar dari mercon raksasa, yang menandai saat berbuka puasa. “Karena suara mercon itu berbunyi ‘duuul!’ maka orang Solo menyebut ‘dul’ sebagai saat berbuka puasa,” tulis Panji Masyarakat, No. 45 Th II/24 Februari 1999.

Adalah Muhammad Isa Alwi, generasi terakhir yang bertugas mengadakan dan menyulut “dul” selama tiga tahun di akhir tahun 1970-an untuk Masjid Tegalsari, Surakarta. Menurutnya, di Kota Solo penyulutan “dul” dilakukan di dua lokasi, yaitu Masjid Tegalsari dan Masjid Agung. Penyulutan "dul" di Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta sempat terhenti pada 1965, saat meletusnya Gerakan 30 September. Di Masjid Tegalsari sendiri penyulutan “dul” sebagai tanda berbuka puasa diawali pada 1960-an.

“Waktu itu belum ada tanda untuk buka puasa yang bisa didengar masyarakat secara luas. Makanya digunakan bom udara. Kalau di Keraton Kasunanan Surakarta, saat itu memang dipakai semacam meriam, yang disulut pada upacara tertentu. Atas inisiatif masyarakat digunakanlah 'dul' sebagai tanda waktu berbuka. Kemudian Masjid Agung menggunakan bom udara itu untuk penanda buka puasa. Masjid Tegalsari juga melakukannya,” kata Isa Alwi kepada Panji Masyarakat.

Merconnya, kata Isa Alwi, dipesan dari daerah produsen mercon di pesisir pantai utara Jawa Timur, sekitar Tuban. Pesan langsung untuk 30 hari. Tapi tidak bisa langsung jadi, berangsur-angsur karena tidak mudah membuatnya.

Selain sebagai tanda berbuka puasa, menurut Sadulah, memasang mercon besar atau blanggur juga menjadi tanda dimulai dan berakhirnya bulan puasa. “Memberi suasana kemegahan Idulfitri dan Idulqurban,” tulis Sadulah.

Baca juga: 

Merdeka Kartu Lebaran
Meledakkan Sejarah Petasan
Pesta Petasan Memakan Korban

TAG

Puasa Ramadan Idulfitri Lebaran

ARTIKEL TERKAIT

Tradisi Membeli Baju Lebaran Lagu Ramadan yang Tak Termakan Zaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Pemogokan Buruh Kereta Api di Bulan Puasa Menentukan Hari Lebaran Pada Masa Kolonial Puasa Masyarakat Nusantara Jenderal Soedirman Lebaran di Jakarta Pertemuan Rahasia di Malam Lebaran Belanda Menghalangi Salat Id di Jakarta Lebaran Pertama Setelah Zaman Perang