Suatu hari di awal tahun 1700-an. Bupati Cianjur Aria Wiratanu II (1691–1707) merasa pusing dengan prilaku sang adik yang bernama Raden Prawatasari. Bagi pejabat yang mengabdi kepada VOC itu, sikap keras Prawata terhadap orang-orang Belanda membuatnya ada dalam posisi dilematis. Supaya sang adik lebih “dewasa” dan berpikir dingin, maka Aria Wiratanu II memberangkatkan Prawatasari untuk pergi berhaji ke Makkah.
“Namun boro-boro menjadi lebih tenang, sepulang dari Makkah, Haji Prawatasari malah semakin keras sikapnya terhadap kompeni dan bahkan melancarkan perlawanan bersenjata yang sulit dikendalikan,” tutur sejarawan Cianjur, Luki Muharam.
Baca juga:
Menak Pemberontak dari Jampang Manggung
Jika cerita di atas memang benar, itu membuktikan Bupati Aria Wiratanu II memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap VOC. Menurut sejarawan Henri Chambert-Loir, sejak akhir 1600-an, VOC sangat selektif memberikan izin kepada orang-orang muslim di Nusantara untuk pergi berhaji. Sebabnya: mereka khawatir orang-orang Nusantara terpengaruh ajaran perang sabil selama di tanah Arab tersebut.
“Pada Maret 1689, VOC menangkap 3 orang Bugis yang baru pulang dari Tanah Arab dan membuangnya ke Srilanka lalu diteruskan ke Tanjung Harapan,” ungkap Loir dalam Naik Haji di Masa Silam, Tahun 1482–1890.
Belum ada catatan akurat terkait orang Sunda pertama yang pergi berhaji ke tanah suci Makkah. Dalam catatan H.J. de Graaf yang dikutip oleh M. Dien Majid disebutkan bahwa pada 1638, Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683) dari Kesultanan Banten pernah mengirimkan utusan ke Mekkah.
“Beberapa tahun kemudian menyusul naik haji Abdul Qohar, putra Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikenal dengan sebutan Sultan Haji,” ungkap Dien dalam bukunya, Berhaji di Masa Kolonial.
Guna menjadikan para ulama Sunda lebih mumpuni di bidang agama Islam, pada 1778 Bupati Cianjur Raden Enoh alias Aria Wiratanu VI dan Tumenggung Bogor sempat berencana mengirimkan beberapa ulama ke Mekkah. Namun upaya itu tak pernah terlaksana karena Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1777—1780) sama sekali tak memberi izin. Itu jelas melukiskan suasana kekhawatiran dan kebijakan garis keras VOC terhadap isu kebangkitan Islam yang bisa menjadi ideologi perantara untuk melawan kolonialisme Barat, kata Loir.
Baca juga:
Tak bisa dinafikan, jika pada awalnya hanya kaum priyayi Sunda (menak) yang bisa melaksanakan rukun Islam ke-5 itu. Selain tutur tinular (cerita lisan yang disampaikan secara turun temurun), memang ada beberapa catatan arsip yang mengisahkan perjalanan para menak Sunda ke tanah suci Makkah. Sebut saja salah satunya adalah teks naskah Raden Demang Panji Nagara yang terdapat dalam katalogus van Ronkel.
Dikisahkan, tokoh utama dalam teks tersebut adalah seorang bangsawan Sumedang yang pergi menunaikan ibadah haji dengan diiringi 24 pengikutnya. Mereka berangkat dari Sumedang pada 27 Syawal 1268 (14 Agustus 1852) menuju Cirebon melalui Desa Tomo. Dari Pelabuhan Cirebon, rombongan Raden Demang Panji Nagara lantas berlabuh ke Singapura melalui Muntok dan Riau.
Dari negeri jajahan Inggris itu, mereka lalu menumpang sebuah kapal Arab yang mengangkut sekira 250 jemaah haji. Dalam perjalanan menuju Jeddah, rombongan haji terlebih dahulu singgah di Malaka, Pulau Penang, Aceh, Alfiah, Kalikut, Kaliceri (India) dan Hudaidah (suatu kawasan di Laut Merah). Mereka baru sampai di Pelabuhan Jedah pada 10 Jumadilakhir 1269 (21 Maret 1853).
“Perjalanan itu memakan waktu tujuh bulan, tetapi bagian terbesar dihabiskan di berbagai persinggahan itu,” ungkap Loir.
Radeng Demang dan rombongan kemudian tinggal di Makkah selama 23 hari. Mereka kemudian berziarah ke Madinah yang ditempuh selama 15 hari dengan berkendaraan onta yang disewa dari orang-orang Badawi.
“Adapun aturannya itu jemaah-jemaah mesti keluar di dalam satu orang 11 pasmat (uang ringgit Spanyol) buat menyewa onta,” ungkap Raden Demang Panji Nagara seperti termaktub dalam buku yang ditulis Loir.
Tak lama di Madinah, rombongan orang-orang Sunda tersebut kembali ke Makkah dan bermukim di sana selama empat bulan. Pada 8-13 Zulhijah, mereka pun menunaikan ibadah haji.
Baca juga:
Setelah selesai menunaikan ibadah haji dan bermukim lagi selama delapan bulan di kota suci, rombongan Raden Demang meninggalkan Makkah pada 7 Syaban 1270 (5 Mei 1854). Begitu sampai di Pelabuhan Jeddah, mereka tidak langsung berlayar namun bermukim lagi di sana selama tiga minggu. Keberangkatan pulang ke rumah baru terlaksana pada 27 Syaban 1270 (25 Mei 1854) dengan menumpang sebuah kapal Arab yang menampung sekira 450 penumpang.
Kepulangan ke Pulau Jawa melewati rute Hudaidah, Mukha, Alfiah, Pulau Penang, Singapura dan Riau. Dari Riau, mereka mengganti kapal menuju Pulau Jawa dan sampai di Pelabuhan Cirebon pada 21 Syafar 1270 (13 November 1854). Akhirnya dengan selamat, rombongan bangsawan Sumedang itu sampai ke rumah pada 3 Rabiulawal 1271 (24 November 1854).
Namun Loir mengeritik kisah yang ditulis Raden Demang itu mengandung beberapa hal membingungkan. Kendati sang empu cerita meminati detil praktis dan keakuratan angka, namun dia seringkali salah menyebut hari dan jam. Misalnya: Raden Demang kerap memakai tiga ungkapan berbeda (jam pukul 4 malam Isnin, pukul 4 hari Isnin dan pukul 4 malam) untuk jam 4 sore.
Baca juga:
Pemerintah Kolonial Pernah Menunda Pemberangkatan Jemaah Haji