Menjelang Hari Raya Idulfitri tahun 1934 cobaan datang menghampiri Mohammad Natsir. Program Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung yang dipimpinnya sedang dirundung masalah ekonomi. Hampir tidak ada pendapatan yang masuk. Sementara uang sewa tempat, buku, dan gaji para guru tiap bulan harus tetap berjalan.
Keadaan itu terjadi karena banyak murid menunggak uang sekolah. Dikisahkan Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, orang tua mereka sibuk mempersiapkan perayaan lebaran. Sebab membeli baju kala itu menjadi suatu hal yang penting ketimbang keperluan pendidikan. Sebagai sekolah partikelir yang tidak mendapat subsidi dari pemerintah, uang dari para murid menjadi tumpuan Natsir menjalankan program pendidikannya ini.
“Dalam pada itu, para guru justru sangat memerlukan gaji, karena mereka juga menghadapi bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri,” tulis Lukman.
Tidak hanya Pendis, sang pimpinan pun sedang membutuhkan uang untuk menghidupi keluarga barunya. Menikah pada 30 Oktober 1934 dengan Nurnahar binti Marzuki Datuk Bandaro, beban pikiran Natsir kian bertambah. Jalan keluar harus segera dicari olehnya agar persoalan ekonomi itu dapat terselesaikan.
Baca juga: Ki Hajar dan Sekolah Liar
Suatu hari di bulan Ramadan, bermodal 4,50 gulden, Natsir berangkat ke Cirebon. Dia berencana mengunjungi beberapa kenalannya, salah satunya Abdullah bin Afiff. Natsir menemui pengusaha kitab-kitab terbitan Mesir itu untuk memungut zakat bagi keperluan Pendidikan Islam. Abdullah mengerti akan kewajibannya mengeluarkan zakat, sehingga dia sudah memaklumi maksud kedatangan Natsir.
Natsir diterima dengan baik oleh Abdullah. Keduanya berbincang banyak soal kitab-kitab keluaran Mesir yang baru terbit. Ketika terlihat gelagat Natsir akan pamit, Abdullah segera bangkit dan menyerahkan zakatnya sebesar 25,00 gulden, seraya berkata “Untuk perjuangan fii sabilillah”. Sesudah itu, Natsir diundang berbuka puasa di rumahnya.
“Natsir mengenang Abdullah bin Afiff sebagai seorang pengusaha yang benar-benar kaya. Kaya harta dan kaya budi,” tulis Lukman.
Namun rupanya tidak semua pengusaha yang dikunjungi Natsir seperti Abdullah. Banyak juga yang menunjukkan sikap acuh tak acuh kepada tokoh Masyumi ini saat ditanya soal zakatnya. Mayoritas tidak mengerti kewajibannya dalam mengeluarkan uang hasil usahanya. Dalam menghadapi hal ini, Natsir mencoba bersikap sabar.
Baca juga: Ketika Masyumi Memimpin Kabinet
Dikatakan kepada para pengusaha itu dirinya datang bukan untuk meminta belas kasihan. Dia datang mengingatkan kepada mereka untuk memenuhi kewajiban setiap orang yang mengaku beragama Islam. Sebagai orang yang paham, Natsir merasa perlu mengingatkan bahwa di dalam setiap harta yang didapat para pengusaha ini ada hak masyarakat yang harus dikeluarkan.
“Saya datang membantu Tuan agar zakat yang akan Tuan keluarkan sampai kepada yang benar-benar berhak menerimanya. Pendidikan Islam sebagai badan perjuangan umat Islam dalam lapangan pendidikan adalah salah satu dari pihak yang berhak menerimanya,” kata Natsir.
“Saya datang sebagai perantara antara Tuan yang akan menunaikan zakat dengan pihak yang berhak menerimanya. Itupun kalau Tuan ridha. Kalau tidak, saya tidak berkecil hati. Sebab saya hanya melakukan kewajiban,” tambahnya.
Biasanya setelah mendengar ucapan dari Natsir tersebut, para pengusaha akan langsung membayarkan zakatnya. Tidak hanya mengunjungi Cirebon, Natsir juga pergi ke Pekalongan, Kudus, dan Surabaya. Mereka yang dikunjungi Natsir pada akhirnya menjadi donatur tetap Pendis. Mereka rutin mengirim zakat, infak, dan sedekah kepada Natsir untuk keperluan Pendis.
“Dengan cara demikian, dari tahun ke tahun tertolong juga Pendidikan Islam dari kesulitan-kesultan menghadapi Ramadhan dan lebaran. Natsir merasa yang dilakukannya untuk mengatasi kesulitan Pendidikan Islam, tergolong sebagai cara yang cukup terhormat,” tulis Lukman.