Ketika berkunjung ke Perpustakaan Wurttembergische Landesbibliothek di kota Stuttgart, Jerman, Harsiatmo Duta Pranowo, sekretaris umum Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), berniat membuat replika Injil Matius terjemahan Albert Cornelisz Ruyl. Pihak perpustakaan memberikan dukungan dan kemudian mengirim scan naskah Ruyl dalam resolusi tinggi.
LAI segera bekerja. Rencananya, replika itu akan diterbitkan pada 2014 saat perayaan 60 Tahun Pelayanan LAI dan 385 Tahun terbitnya Injil Matius tersebut. Namun, sebagaimana diberitakan dalam laman LAI, alkitab.or.id, permintaan dan pesanan datang dari Pertubuhan Bible Malaysia, yang 5 November lalu memperingati 400 tahun penerjemahan Injil ke dalam bahasa Melayu-Indonesia kali pertama.
Baca juga: Masuknya Kristen di Indonesia
Ruyl, seorang pedagang Belanda, berlayar ke Nusantara pada 1600, empat tahun setelah armada Belanda pertama mendarat di Nusantara. Di luar kesibukannya berdagang, dia menerbitkan semacam buku pelajaran bahasa Melayu dan beberapa buku gerejawi. Merasa bahwa penduduk setempat perlu membaca Alkitab, dia membujuk rekan-rekannya untuk patungan biaya penerbitan untuk proyek terjemahannya. Duabelas tahun kemudian Ruyl menyelesaikan penerjemahan Injil Matius dalam dua bahasa, Belanda dan Melayu –satu tahun setelah terbit Alkitab bahasa Inggris The King James Version. Sayangnya, baru 17 tahun kemudian karyanya diterbitkan, oleh Jan Jacobiz Palenstein di Enkhuizhen, Belanda.
Inilah untuk kali pertama Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa non-Eropa untuk kepentingan penginjilan. Cetakan aslinya, selain di Jerman, kini tersimpan di British Museum di London, Inggris.
Baca juga: Kristen Abangan ala Sadrach
Namun, upaya menterjemahkan Alkitab secara lebih baik dan lengkap dilakukan Mechior Leijdecker, pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia. Pada 1691, atas permintaan majelis gereja di Batavia dan disponsori Kongsi Dagang Belanda (VOC), dia mulai menerjemahkan Alkitab lengkap ke dalam bahasa Melayu Tinggi.
“Tujuannya untuk melayani para jemaat Kristen Eurasia, Ambon, Jawa, Tionghoa, dan etnis lainnya,” tulis Lourens de Vries, “Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia”, dimuat dalam Sadur. Vrije adalah profesor linguistik umum dan penerjemahan Alkitab di Universiteit Amsterdam.
Baca juga: Penginjil Kristen dan Wabah di Tanah Batak
Belum sempat merampungkannya, Leijdecker meninggal dunia. Proyek penterjemahannya dilanjutkan penggantinya, P. van der Vorm. Meski rampung lama, terjemahan ini baru terbit pada 1733. Terjemahan Leijdecker terus dipakai bertahun-tahun, serta direvisi dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa daerah.
Puncak penterjemahan Alkitab terjadi pada abad ke-19. Muncul Alkitab dalam ragam bahasa. “Abad ke-19 menjadi saksi terbitnya berbagai Alkitab dalam bahasa Jawa (1854), Sunda (1877), Bugis (1888) dan Batak Toba (1878), sekadar menyebut beberapa di antaranya,” tulis De Vries.
Setelah Indonesia merdeka, alihbahasa Alkitab ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah berada di tangan LAI, yang dibentuk pada 1950.