Wabah Penyakit Kala Puasa Ramadan
Bukan pertama kali wabah penyakit berjangkit saat umat muslim menjalankan ibadah di bulan suci Ramadan.
Wabah penyakit beberapa kali menyerang umat muslim saat Ramadan. Tak jarang pada bulan puasa itu wabah mencapai pucaknya. Para ulama pun mencatat wabah itu dalam karya-karyanya.
Karya-karya itu lahir saat Maut Hitam (Black Death) menyergap. Wabah ini dengan dahsyat menyebar melintasi padang rumput Asia Tengah ke pantai-pantai Laut Hitam, tak terkecuali kota-kota besar dan kecil Islam.
"Persebaran wabah ini sangat terkait dengan aktivitas keagamaan," kata Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah dalam seminar daring lewat aplikasi zoom tentang "Wabah dalam Lintasan Sejarah Umat Manusia" yang diselenggarakan Museum Nasional pada 21 April 2020.
Puncak Wabah Saat Ramadan
Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam "Plague in Early Islamic History" termuat di Journal of the American Oriental Society mencatat wabah yang dinamakan Salam bin Qutaibah terjadi pada Rajab sampai Syawal (Februari–Juni) tahun 749 di Basrah. Nama wabah itu diambil dari nama seorang gubernur Baṣrah di bawah Dinasti Umayah dan Abbasiyah.
"Wabah ini menjadi semakin parah saat Ramadan dan melandai pada Syawal," catat Dols.
Wabah berulang kali menyerang pada masa kekuasaan Umayah yang berlangsung dari 661 sampai 750. Bahkan, seorang pejabat pemerintah menjadi korban. Ziyad Ibn Abi Sufyan atau Ziyad bin Abihi meninggal dunia di Kufah (Irak) pada Ramadan (Agustus) tahun 673. Ia menjabat gubernur Basra pada 665–670 dan menjadi gubernur Irak pertama pada 670 hingga kematiannya.
"Untuk alasan ini, saat wabah datang selama musim panas, kekhalifahan Umayah meninggalkan kota, mereka pindah ke tempat-tempat terpencil dan tinggal dekat dengan orang-orang Badui," tulis Dols.
Baca juga: Wabah Sejak Zaman Rasulullah
Pada abad pertengahan, pengalaman merasakan wabah saat Ramadan dikisahkan oleh Al-Maqrīzī, sejarawan terkemuka Mesir. Dalam kitab as-Sulūk, ia mencatat bahwa wabah Maut Hitam melanda Mesir mulai dari Syakban, Ramadan, sampai Syawal 749 (November 1348–Januari 1349). Ketika itu wabah dalam kondisi terburuk.
"Wabah pneumonik, mungkin mirip dengan sekarang Covid-19, gejala di radang paru, sesak, panas, ini terjadi biasanya dimulai pada musim dingin di wilayah Eropa abad ke-14," kata Oman.
Ibnu Abi Hajalah menulis Daf’an-niqmah ketika wabah melanda Kairo pada 1362. Saat itu Maut Hitam merebak di Eropa dan Timur Tengah. Menurutnya, puncak wabah terjadi pada Syakban, Ramadan, dan Syawal. "Kalau kita lihat korban 900 ribu dalam dua bulan dari Syakban hingga Ramadan. Ini baru dari Kairo saja belum wilayah lainnya," katanya.
Manuskrip ketiga menjelaskan wabah pada 1373–1374, sejak Rajab hingga Muharam.
"Berapa bulan itu coba? Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, Muharam," kata Oman. "Bayangkan haji terganggu, Ramadan terganggu. Jadi bukan sekarang saja kita harus beribadah di rumah."
Baca juga: Ulama Tetap Berkarya di Tengah Wabah
Muhammad al-Manjibi al-Hambali atau Muhammad bin Muhammad al-Manbiji, ulama Suriah Utara abad ke-14, menyusun kitab saat wabah merebak pada Rajab 775 H (1373) yang meningkat menjelang akhir Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, kemudian menurun pada Muharam tahun berikutnya.
Kitab itu diterjemahkan Avner Giladi, profesor sejarah Timur Tengah di University of Haifa dalam "'The Child Was Small... Not So the Grief for Him': Sources, Structure, and Content of Al-Sakhawi’s Consolation Treatise for Bereaved Parents" yang terbit di jurnal Poetics Today.
Wabah itu mengakibatkan banyak rumah dikosongkan dan ribuan orang tewas, mayoritas anak-anak. "Karena begitu banyak orang beriman yang meninggal, saya menyebut wabah ini 'wabah orang-orang saleh' (ta'un al-akhyar)," kata Al-Manjibi.
"Jadi bagaimana mungkin mengatakan wabah ini adalah hukuman bagi orang berdosa, bagi kelompok yang maksiat sementara orang-orang saleh juga jadi korban, saya kira penafsiran begini meski ada, tapi tidak produktif dalam kontribusi penanganan, dalam memberikan ketenangan kepada sesama," kata Oman.
Tak hanya di Timur Tengah, wabah beberapa kali merebak di Hindia Belanda, seperti flu Spanyol dan kolera. Dalam Histories of Health in Southeast Asia suntingan sejarawan Cambridge University, Tim Harper, disebutkan kolera terjadi selama Ramadan tahun 1933 yang mengakibatkan lebih dari 500 pasien meninggal dunia di rumah sakit ibu kota.
Kegiatan Keagamaan Meningkat
Di saat wabah merebak, kegiatan keagamaan meningkat kendati masjid ditutup. "Ini spesifik ketika pandemi terjadi berbulan-bulan," ujar Oman dalam siaran Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) lewat akun media sosialnya beberapa waktu lalu.
Hal itu juga tampak dalam catatan Ibnu Battuta yang dituliskan kembali oleh Ross E. Dunn, sejarawan San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad 14. Maut Hitam merupakan salah satu wabah yang pernah terjadi di negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah. Orang-orang menghentikan kebiasaan sehari-hari. Mereka lebih memilih salat dan berdoa. Kebanyakan muslim menerima wabah itu sebagai rencana Tuhan yang tak diketahui ciptaan-Nya.
Masjid-masjid ditutup khususnya saat para petugas dan anggota pengurusnya menjadi korban.
Kegiatan memandikan, membersihkan, dan mengubur jenazah tiada hentinya. Iring-iringan penguburan bergerak melalui jalan-jalan dalam parade yang tak berkesudahan. Persediaan peti mati dan pakaian penguburan cepat habis.
"Para penggali kubur yang berhasil bertahan hidup meminta upah amat tinggi untuk pekerjaan mereka," tulis Dunn.
Selain berpuasa Ramadan, diadakan pula doa bersama dengan bacaan tertentu. Pada Jumat, 6 Ramadan 1348 saat wabah berada di puncak, masyarakat diminta datang untuk berdoa bersama. Mereka membaca kitab Bukhari.
"Di Kairo ada keyakinan membaca kitab-kitab Bukhari memberikan hikmah, healing, pengobatan dari agama karena membantu memberikan ketenangan," kata Oman.
Baca juga: Saran Para Ulama dalam Menghadapi Wabah
Selain sebagai hadis sahih, kata Oman, kitab Bukhari banyak menjelaskan tentang wabah, di antaranya yang mengatakan: "Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya".
"Ini bentul-betul jadi prinsip yang mewarnai para penafsir abad berikutnya," kata Oman.
Namun, sebagaimana ditulis Ibnu Hajar al-Asqalani yang dikutip Dols, kegiatan berdoa bersama menyebabkan orang-orang berkumpul. Mereka berbondong-bondong datang.
"Muslim dan non-muslim, anak-anak, mereka menangis meminta, tapi berkerumun. Justru wabah semakin menyebar, kematian semakin bertambah," tulis Dols.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar