Tatkala Uighur Mendirikan Republik Islam Turkestan Timur
Negara Islam yang didirikan Uighur Xinjiang Selatan hanya berumur lima bulan.
Syahdan, sehabis Yang Zengxin pada 7 Juli 1928 tewas ditembak dalam kudeta yang, seperti Gerakan 30 September (G30S) di Indonesia, hingga kini masih menjadi perdebatan siapa dalang sebenarnya. Jin Shuren yang –laiknya Soeharto– dicurigai berada di balik coup d’État tersebut, segera mengambil alih posisi Yang Zengxin sebagai gubernur Xinjiang.
Meninggikan Pajak demi Memakani Militer
Berbeda dengan Yang Zengxin yang selama 17 tahun pemerintahannya relatif toleran terhadap muslim, Jin Shuren cenderung bersikap represif kepada mereka. Padahal, sejak kesultanan Islam dari Xinjiang selatan pada abad ke-7 membumihanguskan kerajaan-kerajaan Buddhis yang lebih awal mengakar di wilayah yang kini berdekatan atau bahkan berbatasan langsung dengan negara-negara Asia Tengah dan Rusia itu, Islam melejit menjadi agama yang diimani mayoritas penduduk bersuku (millet) Uighur di situ.
Tapi Jin Shuren tak peduli. Sebab, bagi Jin Shuren yang “pengalaman berpolitiknya minim, kapabilitasnya biasa-biasa saja,” tulis Li Sheng dalam Sejarah dan Masa Kini Xinjiang (Zhongguo Xinjiang Lishi yu Xianzhuang, 2003), “yang mesti pertama-tama dilakukannya adalah mengonsolidasikan kekuasaan dirinya.”
Caranya? Jin Shuren memulainya dari sektor militer. Militer yang sepanjang era Yang Zengxin tak begitu digubris karena, seperti dinyatakan Yang Zengxin sendiri dalam jilid 9 Catatan Harian Selepas Memperbaiki Gubuk (Bu Guo Zhai Riji), “sama sekali tak butuh tentara, cukup dengan otak dan penaku saja” untuk mengurus Xinjiang, langsung Jin Shuren tambah personel dan anggarannya.
Walhasil, buku Li Sheng di atas mendata, Xinjiang yang di masa Yang Zengxin cuma mempunyai tiga batalion, memuai menjadi delapan batalion di zaman Jin Shuren. Akibatnya, anggaran militer pada 1932 membengkak lebih dari empat kali lipat ketimbang pada 1927 –sehingga menjadikan 74 persen anggaran pemerintah Xinjiang terkuras untuk hal itu.
Baca juga: Bagaimana Islam Menyebar di Xinjiang?
Di waktu yang sama, rakyat Xinjiang kian tercekik oleh meningginya pajak yang dikenakan Jin Shuren buat memenuhi kebutuhan pembiayaan ketentaraannya. Maklum, setelah tidak lagi disuntik subsidi (xiexiang) pemerintah pusat selepas Dinasti Qing ditumbangkan Revolusi Xinhai 1911, pemerintah daerah Xinjiang tidak boleh tidak berdikari. Dan, menaikkan rasio pajak sudah barang tentu merupakan jalan keluar terinstan yang bisa ditempuh.
Benar bahwa sesudah Perang Dunia I dan Revolusi Bolshevik, perniagaan Xinjiang dengan Rusia alias Soviet –yang notabene mitra dagang utama Xinjiang– membaik kembali. Terlebih semenjak rampungnya pembangunan infrastruktur trayek kereta Turksib yang menghubungkan Frunze (sekarang Bishkek, ibu kota Kyrgyzstan) dengan Semipalatinsk (kini Semey, wilayah Kazakhstan di Siberia bagian barat) pada 1930. Tak pelak, waktu ratusan hari yang diperlukan buat mengekspor barang ke Soviet bisa dipersingkat lantaran lintasan kereta itu dekat dengan Ili, daerah Xinjiang paling utara.
Walakin, alih-alih untuk menyejahterakan rakyatnya, Jin Shuren malah memanfaatkan kemudahan perdagangan transnasional itu untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan memonopoli perdagangan beragam komoditas bernilai ekspor tinggi semacam emas, giok, wol, dan kulit kambing yang dibeli dengan harga semurah-murahnya dari rakyatnya.
Di bawah rezim Jin Shuren, demikian makalah Nemchemko, “Kolonial’nyi Rezhim i Agrarnye Otnosheniia v Sin’tsziane” (Rezim Kolonial dan Relasi Agraria di Xinjiang), yang dimuat Problemy Kitaya 8–9, nos. 3–4 (1931) mendata, hanya 12 persen perdagangan di Ürümchi, ibu kota Xinjiang, yang dimiliki pedagang lokal. Selebihnya yang 37 persen, dikuasai oleh komprador borjuis beretnis Han atau orang asing. Sementara yang terbesar, 5I persen, dicengkeram oleh pejabat-pejabat Xinjiang bersuku Han pula.
Runyamnya lagi, birokrat-birokrat Han dimaksud bukanlah penduduk asli Xinjiang. Mereka tak lain adalah kolega-kolega Jin Shuren beserta loyalis-loyalisnya yang didatangkan langsung dari Gansu, derah di mana Jin Shuren pernah berkarier sebelum dipanggil ke Xinjiang oleh Yang Zengxin.
Pembubaran Kekhaganan Kumul
Kekuasaan Jin Shuren kian solid seiring hari. Puncaknya, Jin Shuren tidak ewuh pakewuh membubarkan Kekhaganan Kumul selepas sultannya, Maqṣūd Shāh, mangkat di usianya yang tua pada Maret 1930.
Kita tahu, Kekhaganan Kumul merupakan kerajaan Islam di Xinjiang yang dibiarkan tetap mempunyai pemerintahan tersendiri kendati Dinasti Qing menaklukkan lalu menjadikan Xinjiang –yang sebelumnya dikuasai Kekhanan Zunghar dan Yaqub Beg– sebagai salah satu provinsinya pada 1884. Sampai Dinasti Qing tumbang dan Yang Zengxin menjadi gubernur pertama Xinjiang selepas Cina berganti bentuk pemerintahan dari kedinastian menjadi Republik Cina (ROC) pimpinan Partai Nasionalis (Kuomintang), kedudukan Kekhaganan Kumul tetap merupakan daerah otonom.
Dengan dianeksasinya Kekhaganan Kumul, Jin Shuren jelas kian merasa leluasa mendatangkan imigran dari Gansu –yang secara geografis memang dekat dengan Kumul atau juga lumrah disebut Hami oleh kebanyakan masyarakat Cina– dengan alasan kultivasi.
Masalahnya, mirip dengan gelombang imigran Yahudi ke Palestina yang menjadikan warga Palestina terdepak dari tanahnya sendiri, tibanya gelombang pendatang asal Gansu ke Kumul ini juga dilakukan dengan memaksa warga Uighur setempat menyerahkan tanah yang sudah lama ditempati atau digarapnya kepada imigran dimaksud.
Baca juga: Islam di Masa Kedinastian Cina
Sebagai ganti ruginya, catat Owen Lattimore dalam Pivot of Asia: Sinkiang and the Inner Asian Frontiers of China and Rusia (1950), Uighur dipindahkan ke tanah baru yang belum dibabat. Parahnya, masih menurut Lattimore, warga yang selama beberapa tahun pertama mestinya tidak perlu membayar pajak untuk tanah yang belum digarap, tetap dikenakan pajak seperti ketika di tanah mereka semula; sementara imigran yang ditempatkan di tanah yang sudah digarap Uighur itu, malah tidak ditarik iuran pajak selama tiga tahun.
Dalam situasi demikian, problem ekonomi yang digoreng dengan isu SARA tak pelak bisa dijadikan bom waktu yang, ketika tiba momentum yang pas, dapat dipakai siapa pun yang tidak puas dengan kepemerintahan Jin Shuren, untuk mengobarkan konflik horizontal demi meraih tujuan politiknya.
Uighur Xinjiang Utara Memberontak
Maka meletuslah Insiden Xiaobao (Xiaobao Shijian), pada April 1930.
Pemicunya, seperti diterangkan Wu Aichen dalam Catatan Perjalanan ke Xinjiang (Xinjiang Ji You, 1935), adalah seorang penagih pajak bersuku Han asal Gansu. Ia dicurigai telah memerkosa perempuan muslim Uighur di Xiaobao, desa kecil di Kumul bagian utara. Sebelumnya, si penagih pajak memaksa ayah perempuan itu untuk menikahkan putrinya dengannya. Tak terima, sekelompok Uighur yang mendengar kabar tersebut menyerang dan membunuh si penagih pajak beserta pengawal-pengawalnya ketika mereka bertandang ke rumah si perempuan pada suatu malam. Ratusan imigran Cina asal Gansu pun dibunuh dalam peristiwa itu.
Hingga kini, belum ada kejelasan apakah Insiden Xiaobao terencana atau tidak. Namun yang pasti, setelah peristiwa itu, Yulbārs Khan dan Khoja Niyās Ḥājjī, dua orang bekas pejabat teras Kekhaganan Kumul, segera menjadi pemimpin pemberontakan Uighur yang makin meluas dengan cepat.
“Mereka memanfaatkan ketidakpuasaan petani kepada pemerintahan Jin Shuren ... sekaligus menyebarkan rumor bahwa pemerintah akan membagikan semua tanah petani Uighur kepada orang-orang bersuku Han ... dan menikahkan [secara paksa] perempuan [muslim] Uighur dengan suku Han [yang nonmuslim], ... guna mendesak pemerintah provinsi memulihkan kekuasaan Kekhaganan Kumul,” terang Li Sheng dalam karyanya yang dinukil di muka.
Baca juga: Ma Changqing dan Islamofobia di Cina
Celakanya, alih-alih menempuh jalur konsiliasi, Jin Shuren malah mengirim serdadunya yang didominasi suku Han untuk memadamkan kerusuhan. Akibatnya, lanjut Li Sheng, “pada tingkatan tertentu, kerusuhan berubah menjadi pertentangan etnis (minzu duikang), gerakan anti-Jin [Shuren] berubah menjadi pembunuhan etnis (minzu chousha).”
Arkian, menyadari jomplangnya kekuatan, Yulbārs Khan meminta sokongan kepada Kuomintang di Nanjing untuk menurunkan Jin Shuren yang cukup mesra dengan pemerintah komunis Soviet. Dalam perjalan menuju ibu kota ROC itu, Yulbārs Khan bertemu dengan Ma Zhongying, muslim bersuku Hui yang kelak menjadi komandan Divisi 36 Tentara Revolusioner Nasional (Guomin Geming Jun) yang tentaranya mayoritas beragama Islam, di Gansu.
Dalam Memoar Yulbārs (Yaolebosi Huiyilu, 1970) yang ditulisnya, Yulbārs Khan menuturkan bahwa Ma Zhongying secara implisit menyarankannya untuk tidak usah ke Nanjing sebab, kata Ma Zhongying, “Kuomintang sedang butuh ketenangan karena baru saja usai melakukan Ekspedisi Utara [untuk mereunifikasi Cina yang terfragmentasi lantaran digerogoti para faksi militer panglima perang].” Sebagai alternatifnya, Ma Zhongying menegaskan, “Atas nama persaudaraan sesama muslim, aku akan membawa tentaraku ke Xinjiang ... mendongkel Jin Shuren.”
Ma Zhongying menepati janjinya. Pada pertengahan tahun 1931, dia membawa sekitar 500 serdadunya ke Kumul. Namun, karena tertembak kakinya, Ma Zhongying terpaksa mundur ke Gansu. Ia dirawat oleh dua misionaris Inggris: Mildred Cable dan Francesca French. Setelah sembuh, Ma Zhongying pada Mei 1933 kembali mengomandani ribuan tentaranya ke Xinjiang.
Uighur Xinjiang Selatan Mendirikan Negara Islam
Terinspirasi pemberontakan di Xinjiang utara yang disulut dari Kumul, orang-orang Uighur di Xinjiang selatan juga mengobarkan pemberontakan serupa di daerah-daerah penting semacam Kucha, Aksu, Khotan, dan Kashgar.
Namun, berbeda dengan di Xinjiang utara, yang dijadikan sasaran pemberontakan Uighur di Xinjiang selatan tidak hanya orang-orang Han, melainkan juga suku Hui (atau disebut juga Tungan) yang notabene sama-sama beragama Islam.
Penyebabnya? Sejak Republik Cina berdiri, yang menjadi penguasa di Xinjiang selatan dengan Kashgar sebagai ibu kotanya, adalah muslim-muslim beretnis Hui yang, lagi-lagi, bukan berasal dari Xinjiang sendiri. Sebut saja, misalnya, Ma Fuxing dan Ma Shaowu, orang nomor satu Kashgar bersuku Hui asal Yunnan itu.
Karenanya, kalau di Xinjiang utara muslim bersuku Hui dianggap sebagai juru selamat dari cengkeraman penguasa korup beretnis Han, di Xinjiang selatan justru sebaliknya: mereka, bersama suku Han, dicap sebagai pembawa malapetaka bagi keterbelakangan Xinjiang selatan.
Baca juga: Riwayat Ulama Wahabi Nasionalis di Cina
Tak heran, sebagaimana dikutip Zhang Dajun dalam jilid 6 Tujuh Puluh Tahun Huru-hara Xinjiang (Xinjiang Fengbao Qishi Nian, 1980), ketika pada 12 November 1933 diproklamasikan berdirinya Republik Islam Turkestan Timur (Sherqiy Türkistan Islam Jumhuriyiti) yang berpusat di Khotan dan Kashgar, Ṣābit Dāmullāh yang menjabat sebagai perdana menteri negara yang dikepalai Khoja Niyās Ḥājjī itu lantang menyatakan:
“Dibandingkan orang-orang Han, Tungan lebih merupakan musuh orang-orang Uighur ... Karena itu, orang-orang Uighur harus waspada dan hati-hati terhadap Tungan, [mereka] harus dilawan dengan keras, jangan sekali-kali sungkan [kepada Tungan] ... Baik Tungan maupun Han tidak punya legitimasi untuk mengklaim Turkestan Timur. Turkestan Timur adalah Turkestan Timur-nya orang Turkestan Timur, [kita] tidak butuh orang asing untuk menjadi orang tua kita.”
Begitulah, politik dan kekuasaan memang tidak mengenal apa yang disebut Ma Zhongying sebagai “persaudaraan sesama muslim”. Bahkan, meski sama-sama muslim Uighur, Khoja Niyās Ḥājjī dan Ṣābit Dāmullāh pada akhirnya pecah kongsi. Khoja Niyās lebih memilih Xinjiang tetap berada dalam naungan Cina, sedangkan Ṣābit bersikeras Xinjiang tidak boleh tidak memerdekakan diri. Alhasil, kira-kira lima bulan kemudian, tepatnya pada 16 April 1934, Republik Islam Turkestan Timur pun bubar.
Penulis adalah kontributor Historia di Tiongkok, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar