Sejarah Gereja dan Seni Kristiani
Sejarah Gereja Immanuel Jakarta, gending gereja, serta lukisan Yesus dan Maria.
SETELAH pemerintah Belanda menggantikan VOC yang hancur, Raja William I menyatukan berbagai denominasi di Hindia menjadi satu organisasi bernama Indisch Kerk atau Gereja Protestan Hindia Belanda. Pada 1835, jemaat Indisch Kerk mulai membangun sebuah gereja yang kini berada di depan stasiun Gambir, Jakarta. Pembangunan rampung pada 1839 dan ditasbihkan dengan nama Willemskerk (Gereja William) sebelum diganti namanya jadi Immanuelkerk (Gereja Immanuel).
Desain gereja dikerjakan Jan Hendrik Horn, seorang pegawai ukur tanah di Departemen Pekerjaan Umum yang lahir di Hindia. Arsitekturnya memperlihatkan kembalinya kebudayaan Hellenisme (Yunani) –sekalipun ada sentuhan gaya arsitektur lainnya. Tiang-tiang besar di serambi muka dan di kedua serambi kanan-kiri menandakan langgam dorisch yang terkenal di tempel Yunani. Bentuknya besar, kuat, tinggi, lebar dan bundar.
Baca juga:
Arsitektur bagian dalam bangunan utama berbentuk teater, dengan tempat duduk rendah dan berturut-turut bertingkat ke belakang hingga balkon. Bagian cupolanya, struktur menyerupai kubah, mampu mengumpulkan lalu memancarkannya cahaya ke seluruh bagian interior. Sentuhan budaya Hellenisme pada cupola terlihat dari adanya bunga dan daun leli.
Menurut Cor Passchier, “Colonial Architecture in Indonesia”, , yang dimuat Peter JM Nas dan Martien de Vletter dalam The Past in the Present: Architecture in Indonesia, desain gereja ini dikerjakan seorang arsitek berpangalaman, yang kemampuan itu tak dimiliki Horn –terbukti, hasil rancangannya yang lainnya tak ditemukan. “Mungkin dia sesekali terlibat sebagai arsitek atau dia bertugas sebagai juru gambar untuk seorang arsitek (yang sampai sekarang) tak dikenal di Belanda,” tulis Cor Passchier.
Baca juga:
Gending Gereja
PADA 1925, di sekolah pendidikan guru Muntilan, Raden Cayetanus Hardjasoebrata (1905-1986), komposer kelahiran Yogyakarta –salah satu karyanya yang terkenal adalah “Gundul-gundul Pacul”, mengarang beberapa gending bertema kebaktian gereja Katolik dalam bahasa Jawa, yang syairnya diambil dari Rerepen Suci. Dengan koor, lagu-lagu ini kali pertama dipentaskan di Gereja Kidul Loji Yogyakarta.
Awalnya upaya Hardjasoebrata mendapat tentangan dari sebagian pembesar gereja dan umat Katolik. Namun, para pembesar gereja akhirnya tak keberatan asalkan lagu tersebut tak dipakai dalam misa. Eksperimen Hardjasoebrata berlanjut, bahkan diperluas di tempat lain seperti Ganjuran, Wedi, dan Kalasan.
Baca juga:
Setelah Perang Dunia II, Mgr. Soegijapranata mendorong memajukan gamelan dalam gereja. Pada 1955 didirikanlah suatu panitia khusus untuk gending gereja. Setahun kemudian, untuk kali pertama gending gereja karangan Atmodarsono dan Hardjasoebrata didemonstrasikan dengan iringan gamelan. Karena hasilnya dirasa positif, Suryopranoto meminta izin ke Roma agar memperbolehkan pemakaian gending gereja dalam misa. Konsili Vatikan II mendukung ide inkulturasi ini.
Inkulturasi dalam musik liturgi sudah dilakukan di daerah lain seperti Flores, Timor, Minahasa, dan Sumatra Utara. Terbit pula buku nyanyian seperti Dere Serani di Ende pada 1947 dan Tsi Tanaeb Uis Neno di Dawan (Timor) pada 1960.
Baca juga:
Kesucian di Atas Kanvas
ATAS usaha ordo Katolik Jesuit, Franciscus Xaverius Basuki Abdullah (1915-1993) mengenyam pendidikan di Akademie voor Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa) di Den Haag. Sebagai pelukis, dia kerap membuat karya bertema rohani. Dalam lukisan Maria-Perantara, dia menampilkan Maria terangkat ke surga dan alam memberkatinya dengan simbolisasi letusan gunung berapi.
Basuki juga menggambarkan Maria dalam wajah Jawa dengan pakai bak ratu atau putri raja. Maria memakai kain batik motif parang-rusak dan baju warna hitam berkancing permata, memakai kerudung kepala dan kain tipis yang diselempangkan di kedua bahunya. Sinar yang berpendar di sekujur tubuh Maria, sementara kedua tangannya menjulur terbuka ke bawah.
Baca juga:
Seniman lainnya adalah Nyoman Darsane, kelahiran Bali pada 1939. Pada lukisan berjudul Penciptaan Matahari dan Bulan, Darsane menggambarkan Yesus sebagai mediator dalam Penciptaan yang menari di depan Bapa. Tangan kanan dalam posisi ukel (gerak pergelangan tangan yang diputar) di atas paha kanan dan tampak mengeluarkan bulan sabit sementara tangan kirinya mengeluarkan matahari.
Dalam lukisan Dia Datang, Yesus digambarkan sebagai seorang hamba atau pelayan. Yesus pun masih digambarkan sebagai seorang penari laki-laki yang bergerak turun di hadapan seorang perempuan yang sedang berdoa dengan cara Hindu-Bali. Yesus yang sedang menari memperlihatkan sekujur tubuhnya bersinar, sementara di sekelilingnya setan-setan menggodanya.*
Majalah Historia No. 8 Tahun I 2012
Tambahkan komentar
Belum ada komentar