Samar-Samar Siti Jenar
Sosok guru yang banyak dibicarakan namun tak diketahui dari mana dia berasal.
Tanggal 5 bulan Ramadhan, hari jumat, tahun Wawu, berlangsung sebuah sarasehan di Giri Kedhaton, kediaman Sunan Giri I. Delapan orang wali utama -minus sunan Kudus yang absen tanpa kabar- datang dalam sarasehan yang membahas mulai dari masalah makrifat hingga etika hidup itu.
Kedelapan wali itu antara lain seperti Sunan Mbonang, Sunan Gunungjati, Pangeran Mojoagung, Sunan Kalijaga, Syekh Bentong, Maulana Maghribi, Syekh Lemah Abang, dan Pangeran Giri Gajah,
Sarasehan yang semula tenang, berubah gaduh.
“Aku inilah Tuhan. Mana yang lain. Ya tidak ada yang lain selain aku ini,” ujar Syekh Lemah Abang.
“He..apakah yang Anda maksud jasmani Anda ini?,” tanya Maulana Maghribi.
“Jangan ikuti pikiran itu. Nanti kamu dihukum mati,” terang Sunan Gunungjati.
Syekh Lemah Abang pun angkat kaki meninggalkan majelis itu sembari berkata,”Nah, mana lagi yang lain, jangan kira ada duanya!”.
Cuplikan sarasehan tersebut tersua dalam kropak Ferrara, sebuah naskah dari abad 16, yang kemudian diterjemahkan oleh G.W.J Drewes menjadi An Early Javanese Code of Muslim Ethics, oleh GJH Drewes lalu dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia oleh Wahyudi dengan judul Perdebatan Wali Songo: Seputar Makrifatullah.
“Siti Jenar adalah nama yang disematkan oleh Walisongo ketika drama eksekusi,” ujar Ki Herman Sinung Janutama, penulis buku Pisowanan Alit, kepada Historia.
Dalam kropak Ferrara itulah nama Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar atau Syekh Siti Brit dituliskan namun tak mencantumkan siapa Syekh Siti Jenar itu sebenarnya. Asal-usulnya masih gelap.
M.B. Rahimsyah dalam Biografi & legenda Wali Sanga dan para ulama penerus perjuangannya, terbit 1997, secara tegas menuliskan bahwa Syekh Siti Jenar bernama asli Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta. Leluhur Syekh Jabaranta ini adalah Syekh Abdul Malik yang menikahi seorang anak penguasa dan bergelar Asamat Khan. Dari perkawinan itu, ia mendapat putra Maulana Abdullah. Maulana Abdullah memiliki beberapa anak, diantaranya Syekh Kadir Kaelani. Ia pun menurunkan putra lagi yang bernama Syekh Datuk Isa dan mukim di Malaka. Datuk Isa memiliki dua anak, salahsatunya Syekh Datuk Soleh. Datuk Soleh inilah, menurut Rahimsyah, merupakan bapak Syekh Siti Jenar.
“Namun penulis ini tidak mencantumkan daftar pustaka dalam bukunya, dan barangkali sumber yang banyak disitir adalah buku karangan Sosrowidjoyo,” tulis Hasanu Simon dalam Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa.
Lain lagi pendapat Abdul Munir Mulkhan dalam Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa. Menurutnya, Syekh Siti Jenar berasal dari Cirebon dan bernama asli Ali Hasan atau Syekh Abdul Jalil. Ia berayah seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Satu waktu, Resi Bungsu marah kepada si anak dan mengutuknya menjadi cacing. Dari situ, pengembaraannya dimulai, salahsatunya dengan menguping wejangan Sunan Mbonang kepada Sunan Kalijaga tentang ‘ilmu luhur’.
“Jadi perkara eyang Kajenar atau eyang Siti Jenar atau Jene, nama-namnya itu digunakan untuk tempat tinggal raja-raja Jawa,” ujar Sinung. Gedhong Jene, tulis Sabdacarakatama dalam Sejarah Keraton Yogyakarta, terletak di sebelah utara bangsal Prabasuyasa, dinamakan Gedhong Jene karena pagar batu batanya dicat kuning dan atap bentuk limasan membujur ke utara, serambi luar sebelah timur susun dan pintu dahulunya warna putih yang sekarang berwarna kuning muda
Sekira permulaan abad 20, Panji Notoroto atau Sosrowijoyo, membuat tulisan berjudul Siti Jenar. Ia, catat Hasanu Simon, adalah bekas penewu atau kepala distrik di Ngijon, Yogyakarta. Diceritakan, selepas menjadi penewu, ia berguru ke beberapa orang saleh, mulai dari Pacitan hingga Betawi. Setelah pengembaraan, ia kembali ke Yogyakarta, dan menulis beberapa buku, selain Siti Jenar, seperti Serat Bajanullah dan Kancil Kridamartana. Karya Sosrowijoyo ini kemudian semakin terkenal sejak perguruan kebatinan yang ia dirikan, Nataratan, mendapat banyak murid. Murid-muridnya antara lain Ki Padmosusastro, lalu ada ahli sastra Jawa yang bernama Ki Wignyohardjo dan pemimpin redaksi Ari Warti Djawi Kanda yaitu Martodarsono.
Baca juga: Cerita di balik gambar Sunan Kalijaga
Ki Wignyohardjo, murid Notoroto juga mengeluarkan buku Serat Siti Jenar namun memuat nama R. Sosrowijoyo sebagai penulis. Buku ini semakin populer setelah kawannya, Harjosumitro -pemimpin redaksi Ari Warti Sedya Tama di Yogyakarta- turut mempopulerkannya. Isi buku ini, catat Hasanu Simon, jauh lebih panjang dari kropak ferrara sehingga isinya menjadi aneh-aneh termasuk perdebatan murid Syekh Siti Jenar dengan utusan Demak, perilaku murid-muridnya, dan di seputar kematiannya.
“Sunan Drajad malah bikin gamelan yang diberi nama Singomengkok yang berarti anjing. Sunan Drajad sendiri adalah murid eyang Jenar. Gamelan ini dibuatnya untuk memuliakan beliau,” ujar Sinung. “Selamanya (Siti Jenar, red.) akan terus tersembunyi,” tambahnya.
Asal-usul Syekh Siti Jenar tak pernah jelas. Publikasi yang pernah terbit pun seperti tidak dibuat tuntas. Tetap menjadi misteri yang digemari.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar