Pasang Surut Hubungan Islam-Hindu di Bali
Pernah terlibat dalam perseteruan, namun umat Islam-Hindu kompak melawan Belanda.
AJARAN Islam telah menyentuh Bali sejak abad ke-16. Keberadaannya sempat dihalang-halangi oleh para penguasa Bali yang tidak ingin ajaran Hindu di negerinya tergantikan oleh agama pendatang itu. Namun seiring waktu, keduanya bisa saling bekerjasama dan menjalin hubungan baik.
Melalui penelitiannya Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang, Dhurorudin menyebut jika kegiatan keagamaan Islam dan Hindu di Bali saling menyesuaikan satu sama lain. Seperti saat beberapa pura di Bali tidak memakai daging babi sebagai sesaji karena dekat dengan lingkungan komunitas Muslim yang mengharamkan hewan itu. Atau saat orang-orang Muslim memberi ketupat saat upacara Galungan.
“Secara makro hubungan Muslim dengan penduduk Hindu tidak ada perbedaan yang spesifik. Semua sama dalam corak hubungan, yakni terbangun apa yang disebut sebagai nyame slam: saudara Islam,” kata Dhurorudin.
Namun yang paling unik, orang-orang Islam dan Hindu pernah terlibat dalam proses mempertahankan wilayah Bali dari penyerangan tentara Belanda. Meski akhirnya mereka terlibat dalam konflik yang sempat memecah persaudaraan dua agama tersebut.
Menghalau Pengaruh Belanda
Upaya kolonialisasi di wilayah Kepulauan Nusantara memasuki babak baru. Pertengahan abad ke-19 hampir tiap daerah telah berada di bawah kuasa penjajahan. Namun tidak semua. Karena hingga 1840, Bali masih memiliki kerajaan yang memerintah secara mandiri dan sama sekali tidak ada dalam kontrol pihak mana pun termasuk pemerintah Hindia Belanda.
Kekhawatiran para penguasa Bali muncul saat kekuasaan mereka di Blambangan berhasil dilumpuhkan oleh tentara Belanda. Dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Bali disebutkan bahwa Blambangan menjadi benteng penting bagi Bali. Sebagai daerah paling timur di pulau Jawa, yang bersebelahan langsung dengan Bali, Blambangan dapat menghalau serangan yang datang dari arah Barat.
Baca juga: Riwayat Islam di Bali
Setelah memastikan pemerintahannya di Blambangan, para pejabat Hindia Belanda mulai mengalihkan perhatiannya kepada Bali. Pada 8 Juni 1848, Belanda mengerahkan pasukannya untuk menyerang Buleleng. Mengetahui hal itu, penguasa Jembrana segera mengirim bala bantuan. Sebagai negeri vasal (yang ditaklukan) kerajaan Buleleng, Jembrana berkewajiban ikut menghalau serangan tersebut.
“Sikap raja Buleleng yang menolak menyerahkan daerahnya kepada Belanda dan juga menandatangani suatu perjanjian merupakan sikap ksatria yang tidak mau bertuankan Belanda, karena perjanjian-perjanjian yang diminta oleh Belanda itu hanya berarti kehilangan kemerdekaan raja-raja saja,” tulis Made Sutaba, dkk. dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialsime dan Kolonialisme di Daerah Bali.
Jembrana yang kala itu dipimpin Anak Agung Putu Ngurah memberangkatkan pasukan terbaiknya di bawah komando Pan Kelap. Menurut Dhurorudin tidak hanya rakyat Bali yang memang mayoritas Hindu saja yang terusik dengan kehadiran Belanda di negerinya, tetapi umat Muslim juga.
Baca juga: Bali Sebelum Dikuasai Majapahit
Dalam Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali, Salah Saidi dan Yahya Anshori mengatakan kalau sejak awal orang-orang Islam di Bali anti terhadap kolonialisme. Sehingga mereka pun ikut berjuang dengan mengirim pasukannya ke Buleleng.
Pejuang Muslim yang dikirim ke medan pertempuran jumlahnya sangat besar. Mereka merupakan gabungan dari komunitas Islam yang sejak abad ke-16 telah menetap di Bali dan para pendatang yang datang pada akhir abad ke-17.
Para pendatang itu umumnya pelarian dari Sulawesi yang tidak menerima kekuasaan Hindia Belanda di daerahnya. Mereka menolak mengakui kejatuhan Kesultanan Gowa oleh pemerintah kolonial Belanda. Akhirnya komunitas Muslim dari Gowa itu pergi berlayar mencari tempat baru untuk ditinggali.
“Kedatangan para serdadu Islam asal Sulawesi Selatan dan Pontianak ini disambut positif oleh raja Bali, di manapun mereka mendarat. Alasan utamanya, mereka dapat dimanfaatkan untuk menjadi benteng pertahanan,” tulis Dhurorudin.
Baca juga: Majapahit Menaklukkan Bali
Peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu juga menyebut orang-orang Islam ini bukan penduduk biasa, mayoritas adalah mantan prajurit kesultanan dan pelaut. Pengalaman militer mereka mampu diterapkan dengan baik. Sehingga dengan adanya bantuan dari komunitas Muslim ini diharapkan angin kemenangan berpihak kepada Bali.
“Dengan bersatunya kekuatan beberapa kerajaan yang didukung kekuatan-kekuatan Islam, pasukan Belanda akhirnya dapat dipukul mundur dan sisa-sisa pasukannya kembali ke kapal,” tulis Dhurorudin.
Namun kemenangan itu tidak berlangsung lama. Pada April 1849, Belanda kembali melakukan serangan ke wilayah Bali dengan membawa pasukan yang lebih besar. Wilayah Buleleng-Jembrana pun berhasil ditaklukan. Hindia Belanda akhirnya mendirikan pemerintahannya di sana.
Bukan Konflik Agama
Konflik besar antara masyarakat Hindu dan Islam pernah terjadi pasca pemerintah Hindia Belanda membangun kekuasaannya di Bali. Pertikaian ini melibatkan sebagian elit Hindu di Jembrana dengan komunitas Muslim.
“Tetapi jika dicermati hal itu terjadi bukan murni akibat sentiment keagamaan, tetapi lebih disebabkan oleh kebijakan politik raja yang kurang aspiratif pada masyarakat. Terbukti, sebagian elit Kerajaan Jembrana justru bekerjasama dengan umat Islam dalam kemelut ini,” kata Dhurorudin.
Konflik bermula saat pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kerajaan Jembrana sebagai regenschap (kabupaten) di bawah residensi Banyuwangi. Sejak itu, banyak masyarakat Muslim Jawa yang datang ke Bali.
Mereka segera menyebar, menempati beberapa daerah yang sebelumnya telah ada komunitas Muslim di dalamnya. Mayoritas umat Muslim dari Jawa membawa kemampuan mengobati. Sehingga dalam kesehariannya para ulama ini membuka praktek pengobatan di sekitar tempat mereka tinggal.
“Mungkin karena banyaknya warga yang berhasil disembuhkan secara gratis, banyak kaum Hindu yang tertarik masuk Islam,” ucap Dhurorudin.
Mengetahui hal itu, Raja Jembrana tidak tinggal diam. Ia segera memberlakukan larangan untuk warga Hindu masuk Islam. Raja pun meminta bantuan para pendeta untuk mempertahankan rakyatnya tersebut.
Namun bukan perkara mudah bagi raja menjaga posisinya. Di dalam istana sendiri saat itu sedang terjadi konflik. Banyak pejabat yang kecewa terhadap pemerintahan Jembrana yang otoriter dan sewenang-wenang dalam membuat peraturan.
Akhirnya terbentuklah dua kekuatan yang saling berhadapan. Kubu pertama dipimpin oleh Ida Anak Agung Putu Raka dan I Gusti Agung Made Rai yang loyal terhadap pemerintahan raja. Sementara kubu penentang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Made Pasekan, dibantu pasukan Muslim, serta masyarakat Hindu yang tidak senang dengan tabiat buruk raja.
Pemerintahan buruk raja Jembrana sebenarnya telah dilaporkan kepada para pejabat Hindia Belanda di Banyuwangi, melalui Surat Gugatan Komisaris Hindia Belanda No. 85 tahun 1855. Namun karena tidak kunjung mendapat tanggapan, pasukan penentang raja akhirnya melancarkan serangan. Perang antara dua kubu itu meletus pada 2 Desember 1855.
Baca juga: Amukan di Nusa Dewata
Pertempuran berlangsung sengit. Kubu Made Pasekan melancarkan serangan dari wilayah Loloan menggunakan meriam bekas pertempuran dengan Belanda. Sementara pihak kerajaan memakai persediaan senjata mereka yang besar, ditambah meriam-meriam bekas penyerahan kapal-kapal pasukan Muslim dari Sulawesi.
Meski pasukan Made Pasekan kalah jumlah dengan pasukan kerajaan, tetapi mereka mampu menguasai jalannya pertempuran. Tentara muslim dianggap memberikan efek besar, sama seperti saat melawan pasukan Belanda dahulu. Merasa tertekan, Raja Anak Agung Putu Raka dan para pejabat yang mendukungnya memilih mundur dari Jembrana.
Pemimpin pasukan Muslim, Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qodry, yang melihat kemenangan pasukannya kemudian memberi ultimatum kepada Raja Jembrana. Ia berkata: “Maaf tuanku yang mulia, anda telah diambang pintu keruntuhan. Sesungguhnya kami terlarang membunuh orang yang menyerah. Kami mengangkat senjata bukan hendak merebut kekuasaan, tetapi kami menyebarkan agama sambil berniaga dan menolak sekeras-kerasnya perbuatan dzalim yang menghambat agama kami.”
Baca juga: Pesona Wisata Pulau Dewata
Catatan milik pemerintah Hindia Belanda di Banyuwangi, dalam Raad van Bestuur Oost Indische Gouverment, menyebut kalau Raja Jembrana pergi ke Buleleng setelah meninggalkan kekuasaannya. Takhta Jembrana pun diserahkan kepada Made Pasekan (1855-1866).
Masa pemerintahan Made Pasekan disebut-sebut sebagai era keemasan perkembangan Islam di Bali dan perniagaan di sekitar bandar Loloan. Wilayah komunitas Islam juga meluas ke beberapa daerah, seperti Rening, Pabuahan, dan Tegal Badeng. Hubungan Muslim-Hindu pun kembali berlangsung secara harmonis.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar