Pandangan Westerling terhadap Islam
Paradoks seorang penjahat perang. Kelahiran Turki, hafal sejumlah ayat suci Alquran dan pantang menyerbu masuk ke masjid dalam operasi militernya di Sulsel.
SEBANYAK 12 ahli waris dari keluarga korban keganasan Raymond Westerling di Sulawesi Selatan medio 1946-1947, bakal mendapat kompensasi antara 123 euro sampai 10 ribu euro (sekira Rp2,2 juta sampai Rp181 juta). Kompensasi yang mesti dibayarkan pemerintah Belanda setelah gugatan mereka dimenangkan pengadilan di Den Haag lewat persidangan yang berjalan selama delapan tahun terakhir.
Kasus itu berkaitan dengan laku si jagal Westerling bersama pasukan DST (Depot Speciale Troepen atau Satuan Serdadu Khusus), khususnya kala membantai sejumlah warga Desa Suppa pada 28 Januari 1947. Total jumlah korban kebengisan kapten berjuluk “Si Turki” itu dalam kurun 1946-1947, disebutkan mencapai 40 ribu jiwa.
Angka yang pernah disangkal Westerling kala ditemui sejarawan Salim Said pada 1970 di Amsterdam. “Tanyakan kepada Sarwo Edhie, Komandan Pasukan Khusus Indonesia, berapa banyak yang bisa dibunuh oleh pasukan khusus dalam waktu singkat?” sanggahnya membela diri, dikutip Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian.
Westerling sendiri mengaku hanya mencabut nyawa, baik warga sipil maupun ekstremis – sebutannya kepada barisan pejuang Indonesia, tak lebih di angka 463 orang. Tentu tidak semuanya ia habisi dari tangannya sendiri. Kebanyakan dari ujung senjata anak-anak buahnya, walau tentu melalui perintahnya.
Baca juga: Keluarga Korban Westerling Menangkan Gugatan
Tidak pernah diketahui apakah Westerling yang lahir di Istanbul, Turki itu memiliki kelainan psikis sejak masa kanak-kanan atau tidak. Namun sejak kecil rupanya dia sudah akrab dengan senjata. Seperti pengakuannya sendiri di dalam memoarnya, Mijn Memoirs, Westerling sudah akrab dengan senjata api sejak berusia tujuh tahun. “Aku bisa menembak uang logam dari jarak 18 meter dengan senapan kaliber 6 milimeter,” kenangnya.
Sebagai anak yang lahir di Turki, Westerling sudah akrab dengan hidup di tengah masyarakat Arab yang mayoritas muslim. Ibu kandung Westerling, Sophie Moutzou seorang Turki berdarah Yunani. Sementara ayahnya, Paul Rou Westerling mendulang nafkah sebagai pedagang barang antik dan barang-barang furnitur.
Simpati Terhadap Islam
Di masa muda setelah berpindah-pindah sekolah dari Sekolah Inggris, Sekolah Yesuit St. Michel hingga Sekolah St. Joseph, Westerling mendaftar masuk tentara sukarela di Konsulat Belanda di Istanbul di awal 1941. Penggemar kisah-kisah petualang Robinson Crusoe dan film-film Hollywood bertema petualangan dan koboi itu seolah ingin mewujudkan angan-angannya bertualang dan jalan yang dirasanya pas hanyalah lewat kemiliteran.
Ia jadi orang pertama dalam keluarga besar Westerling yang masuk militer. Tak satupun sebelumnya dari keluarga Westerling, termasuk ayahnya, yang punya hasrat jadi prajurit. Setelah perpisahan yang berat, Westerling menjalani diklat di Wolverhampton, Inggris, di bawah naungan Korps Princes Irene.
“Ibu dan kakak saya menangis. Sementara ayah saya marah karena ia tak terima. ‘Anakku, kamu bukan terlahir untuk jadi tentara. Mereka akan memerintahkanmu melakukan sesuatu dan jika tak dipatuhi, mereka akan membuangmu sebagai penjaga gudang’,” ungkap Westerling menirukan ayahnya.
“Ayah saya tak pernah terlibat dalam kemiliteran. Juga kakek saya. ‘Dalam keluarga kita tidak ada yang sebodoh itu (mau masuk tentara, red), sampai akhirnya kamu’,” cetus ayahnya dalam ingatan Westerling.
Baca juga: Jenderal Spoor dan Peristiwa Sulawesi Selatan
Namun karena Westerling sudah cukup umur, ia tak perlu surat izin keluarga untuk masuk ketentaraan. Singkat kata setelah dilatih di Inggris, ia dikirim ke Haifa, lalu Mesir. Sepanjang masa tugasnya, ia sering bergaul dengan kaum Badui muslim asal Palestina, baik saat bertugas di Haifa maupun Kairo lewat bahasa Inggris yang mereka mengerti seadanya, ditambah bahasa isyarat.
“Saya bisa berbaur dengan mereka dan bisa bergaul dengan cukup baik. Apalagi mereka merasa saya punya simpati terhadap agama Islam, karena saya lahir dan besar di Turki. Saya memang tak bisa berbahasa Arab, namun saya hafal banyak surah dalam Alquran. Saya banyak hafal karena saya senang dengan ritual ibadah pagi (Salat Subuh) yang indah,” ungkap Westerling lagi.
“Kaum Badui merupakan orang-orang bersahaja, tidak rumit dan selalu punya norma dan menghormati adat. Di kemudian hari saya menemukan banyak orang dengan karakter yang sama di Indonesia, di mana mayoritas juga muslim,” lanjutnya.
Menghormati Masjid
Besar di Istanbul, tentu Westerling hafal seluk-beluk tentang Islam. Agama yang mayoritas dianut orang Indonesia, negeri di mana ia ditugaskan pasca-Perang Dunia II. Seperti diceritakan di atas lewat pengalamannya di Haifa hingga Kairo, ia punya simpati dan menghormati agama yang diusung Nabi Muhammad Saw. itu.
Kendati begitu, bukan berarti ia tak berlaku brutal terhadap gerilyawan muslim. Baik ketika belum lama naik pangkat dari letnan ke kapten semasa berangkat ke Sulawesi, maupun selepas kembali ke Jawa medio 1947. Ia berdalih hanya menjalani tugas “bersih-bersih” dari pemimpinnya. Ia mengaku punya kebebasan dalam menggulirkan tindakan-tindakan yang diperlukan dari para atasannya di Jakarta.
“Itu masa perang dan sama sekali bukan urusan pribadi,” cetus Westerling menjawab soal pembantaiannya terhadap warga dan bangsawan Sulawesi Selatan yang mayoritas juga beragama Islam, dikutip Salim Said.
Lagipula, klaim Westerling, peristiwa-peristiwa pembantaian yang disebutkan mencapai ribuan, bahkan 40 ribu menurut Presiden Sukarno, tidak hanya dilakukan kesatuan di bawah komandonya saja. Ada lagi unit-unit reguler Koninklijke Landmaacht (KL) Angkatan Darat Belanda lain dan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang juga bertindak brutal.
“Tudingan-tudingan itu mengarah hanya kepada saya secara personal. Memang benar di Makassar saya diminta melakukan pasifikasi di Sulawesi. Meski saya juga diberikan rencana besar operasinya, saya tidak mengomando semuanya. Saya punya kewenangan terhadap pasukan (DST) saya sendiri. Tetapi saya tidak punya kontrol terhadap tindakan-tindakan kapten atau mayor lain di sektor berbeda,” dalihnya.
Jadi kalaupun ada cerita-cerita tentara Belanda, selain membantai warga desa dan gerilyawan, hingga menistakan agama lain, seperti membakar Alquran dan merusak masjid, Westerling memastikan itu bukan pasukannya. Ia mengaku masih punya prinsip menghormati Islam sebagai salah satu agama besar dunia dan agama yang dekat dengan lingkungannya tumbuh di Istanbul.
“Saya sering berselisih dengan para kolega saya soal ini. Tentang menghormati agama Islam yang sangat universal di Indonesia. Salah satu aturan saya yang paling ketat adalah, tidak boleh prajurit saya menyerbu masuk masjid, meski kami punya alasan bahwa gerombolan yang kami kejar kabur ke dalamnya,” akunya lagi dalam memoarnya.
“Solusinya, saya biasanya memanggil imam masjid dan menyampaikan ketidakinginan saya untuk menggeledah masjid dan memintanya menyerahkan mereka atau senjata yang mereka sembunyikan,” imbuh Westerling.
Baca juga: Kubangan Darah Korban Pasukan Khusus Belanda
Pernah suatu Subuh ketika saat ia sudah kembali dari Sulawesi ke Jawa dan diberi tugas lain, Westerling dan beberapa anak buahnya mengejar sekelompok gerilyawan. Namun ia memilih berhenti sejenak dan anak buahnya kebingungan. Rupanya Westerling, sebagaimana masa mudanya, masih acap menghormati suara adzan yang ia dengar dari sebuah masjid.
“Jika saya tak punya simpati terhadap Islam, saya akan terus mengejar jejak mereka. Namun suara adzan Subuh yang indah membuat saya berhenti beberapa menit, mendengarkan lantunan adzan itu,” paparnya.
Selepasnya ia kembali mencari jejak para gerilyawan yang ia uber sebelumnya. Hingga sampailah ia di depan sebuah masjid. Tampak sekelompok orang tengah bersujud di halaman masjid. Meski mereka tampak tengah beribadah Salat Subuh dengan seorang imam yang membacakan surah-surah Alquran, Westerling segera insyaf bahwa mereka adalah gerilyawan yang ia kejar.
“Saya mendekat ke sebelah imam. Sang imam ketakutan dan saya menyadari bahwa ia menggumamkan ayat-ayat yang sama berulang-kali. Tiba-tiba saya juga insyaf bahwa posisi (kiblat) mereka mengarah ke utara; padahal sepemahaman saya, umat Islam selalu salat menghadap (kiblat di) Makkah. Jelas mereka bukan pengikut (Nabi) Muhammad, namun gerilyawan yang saya cari-cari!” kenang Westerling.
“Jika saja mereka memilih masuk ke dalam masjid, mereka akan aman dari saya – setidaknya selama mereka tak keluar karena saya takkan mau masuk dan menggeledah bangunan suci. Tetapi masalahnya mereka berada di depan pintu masjid dan posisinya masih di luar. Kami pun mengepung dan menangkap mereka,” tandasnya.
Baca juga: Kisah Pembantaian di Cianjur Selatan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar