Paman Rasulullah dan Masjidnya di China
Benarkah paman Nabi Muhammad yang dijanjikan masuk surga meninggal dan dimakamkan di China?
Saya sudah tiba di Masjid Rindu Rasul (Huai Sheng si), Jumat pekan lalu, (11 September 2019) ketika seorang kawan lama dari Indonesia yang bertandang ke Guangzhou menelepon kalau dia akan Jumatan di Masjid Sa’ad bin Abi Waqqas. Saya bergegas menghampirinya. Jarak kedua masjid tersebut memang tidak berjauhan: sama-sama berada di distrik Yuexiu.
Kita tahu, sejak Raja Ying Zheng pada 221 SM mempersatukan enam negara yang baku hantam selama kurang lebih dua setengah abad Periode Negara Berperang (zhan guo shidai), ke dalam satu entitas politik bernama Dinasti Qin (221–206 SM) sampai negeri bentukannya yang sekarang kita kenal dengan sebutan China dikuasai partai komunis, distrik Yuexiu terus menjadi pusat politik dan ekonomi Guangzhou.
Sementara Guangzhou, wabil khusus semenjak Dinasti Tang (618–907) memblokade jalur darat lewat Asia Tengah menuju Chang’an (kini kota Xi’an) lantaran bergejolaknya China bagian barat laut akibat Pemberontakan An Shi (An Shi zhi luan) selama hampir sewindu, menjelma menjadi trayek utama orang-orang China untuk berhubungan dengan banyak negara luar dan vice versa. Saudagar-saudagar atau duta-duta asing yang akan ke Chang’an, umpamanya, mesti berlayar ke Guangzhou yang terletak di China bagian selatan dulu sebelum ke ibu kota Dinasti Tang dimaksud.
Tentu, selain mengemban misi perdagangan atau diplomatik, lalu lalang orang-orang asing yang didominasi oleh orang-orang dari Arab dan Persia itu, juga membawa serta keyakinan atau agama yang dianutnya. Dan, di antara agama-agama yang diboyong mereka ialah Islam –yang kesuksesan persebarannya di Jazirah Arab berbarengan dengan puncak kejayaan Dinasti Tang sepanjang tahun 627–649 di bawah kepemimpinan Kaisar Taizong alias Li Shimin.
Adapun Islam di Guangzhou, kalau merujuk jilid 7 Min Shu (Kitab Hokkien) yang ditulis He Qiaoyuan, disebarkan oleh salah satu dari empat sahabat (mentu) Nabi Muhammad Saw. yang bertandang ke China pada masa pemerintahan Kaisar Gaozu (618–626) Dinasti Tang. Sayang, sejarawan partikelir era Dinasti Ming (1368–1644) itu tidak menyebut siapa nama sahabat Rasulullah yang ia maksud.
Walakin, jika mengacu pada literatur historis yang lebih awal semacam inskripsi yang pada 1350 digurat Wu Jian untuk Masjid Qingjing (Qingjing si bei ji) di Quanzhou, kota pelabuhan masyhur di Provinsi Hokkien yang oleh Ibnu Batutah dalam catatan perjalanan Riḥlah-nya disebut sebagai “Zaitūn”, Islam dibawa ke Guangzhou oleh seseorang bernama “Sahaba Sa’ade Wogesi” pada tahun ketujuh pemerintahan Kaisar Wen Dinasti Sui. Yakni, pada kisaran tahun 587.
Baca juga: Islam di Masa Kedinastian Cina
Angka itu jelas tak masuk akal. Pasalnya, Islam baru mungkin tersiar setelah Muhammad yang melakukan uzlah di Gua Hira, diangkat menjadi rasul selepas Malaikat Jibril –kata Safiur Rahman Mubarakpuri dalam mahakaryanya, Ar-Raḥīq al-Makhtūm– menyampaikan lima ayat wahyu pertama pada malam ke-21 Ramadan yang bertepatan dengan hari Senin tanggal 10 Agustus 610.
Baiklah. Anggap itu sebatas anakronisme dan mari iyakan saja bahwa Islam benar-benar dibawa ke Guangzhou oleh “Sahaba Sa’ade Wogesi” yang, terang Wu Jian, “mengarungi samudra dari Arab, lalu membangun masjid yang diberi nama Rindu Rasul di Guangzhou” (zi Dashi hai zhi Guang fang, jian libaisi yu Guangzhou, ci hao Huai Sheng). Ya, itulah masjid yang saya kunjungi. Di depannya masih menjulang menara kuno berjuluk “guang ta” (benara cahaya) yang pada masanya berfungsi sebagai mercusuar buat membantu navigasi kapal-kapal yang akan berlabuh di pelabuhan Guangzhou.
Lantas, siapakah “Sahaba Sa’ade Wogesi”? Dalam jilid 7 Tianfang Zheng Xue (Ajaran Islam yang Benar) susunan Lan Xu, cendekiawan muslim era Dinasti Qing (1644–1912) itu menegaskan bahwa “Sahaba Sa’ade Wogesi” merupakan “paman Rasulullah dari pihak ibu” (zhi Sheng zhi mu jiu) –atau yang dalam bahasa Arab sebut sebagai “khāl”.
Banyak sejarawan China yang karenanya memercayai, dan pemerintah China pun mengamini, “Sahaba Sa’ade Wogesi” adalah transkripsi bahasa China untuk Sa’ad bin Abi Waqqas, sahabat sekaligus khāl Rasulullah yang mengomandani Perang al-Qādisiyyah (636) dan Perang Nahāvand (642) melawan pasukan Kekaisaran Sassaniyah (artesh-e Sāsānīyān) Persia. Belakangan, Sa’ad yang dalam hadis nomor 4112 Jāmi’ at-Tirmiżī disebut-sebut akan menjadi salah seorang dari “sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga” (al-‘asyarah al-mubasysyarūn bi-l-jannah) oleh Rasulullah, diangkat sebagai gubernur Kufa dan Najd pada masa Khalifah ‘Umar.
Baca juga: Bagaimana Islam Menyebar di Xinjiang?
Namun, berbeda dengan literatur-literatur Arab yang menyebut Sa’ad wafat dan dimakamkan di Madinah pada kisaran tahun 673-675, literatur-literatur China –utamanya yang berdasar tradisi lisan– justru menyebut Sa’ad mangkat dan dikebumikan di Guangzhou. Di sebelah barat daya pusaranya yang oleh muslim China terdahulu disebut sebagai “xiang fen” (makam bergema) itu, Pemerintah Kota Guangzhou membangun masjid dua lantai yang diberi nama Masjid Sa’ad bin Abi Waqqas. Disebut “makam bergema” karena makam Sa’ad terletak di dalam bangunan yang ketika kita mengaji atau berbicara di dalamnya, suara kita akan memantul kembali.
Hingga kini, makam Sa’ad yang di sekelilingnya terdapat banyak makam muslim bersejarah itu, ramai diziarahi orang-orang dari pelbagai penjuru. Bakda salat Jumat, terutama. Maklum, laiknya muslim Indonesia, muslim China memang mempunyai tradisi ngalap berkah (tabaruk) ke makam-makam yang dikeramatkan. Mereka juga biasa membakar dupa/kemenyan di sana.
Akan tetapi, tanpa bermaksud mendiskreditkan, Donald Daniel Leslie dalam terjemahan bahasa China makalahnya yang dimuat jurnal Ningxia Shehui Kexue (Ilmu Sosial Ningxia) nomor 4 tahun 1999, “Sahaba Saiyide Yiben Abi Wangesi zai Zhongguo Kao” (Menyigi Sahabat Sa’ad ibnu Abi Waqqas di China), tidak sepakat kalau yang dimakamkan itu Sa’ad bin Abi Waqqas, sahabat cum paman Rasulullah.
Ahli sejarah Islam China asal Australia itu menengarai bahwa orang yang disebut “Wogesi” dalam literatur-literatur China klasik, kemungkinan adalah pelafalan China untuk apa yang dalam literatur berbahasa Arab sebut sebagai “Wahab”. Ia menyandarkan pendapatnya pada syarah Abū Zaid Hasan al-Sīrāfī terhadap kitab Akhbār al-Ṣīn wa al-Hind karya Sulaimān al-Tājir. Katanya, di situ diceritakan, pada 916 ada seorang dari bani Quraisy bernama Ibnu Wahab berkunjung ke Chang’an untuk menemui kaisar Dinasti Tang setelah menempuh perjalanan dua bulan dari Guangzhou. Saat bertemu kaisar Dinasti Tang, Ibnu Wahab memperkenalkan Nabi Muhammad sebagai putra pamannya.
Baca juga: Muslim Keturunan Konghucu
Seakan hendak bersepakat dengan Donald, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Said Aqil Siradj juga menyangsikan kebenaran dimakamkannya Sa’ad bin Abi Waqqas di China. Dalam satu acara ihwal Islam China di gedung PBNU yang saya hadiri pada 17 Juli 2019, alumnus Universitas Umm Al-Qura, Makkah, yang sering berkunjung ke China itu menyatakan perlunya studi mendalam untuk mengungkap benar-tidaknya Sa’ad bin Abi Waqqas, paman Rasulullah, dimakamkan di China. “Cuma saya yakin itu bukan Sa’ad paman nabi yang dijanjikan masuk surga dan dimakamkan di Madinah itu. Mungkin itu Sa’ad yang lain. Said Aqil, misalnya, kan banyak yang punya nama Said Aqil seperti saya.” Begitu pendapatnya yang saya catat.
Mana yang benar? Pepatah China bilang, “xin ze you, bu xin ze wu”. Artinya: kalau kau percaya, maka ada; kalau kau tak percaya, maka tak ada.
Penulis adalah kontributor Historia di Tiongkok, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar