- Novi Basuki
- 20 Jul 2019
- 4 menit membaca
Diperbarui: 31 Jul
RABU (17/7) lalu, saya ikut acara bedah buku bertajuk “Islam Indonesia dan China: Pergumulan Santri Indonesia di Tiongkok” yang diselenggarakan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok di gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta.
Ada beberapa narasumber yang diundang. Di antaranya Xiao Qian, duta besar Cina untuk Indonesia. Sayang, yang bersangkutan berhalangan datang. Juga tidak mengirim utusan untuk mewakili dirinya. Mungkin, salah seorang panitia bilang ke saya, “karena khawatir agenda ini ditengarai disponsori pemerintah Cina.”
Maklum, di negara kita, apa-apa yang berkaitan dengan Cina –terlebih soal keagamaannya– sepertinya memang diharuskan untuk dipandang dengan penuh curiga. Sebab, kata Soegeng Rahardjo, mantan duta besar Indonesia untuk Cina dan Mongolia, yang hadir sebagai pemateri, “kendati Cina tengah bergerak menjadi negara adidaya (superpower) yang akan mengubah perimbangan kekuatan (balance of power) global dan arsitektur kerja sama regional, tapi cara pandang kita terhadap Cina stagnan pada cara pandang ala Perang Dingin” di mana agama dan ideologi komunisme kerap dibentur-benturkan.
Gus Dur pun telah lama punya tinjauan serupa. Pada kalimat pertama esai “Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme” yang ditulisnya untuk Persepsi, No. 1, 1982, mantan presiden Indonesia yang pada 2008 silam terang-terangan mengaku dirinya adalah seorang “Cina tulen” itu bahkan “menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme” lantaran di negeri kita tak kekurangan orang yang “menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme berada dalam hubungan diametral dengan Islam.”
Tak pelak, karena sejak 1949 diperintah partai komunis yang pembentukannya juga dipelopori oleh Henk Sneevliet laiknya PKI, Cina hingga kini tetap acap dicap sebagai negara yang memusuhi Islam. Padahal, “komunisme sudah hancur. Kebencian terhadap Cina sengaja dikembangkan demi tujuan politik belaka. Cina bukan lagi negara komunis. Komunis dari mananya? Wong bikin usaha saja bebas di sana,” terang Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj dalam keynote speech yang disampaikannya.
“Cina,” kata Rois Syuriah PCINU Tiongkok KH. Imron Rosyadi Hamid yang dalam ceramahnya mengamini pendapat KH. Said, “sudah berubah. Aṣ-Ṣīn al-Mutagayyarah.” Terkhusus keagamaan, sambungnya, “pemerintah Cina melalui pasal 36 konstitusinya menjamin rakyatnya untuk menganut atau tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun yang ada.”
Dilihat dari kacamata historis, perubahannya memang cukup drastis. Kita masih ingat, pada masa-masa kalut Revolusi Kebudayaan (1966–1976) telah terjadi perusakan membabi buta dan persekusi massal nan brutal terhadap situs-situs dan tokoh-tokoh agama lantaran dianggap sebagai salah satu representasi dari “empat barang usang” (si jiu) yang wajib diganyang. Bahkan, kitab-kitab dan kuil-kuil berhaluan Konfusius yang notabene sumber utama weltanschauung Cina sejak zaman baheula pun, tak luput dari laku vandalisme pengawal merah (hong weibing) yang taklid buta terhadap pemikiran Mao Zedong (Mao Zedong sixiang) sebagai kebenaran tunggal.
Namun, sepeninggalan Ketua Mao yang lantas dilanjutkan dengan pembersihan faksi politik geng empat (si ren bang) yang ngotot tetap mau meneruskan apa pun kebijakan (juece) dan instruksi (zhishi) Ketua Mao, pemerintah Cina melakukan tobat nasuhah menyesali dan mengakui beragam kesalahan yang diperbuatnya sepanjang sepuluh tahun Revolusi Kebudayaan dengan dikeluarkannya dokumen yang sohor dinamai Dokumen Nomor 19 (Shijiu Hao Wenjian) pada Maret 1982.

Di sana disebutkan, sejak akhir 1978 Cina memasuki babak sejarah baru yang ditandai dengan diberlakukannya kebijakan Reformasi dan Keterbukaan oleh Deng Xiaoping sebagai arsitek utamanya, “tugas fundamental partai dan pemerintah adalah mengejawantahkan dengan teguh kebijakan kebebasan beragama” yang tertuang benderang dalam Undang-Undang Dasar negara. Dari situ pula pemerintah komunis Cina berjanji akan “menentang kecondongan ke arah ‘kiri’ yang salah” (fandui ‘zuo’ de cuowu qingxiang).
Cina tidak mengingkari komitmennya. Buktinya, selain memulihkan nama baik tokoh-tokoh agama korban kesembronoan hukum selama Revolusi Kebudayaan, masjid-masjid yang dihancurkan paksa pun turut dibangun kembali. Tak terkecuali di Xinjiang yang belakangan permasalahannya kerap dijadikan komoditas politik para politikus kita itu.
KH. Said bercerita, “Saya pernah ke Xinjiang. Masjidnya bagus-bagus. Saya juga menemui teman saya di Chengdu. Di sana kalau salat di masjid, jemaahnya membeludak sampai ke luar halaman.”
Kisah KH. Said didukung data. Penelitian lapangan Profesor Yang Shengmin, dekan Fakultas Etnografi dan Sosiologi Minzu University of Cina yang dilahirkan dari keluarga muslim taat, memerinci jumlah masjid di Xinjiang pada 1984 cuma berkisar 9 ribu. Kini, merujuk Buku Putih Kondisi Kebebasan Beragama Xinjiang (Xinjiang de Zongjiao Xinyang Ziyou Zhuangkuang) yang dirilis Dewan Negara Cina pada Juni 2016, di Xinjiang ada sekitar 24 ribu masjid lengkap dengan 29 ribu imamnya.
“Di luar negeri, ada yang bilang [pemerintah] Cina menggencet agama Islam [di Xinjiang]. Bila demikian, kenapa jumlah masjid [di Xinjiang] masih [bisa] bertambah lebih dari satu kali lipat?” Jawaban atas pertanyaan retorik Yang Shengmin yang dikutip Kantor Berita Xinhua edisi 16 Juli 2009 sehabis kerusuhan berdarah-darah di Ürümqi ini patut kita pikirkan.
Atau, jangan-jangan kita mesti setuju pada apa yang ditegaskan KH. Said ketika di akhir acara ditanyai wartawan soal isu muslim Uighur di Xinjiang yang katanya tengah ditindas pemerintah Cina di kamp-kamp konsentrasi yang saya catat ini:
“Soal penyiksaan itu sudah masa lalu. Xinjiang bagus sekali, kok. Fakta yang ada sekarang, beberapa kombatan Uighur ditangkap kepolisian kita karena bergabung dengan kelompok teroris Indonesia.”*













Komentar