Mohammad Sardjan dan Islam Hijau
Mempertahankan pendirian mengenai pembangunan pertanian dalam perspektif Islam. Berseberangan dengan organisasi tani kiri.
SEBELUM meletakkan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia tahun 1952, Presiden Sukarno membacakan pidato yang cukup terkenal, Soal Hidup atau Mati.
Sukarno berpendapat produksi pertanian di Indonesia harus ditingkatkan. Alasannya, impor makanan cukup mahal dan akan lebih baik bila Indonesia berdikari. Menurut Sukarno, dalam sebuah “masyarakat adil dan makmur” tidak boleh ada orang-orang yang merasa lapar.
Sukarno memajukan intensifikasi produksi pertanian dengan menggunakan pupuk, bibit unggul, dan pestisida. Untuk meningkatkan produksi per orang, dia mendorong mekanisasi pertanian dan peningkatan skala usaha. Misalnya penggunaan traktor, bahan kimia, dan ilmu pengetahuan modern.
“Kita bisa lemparkan banyak sekali tenaga kerja ke dalam industrialisasi di daerah-daerah kita yang harus diindustrialisir!” kata Sukarno dalam pidatonya.
Pidato Sukarno itu diucapkan tak lama setelah Mohammad Sardjan dari Masyumi menjadi menteri pertanian.
Dua Kali Jadi Menteri
Nama Mohammad Sardjan hampir dilupakan sejarah. Dia lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada 1909. Setelah menamatkan Algemeene Middelbare School (AMS) atau setara SMA di Solo, Sardjan bekerja sebagai guru. Mungkin waktu itu dia sudah tertarik dengan pertanian. Setelah Perang Dunia II, Sardjan bergabung dengan Barisan Tani Indonesia (BTI) dan menjadi ketua cabang Kediri. Ketika BTI, gerakan tani terbesar di Indonesia saat itu, condong kiri, Sardjan memutuskan keluar.
Sardjan lantas masuk Serikat Tani Islam Indonesia (STII), gerakan tani yang berafiliasi dengan Masyumi, dan tak lama kemudian menjadi ketua pertamanya. STII bertujuan membantu haluan politik Islam yang dijalankan Masyumi. STII juga ingin memperbaiki nasib dan kedudukan kaum tani, mempertahankan kedaulatan negara dan agama Islam, serta “menyempurnakan susunan negara Indonesia, yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Baca juga: Jeritan Petani di Tanah Sendiri
Dua kali Sardjan menjadi menteri pertanian, yaitu dalam Kabinet Wilopo (3 April 1952 sampai 30 Juli 1953) dan Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 sampai 3 Maret 1956). Sebelum ditunjuk kembali sebagai menteri pertanian pada Kabinet Burhanuddin Harahap, Sardjan diangkat sebagai Panitia Agraria berdasarkan Keputusan Presiden No.4 Tahun 1954. Dalam Panitia ini, Sardjan masuk sebagai perwakilan STII.
Pada umumnya, waktu itu semua anggota kabinet mencoba memajukan tingkat penghidupan rakyat Indonesia dengan meningkatkan produksi nasional, khususnya bahan makanan rakyat seperti beras, jagung dan ikan. Tapi, walaupun sebagian besar setuju produksi harus diperbaiki, ada bermacam-macam pandangan tentang strategi apa yang dipilih.
Keseimbangan
Anggota-anggota Masyumi seperti Sardjan dan Mohammad Natsir hanya setuju sebagian ide Sukarno. Indonesia memang perlu industrialisasi. “Industrialize, or starve!,” Sardjan menulis dalam Almanak Pertanian pada 1953. Tapi ada perbedaan yang penting.
Dua tahun sebelumnya, dalam Pertanian Kita, Natsir menyatakan Masyumi mempunyai keyakinan bahwa Indonesia perlu industrialisasi, tapi “segala pertumbuhan mempunyai dinamikanya sendiri. Seorang bayi harus melalui tempo kandungan ibunya sembilan bulan.”
Maksud Natsir dan Sardjan, Indonesia adalah negara agraris yang tak bisa didorong menjadi negara industri. Mengindustrialisasikan Indonesia secepat-cepatnya akan mendatangkan masalah sosial yang besar. Pertanian di Indonesia juga tak harus dikembangkan seperti usulan Sukarno. Produksi per orang bisa meningkat dengan penggunaan teknologi, tapi hal itu juga meningkatkan potensi pengangguran karena belum ada pabrik yang menyerap tenaga kerja.
Menurut Natsir, usulan Sukarno juga bisa membuka potensi kemiskinan, dan kemiskinan berarti “pertualangan di pinggir jalan, pencurian, pelacuran, dsb. dsb.,” mungkin tak ubahnya adegan-adegan yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer di dalam Tjerita dari Djakarta.
Baca juga: Lumbung Padi Jadi Kawasan Industri
Senada dengan Natsir, Sardjan tak sepakat dengan ide Sukarno yang ingin buru-buru meningkatkan hasil produksi pertanian. Tapi alasan Sardjan berbeda dari Natsir. Pendapatnya dituangkan dalam Almanak Tani 1956, bahwa otak manusia adalah “raja di tengah-tengah alam ciptaan Tuhan itu.”
Lebih jauh, Sardjan menulis, “Kemajuan kecakapan dan keahlian manusia dalam memakai dan mempergunakan tenaga-tenaga yang tersimpan dalam alam, yang dikaruniakan oleh Tuhan PenciptaNya kepada manusia, bertambah hari bertambah pesat.”
Apa yang diajar oleh kemajuan itu? Kalau saya harus memilih satu kata untuk meringkas pendapat Sardjan, saya memilih ‘keseimbangan.’ Menurut Sardjan, Tuhan Yang Maha Esa menyimpan keseimbangan dalam alam semesta yang bisa dimengerti oleh manusia, khususnya dengan ilmu pengetahuan modern. Keinginan pemerintah untuk meningkatkan dan memperbaiki produksi pertanian harus beriringan dengan ilmu pengetahuan.
Pada upacara pembukaan Akademi Biologi Indonesia di Bogor, Oktober 1955, Sardjan berkata bahwa “Biologi adalah kunci keberhasilan pertanian. Pembangunan bukan berarti mengeksploitasi secara berlebihan dan kerusakan sumber daya alam harus dicegah dengan biologi.”
Pesan Lain
Tentu saja pemikiran Sardjan kompleks; bukan hanya religius tapi juga politis. Di Indonesia pada 1950 dan 1960-an, kepemilikan tanah adalah sebuah masalah yang besar untuk banyak keluarga petani. Karena itu ada gerakan-gerakan tani yang menghuni tanah kosong dan mendorong landreform, seperti organisasi petani BTI yang dekat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Organisasi petani yang diikuti Sardjan, yaitu STII, bentrok dengan BTI. Walaupun sepakat dengan ide redistribusi tanah, STII tak setuju okupasi tanah kosong. Dalam konteks ini, tulisan Sardjan tentang keseimbangan dan alam yang dikreasi oleh Tuhan menjadi politis.
“Pertanian rakyat di negeri kita,” katanya, “pada umumnya hanya mengenal satu macam cara bekerja: mengolah tanah untuk memungut hasil daripadanya dengan secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya”. Karena itu Sardjan berkata bahwa sistem pertanian adalah “sistem exploitasi habis-habisan. Petani yang lakukan seperti itu masih bodoh, karena tidak pakai inteleknya dan tidak mengolah tanah sesuai keseimbangan alam.” Dan menurut Sardjan, inilah yang dilakukan BTI.
Baca juga: Gaya PKI Memikat Rakyat
Apa yang kita bisa pelajari dari sejarah ini? Walaupun konteks politik tak bisa diabaikan, mungkin masih ada pesan lain yang penting. Dalam sejarah , orang sudah lama memperingatkan batas alami planet kita. Dalam dorongan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, suara-suara ini sering tak terdengar.
Hari ini pidato Sukarno Soal Hidup atau Mati masih bergema dalam kebijakan pertanian Indonesia. Tapi konsekuensi global dari pemanasan global menjadi semakin mendesak dari hari ke hari. Sumber-sumber sejarah, budaya dan agama apa yang dapat kita mobilisasi untuk meningkatkan kesadaran bahwa dunia ini unik dan berharga?
Islam hijau telah mengilhami orang-orang terhadap lingkungan di masa lalu, dan mudah-mudahan akan terus berlanjut di masa depan. Perlu lebih banyak penelitian sejarah kita didalam sumber-sumber pelestarian lingkungan hidup untuk masa yang akan datang.
Penulis adalah kandidat PhD dari Universitas Amsterdam, Belanda.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar