Menentang Pajak Hewan Kurban Hindia Belanda
Bagaimana pemberontakan rakyat pecah di Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat karena pemerintah kolonial mulai berani mengusik urusan agama.
Permulaan abad ke-20, pemberontakan besar terjadi di Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Kemarahan rakyat itu dipicu oleh sebuah peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda terkait Hari Raya Idul Adha: setiap hewan kurban dikenakan pajak perseorangan. Jika pajak tidak dibayarkan pada waktu tertentu, maka hewan-hewan kurban itu akan disita, atau dimusnahkan.
Perlawanan rakyat NTB terjadi pada 1908. Di dalam penelitian Lalu Wacana, dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat, disebutkan bahwa pemberontakan itu dipicu oleh pelanggaran perjanjian yang dilakukan Belanda, serta ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Sultan Ibrahim, raja Kesultanan Bima (1881-1915).
Baca juga: Ritual Persumpahan Desa Bebas Pajak
Tahun 1908, terjadi pembaharuan perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Bima. Isinya: pengakuan Sultan Ibrahim atas kedaulatan Belanda di wilayah NTB, dan perjanjian untuk tidak melakukan kontak dengan orang-orang kulit putih lain selain Belanda, serta bersedia memberi bantaun kapanpun dibutuhkan pihak Belanda.
“Sedangkan sesuai dengan pasal surat perjanjian tersebut, pemerintah Belanda akan tetap menghormati adat-istiadat yang berhubungan dengan hari raya Idul Fitri, hari Raya Idul Adha, dan Maulud yang berlaku di Kesultanan Bima,” tulis Wacana, dkk.
Meski ditentang oleh banyak pihak, Sultan Ibrahim tetap menandatangani perjanjian tersebut. Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz di Batavia juga ikut menyutujuinya. Sebagai bentuk kekecewaan bangsawan Bima memilih keluar dari wilayah kesultanan. Perlahan mereka menghimpun kekuatan rakyat untuk memberontak.
Baca juga: Jejak Pengampunan Pajak
Namun belum lama perjanjian itu disahkan, pemerintah Belanda sudah berbuat ingkar. Mereka menarik berbagai macam pajak kepada rakyat, seperti pajak hewan, pajak tanah, dan pajak kepala. Para kolonialis juga melanggar beberapa hukum adat dan hukum agama. Termasuk ketika mereka membebani pajak terhadap hewan yang biasa digunakan untuk kebutuhan ritual Idul Adha. Juga pajak tanah yang dipakai untuk upacara adat. Jika tidak bisa membayar, hewan dan tanah milik rakyat akan dirampas sebagai bayaran.
“Rakyat Bima yang secara turun-temurun mengikuti perundang-undangan berdasarkan hukum Islam, tidak mau menerima perundang-undangan baru yang didasarkan perundang-undangan hukum Hindia Belanda, maka golongan bangsawan yang tidak senang kepada Belanda bersama-sama rakyat meminta pertanggung jawab Sultan Ibrahim,” ungkap Wacana.
Sultan Ibrahim yang melihat gelagat para bangsawan Bima segera melaporkannya sebagai upaya pemberontakan kepada pemerintah Belanda. Situasi panas di kesultanan membuat pemerintah Belanda di Batavia mengirim bala bantuan ke Bima. Perang besar pun tidak dapat dihindari.
Baca juga: Sriwijaya Genjot Pajak
Perang berlangsung di Ngali, salah satu desa di Kecamatan Belo, sebelah tenggara teluk Bima. Menurut Susanto Zuhdi dan Triana Wulandari dalam Kerajaan Tradisional di Indonesia: Bima, serangan ke Ngali oleh pihak Belanda diartikan sebagai upaya menegakkan wibawa sultan. Terutama ketika utusan sultan ke Ngali ditolak oleh rakyat. Di situlah awal mula pecahnya perang.
Perjuangan rakyat Ngali dipimpin oleh Abas Daeng Manasa, dan golongan alim ulama: Haji Yasin, Haji Said, dan Syekh Abdul Karim. Sementara musuh menggempur dengan kekuatan penuh, lebih dari 1000 pasukan, dari darat dan laut. Perbedaan jumlah, serta kualitas persenjataan tidak mengecilkan nyali rakyat Ngali. Mereka dengan gigih terus mengangkat senjata.
“Selama tiga hari tiga malam mereka melakukan takbir keliling desa tanda dimulainya perang sambil melawan pemerintah Belanda. Takbir dan Tahlil inilah yang mereka pakai untuk mengobarkan semangat rakyat yang sudah meluap-luap menanti kedatangan serangan Belanda. Mereka bertekad untuk mati syahid di jalan Allah,” tulis Wacana, dkk.
Rakyat Ngali akhirnya menyerah setelah Belanda mendapat sejumlah besar pasukan dari Sulawesi. Kekuatan yang tidak berimbang, serta hancurnya pertahanan di pemukiman Ngali membuat perlawanan di Ngali akhirnya terhenti. Pimpinan pemberontakan dibawa ke hadapan sultan, dan masing-masing dijatuhi hukuman, termasuk membayar denda 70 ekor kerbau jantan.
Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak
Pemandangan serupa juga terlihat di Sumatera Barat tahun 1908. Keputusan pemerintah Hindia Belanda menaikkan jumlah pajak mendapat tentangan dari rakyat Minang. Khairul Jasmi dalam Inyiak Sang Pejuang, menyebut jika pemerintah Belanda melanggar peraturan tentang pajak dalam Plakat Panjang 1833. Alih-alih menjalankan peraturan, mereka malah lebih memberatkan pajak kepala dan pajak hewan ternak, termasuk hewan kurban.
“Yang menjadi sebab pemberontakan itu ialah peraturan yang diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan rakyat Minangkabau membayar pajak langsung,” kata Mohammad Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar