Mempertanyakan Kembali Teori Islamisasi di Nusantara
Kapan dan siapa yang pertama kali menyebarkan Islam di Nusantara?
SULIT menyepakati Barus sebagai titik nol Islam masuk ke Nusantara. Pun soal Islam pertama masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M.
Azyumardi Azra, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan klaim yang selama ini disuarakan sebenarnya tak berbukti. "Ada klaim Islam masuk pada 7 M, pada abad pertama Hijriah, tapi tak ada buktinya," kata Azra dalam acara Borobudur Writers Cultural Festival ke-7, di Hotal Manohara, Magelang, Jumat (23/11).
Azra tak ragu kalau orang Islam sudah datang sejak abad pertama Hijriah. Tak cuma orang Islam, orang Yahudi pun sudah datang. Namun, tak jelas, apakah Islam hanya datang atau mengislamkan penduduk lokal. “Kalau saya ya mulai akhir abad ke-12 M (proses Islamisasi berlangsung, red.),” kata Azra.
Azra pun menyebut periwayatan penjelajah muslim, al-Ramhurmuzi dalam kitab Ajaib al-Hind yang ditulis sekira 390 H (1000 M). Di dalamnya berisi tentang kunjungan para pedagang muslim di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya). Dengan adanya orang muslim di Sriwijaya mengindikasikan Islam sudah ada di Nusantara pada abad ke-10 M.
“Tapi nampaknya muslim itu orang asing," kata Azra. "Sebaliknya tak ada indikasi kalau penduduk lokal telah masuk Islam apakah dalam jumlah kecil, apalagi massal."
Menurut Azra, bukti yang tak diragukan adalah munculnya Kesultanan Samudra Pasai. Keberadaan kerajaan ini salah satunya muncul dalam catatan penjelajah asal Maroko, Ibn Battutah yang melawat ke Nusantara pada 1345. Dia sempat singgah di Samudra Pasai selama 15 hari. Waktu itu, sultan yang berkuasa adalah Malik al-Zahir II (133?-1349)
“Tidak diragukan pelawat muslim di Nusantara, Ibn Battutah sampai ke Samudra Pasai. Ini bukti kuat wilayah terawal Islamisasi di Nusantara,” ujar Azra.
Kendati begitu, pada masa Samudra Pasai pun mayoritas rakyatnya belum memeluk Islam. Proses Islamisasi masih berlangsung. “Sultan sering berperang menghadapi mereka (orang-orang yang belum menerima Islam, red.),” tulis Ibn Battutah dalam catatannya.
Taufik Abdullah, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, juga mempertanyakan konsep yang jelas soal proses Islamisasi. “Sudah pasti saya tak ragu pada abad pertama Hijriah sudah ada orang Islam ke sini. Tapi apakah artinya kalau saya ke Amerika saya mengislamkan Amerika?” ujarnya.
Baca juga: Mempertanyakan makam Fatimah binti Maimun, bukti Islam tertua di Jawa
Sejauh ini yang diklaim sebagai bukti terawal Islam di Nusantara adalah makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1082 M. Padahal, menurut Taufik, itu tak langsung membuktikan kalau orang Nusantara sudah diislamkan.
“Di Tiongkok sana abad ke-10 M melarang kapal-kapal Arab datang," kata Taufik. "Jadi, mereka berkeliaran ke sini. Ya, wajar abad ke-11 M sudah ada orang Islam yang meninggal di sini."
Bukan Pedagang
Soal pelaku Islamisasi di Nusantara, Azra membantah jika dilakukan oleh pedagang Gujarat. Ada teori lain yang menurutnya lebih memungkinkan. Dalam periwayatan al-Ramhurmuzi, misalnya, disebutkan raja Sriwijaya pernah mengirimkan surat kepada dua raja Arab: Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah (661-680 M), dan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, Khalifah Bani Umayyah (717-720 M).
Kedua surat itu ditemukan sastrawan al-Jahiz di arsip Dinasti Umayyah. Isinya, maharaja Sriwijaya meminta raja Arab mengirim guru untuk mengajar Islam di Sriwijaya. Tak diketahui apakah masing-masing raja Arab itu memenuhi permintaan maharaja Sriwijaya. Belum ada buktinya.
Yang jelas, kata Azra, kedua surat ini menunjukkan kalau para pelaut, pedagang muslim pendatang tidak memperkenalkan Islam kepada maharaja Sriwijaya. “Sehingga dia (maharaja Sriwijaya, red.) merasa perlu meminta guru yang mengajarkan Islam,” kata Azra.
Azra lebih melihat peran pengembara sufi sebagai agen penyebar Islam di Nusantara. Kalau di Jawa ada Wali Songo. Sementara di wilayah timur, ada tokoh yang dikenal dengan Tiga Datok.
“Orang Sulsel (Sulawesi Selatan) juga mengklaim Tiga Datok yang sama. Setelah puas di NTB mereka berlayar ke Sulsel. Ini juga munculnya setelah abad ke-12 M, pasca Imam al-Ghazali,” kata Azra.
Baca juga: Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan
Ditambah lagi negeri Gujarat sebelum abad ke-13 M masih merupakan negara Hindu. Mereka bermusuhan dengan Islam. “Kalau ada orang Islam datang diusir,” tegas Azra.
Menurut Azra, para pedagang muslim bukanlah yang mengajarkan Islam ke raja. Padahal kala itu peranan kesultanan begitu penting dalam proses penyebaran paham tertentu ke rakyat.
“Memang ada pelaut muslim tapi tidak ada konversi Islam dari pedagang. Tak ada buktinya. Teori ini harus ditolak,” ujar Azra.
Teori Mata Air
Terkait masuknya Islam ke Nusantara, Azra mengajukan teori yang disebut seperti mata air. Artinya, sumber kedatangan ajaran Islam bisa dari berbagai tempat seperti sumber-sumber mata air.
“Memang semua ada indikasinya. Kita tak bisa mengklaim Islam hanya dari Gujarat. Dari Mesir ada, Irak, Tiongkok juga ada,” kata Azra.
Azra menilai teori sejarawan Slamet Muljana cukup masuk akal terkait Islam di Tiongkok dan pengembaraan pelayar Tiongkok muslim ke Indonesia. “Ditambah kita wilayah maritim tempat terjadinya persilangan budaya yang bisa datang dari mana saja,” ujarnya.
Terkait klaim-klaim Islamisasi di Nusantara, menurut Azra, karena sejarah lebih sering menjadi ranah kontestasi. Kontestasi ini disebabkan kepentingan ideologi. “Itulah sejarah sebagai ideologi. Ada kontestasi terhadap sejarah,” tegasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar